Powered By Blogger

Minggu, 20 Februari 2011

PROPOSAL PENELITIAN

Kegiatan yang menghasilkan rancangan atau produk yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah aktual. Dalam hal ini, kegiatan pengembangan ditekankan pada pemanfaatan teori-teori, konsep-konsep, prinsip-prinsip, atau temuan-temuan penelitian untuk memecahkan masalah.

Skripsi, tesis, dan disertasi yang ditulis berdasarkan hasil kerja pengembangan menuntut format dan sistematika yang berbeda dengan skripsi, tesis, dan disertasi yang ditulis berdasarkan hasil penelitian, karena karakteristik kegiatan pengembangan dan kegiatan penelitian tersebut berbeda.



Kegiatan penelitian pada dasarnya berupaya mencari jawaban terhadap suatu permasalahan, sedangkan kegiatan pengembangan berupaya menerapkan temuan atau teori untuk memecahkan suatu permasalahan

Format Proposal Penelitian Pengembangan



1. Latar Belakang Masalah

Latar belakang masalah mengungkapkan konteks pengembangan projek dalam masalah yang hendak dipecahkan. Oleh karena itu, uraian perlu diawali dengan identifikasi kesenjangan-kesenjangan yang ada antara kondisi nyata dengan kondisi ideal, serta dampak yang ditimbulkanoleh kesenjangan-kesenjangan itu. Berbagai alternatif untuk mengatasi kesenjangan itu perlu dipaparkan secara singkat disertai dengan identifikasi faktor penghambat dan pendukungnya. Alternatif yang ditawarkan sebagai pemecah masalah beserta rasionalnya dikemukakan pada bagian akhir dari paparan latar belakang masalah.



2. Rumusan Masalah

Sebagai penegasan dari apa yang telah dibahas dalam latar belakang masalah, pada bagian ini perlu dikemukakan rumusan spesifik dari masalah yang hendak dipecahkan. Rumusan masalah pengembangan projek hendaknya dikemukakan secara singkat, padat, jelas, dan diungkapkan dengan kalimat pernyataan, bukan dalam bentuk kalimat pertanyaan seperti dalam rumusan masalah penelitian. Rumusan masalah hendaknya disertai dengan alternatif pemecahan yang ditawarkan serta rasional mengapa alternatif itu yang dipilih sebagai cara pemecahan yang paling tepat terhadap masalah yang ada.



3. Tujuan Pengembangan

Tujuan pengembangan dirumuskan bertolak dari masalah yang ingin dipecahkan dengan menggunakan alternatif yang telah dipilih. Arahkan rumusan tujuan pengembangan ke pencapaian kondisi ideal seperti yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah.


4. Spesifikasi Produk yang Diharapkan

Bagian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran lengkap tentang karakteristik produk yang diharapkan dari kegiatan pengembangan. Karakteristik produk mencakup semua identitas penting yang dapat digunakan untuk membedakan satu produk dengan produk lain-nya.

Produk yang dimaksud dapat berupa kurikulum, modul, paket pembelajaran, buku teks, alat evaluasi, model, atau produk lain yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah pelatihan, pembelajaran, atau pendidikan. Setiap produk memiliki spesifikasi yang berbeda dengan produk lainnya, misalnya kurikulum bahasa Inggris memiliki spesifikasi yang berbeda jika dibandingkan dengan kurikulum bidang studi lainnya, meskipun di dalamnya dapat ditemukan komponen yang sama.



5. Pentingnya Pengembangan

Bagian ini sering dikacaukan dengan tujuan pengembangan. Tujuan pengembangan mengungkapkan upaya pencapaian kondisi yang ideal, sedangkan pentingnya pengembangan mengungkapkan argumentasi mengapa perlu ada pengubahan kondisi nyata ke kondisi ideal. Dengan kata lain, pentingnya pengembangan mengungkapkan mengapa masalah yang ada perlu dan mendesak untuk dipecahkan.

Dalam bagian ini diharapkan juga terungkap kaitan antara urgensi pemecahan masalah dengan konteks permasalahan yang lebih luas. Pengkaitan ini dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa pemecahan suatu masalah yang konteksnya mikro benar-benar dapat memberi sumbangan bagi pemecahan masalah lain yang konteksnya lebih luas.



6. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan

Asumsi dalam pengembangan merupakan landasan pijak untuk menentukan karakteristik produk yang dihasilkan dan pembenaran pemilihan model serta prosedur pengembangannya. Asumsi hendaknya diangkat dari teori-teori yang teruji sahih, pandangan ahli, atau data empiris yang relevan dengan masalah yang hendak dipecahkan dengan menggunakan produk yang akan dikembangkan.

Keterbatasan pegembangan mengungkapkan keterbatasan dari produk yang dihasilkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi, khususnya untuk konteks masalah yang lebih luas. Paparan ini dimaksudkan agar produk yang dihasilkan dari kegiatan pengembangan ini disikapi hati-hati oleh pengguna sesuai dengan asumsi yang menjadi pijakannya dan kondisi pendukung yang perlu tersedia dalam memanfaatkannya.


7. Definisi Istilah

Pada bagian ini dikemukakan definisi istilah-istilah yang khas digunakan dalam pengembangan produk yang diinginkan, baik dari sisi model dan prosedur yang digunakan dalam pengembangan ataupun dari sisi produk yang dihasilkan. Istilah-istilah yang perlu diberi batasan hanya yang memiliki peluang ditafsirkan berbeda oleh pembaca atau pemakai produk. Batasan istilah-istilah tersebut harus dirumuskan seoperasional mungkin. Makin operasional rumusan batasan istilah makin kecil peluang istilah itu ditafsirkan berbeda oleh pembaca atau pemakai.



8. Sistematika Penulisan

Paparan pada bagian ini dimaksudkan untuk menunjukkan cara pengorganisasian keseluruhan skripsi, tesis, dan disertasi, baik untuk Bagian I, yang memuat kajian analitis, atau-pun Bagian II, yang memuat produk yang dihasilkan dari kegiatan pengembangan.



9. Landasan Teori

Bab ini dimaksudkan untuk mengungkapkan kerangka acuan komperhensif mengenai konsep, prinsip, atau teori yang digunakan sebagai landasan dalam memecahkan masalah yang dihadapi atau dalam mengembangkan produk yang diharapkan. Kerangka acuan disusun berdasarkan kajian berbagai aspek teoretik dan empiris yang terkait dengan permasalahan dan upaya yang akan ditempuh untuk memecahkannya. Uraian-uraian dalam bab ini diharapkan menjadi landasan teoretik mengapa masalah itu perlu dipecahkan dan mengapa cara pengembangan produk tersebut dipilih

Kajian teoretik mengenai model dan prosedur yang akan digunakan dalam pengembangan juga perlu dikemukakan dalam bagian ini, terutama dalam rangka memberikan pembenaran terhadap produk yang akan dikembangkan.

Di samping itu, bagian ini juga dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang kaitan upaya pengembangan dengan upaya-upaya lain yang mungkin sudah pernah ditempuh oleh ahli lain untuk mendekati permasalahan yang sama atau relatif sama. Dengan demikian, upaya pengembangan yang akan dilakukan memiliki landasan empiris yang mantap.



10. Metode Pengembangan

Metode Pengembangan hendaknya memuat butir-butir (1) model pengembangan, (2) prosedur pengembangan, dan (3) uji coba produk. Dalam butir uji coba produk perlu diungkapkan (a) desain uji coba, (b) subjek uji coba, (c) jenis data, (d) instrumen pengumpulan data, dan (e) teknik analisis data.



a. Model Pengembangan

Model pengembangan dapat berupa model prosedural, model konseptual, dan model teoretik. Model prosedural adalah model yang bersifat deskriptif, yaitu menggariskan langkah-langkah yang harus diikuti untuk menghasilkan produk. Model konseptual adalah model yang bersifat analitis yang memerikan komponen-komponen produk yang akan dikembangkan serta keterkaitan antarkomponen (misalnya model pengembangan rancangan pengajaran Dick dan Carey, 1985). Model teoretik adalah model yang menunjukkan hubungan perubahan antar peristiwa.

Dalam bagian ini perlu dikemukakan secara singkat struktur model yang digunakan sebagai dasar pengembangan produk. Apabila model yang digunakan merupakan adaptasi dari model yang sudah ada, maka pemilihannya perlu disertai dengan alasan, komponen-komponen yang disesuaikan, serta kekuatan dan kelemahan model itu.

Apabila model yang digunakan dikembangkan sendiri, maka informasi yang lengkap mengenai setiap komponen dan kaitan antarkomponen dari model itu perlu dipaparkan. Perlu diperhatikan bahwa uraian model diupayakan seoperasional mungkin sebagai acuan dalam pengembangan produk.



b. Prosedur Pengembangan

Bagian ini memaparkan langkah-langkah prosedural yang ditempuh oleh pengembangan dalam membuat produk. Prosedur pengembangan berbeda dengan model pengembangan. Apabila model pengembangannya adalah prosedural, maka prosedur pengembangannya tinggal mengikuti langkah-langkah seperti yang terlihat dalam modelnya. Model pengembangan juga bisa berupa konseptual atau teoretik. Kedua model ini tidak secara langsung memberi petunjuk tentang bagaimana langkah prosedural yang dilalui sampai ke produk yang dispesifikasi. Oleh karena itu, perlu dikemukakan lagi langkah proseduralnya.



c. Uji coba produk

Uji coba produk dimaksudkan untuk mengumpulkan data yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menetapkan tingkat keefektifan, efisiensi, dan/atau daya tarik dari produk yang dihasilkan.

Dalam bagian ini secara berurutan perlu dikemukakan desain uji coba, subyek uji coba, jenis data, instrumen pengumpulan data, dan teknik analisis data.



1) Desain Uji Coba

Secara lengkap, uji coba produk pengembangan biasanya dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu uji perseorangan, uji kelompok kecil, dan uji lapangan. Dalam kegiatan pengembangan, pengembang mungkin hanya melewati dan berhenti pada tahap uji perseorangan, atau dilanjutkan dan berhenti sampai tahap uji kelompok kecil, atau sampai uji lapangan. Hal ini sangat tergantung pada urgensi dan data yang dibutuhkan melalui uji coba itu.

Desain uji coba produk bisa menggunakan desain yang biasa dipakai dalam penelitian kuantitatif, yaitu desain deskriptif atau eksperimental. Yang perlu diperhatikan adalah ketepatan memilih desain untuk tahapan tertentu (perseorangan, kelompok kecil, atau lapangan) agar data yang dibutuhkan untuk memperbaiki produk dapat diperoleh secara lengkap.



2) Subjek Uji Coba

Karakteristik subjek uji coba perlu diidentifikasi secara jelas dan lengkap, termasuk cara pemilihan subjek uji coba itu. Subjek uji coba produk bisa terdiri dari ahli di bidang isi produk , ahli di bidang perancangan produk, dan/atau sasaran pemakai produk. Subjek uji coba yang ahli di bidang isi produk dapat memiliki kualifikasi keahlian tingkat S1 (untuk skripsi), S2 (untuk tesis), dan S3 (untuk disertasi). Yang penting setiap subjek uji coba yang dilibatkan harus disertai identifikasi karekteristiknya secara jelas dan lengkap, tetapi terbatas dalam kaitannya dengan produk yang dikembangkan.

Teknik pemilihan subjek uji coba juga perlu dikemukakan agak rinci, apakah menggunakan teknik rambang, rumpun, atau teknik lainnya yang sesuai.



3) Jenis Data

Uji coba produk dimaksudkan untuk mengumpulkan data yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menetapkan tingkat keefektifan, efisiensi, dan/atau daya tarik dari produk yang dihasilkan. Dalam konteks ini sering pengembang tidak bermaksud mengumpulkan data secara lengkap yang mencakup ketiganya. Bisa saja, sesuai dengan kebutuhan pengembangan, pengembang hanya melakukan uji coba untuk melihat daya tarik dari suatu produk, atau hanya untuk melihat tingkat efisiensinya, atau keduanya. Keputusan ini tergantung pada pemecahan masalah yang telah ditetapkan di Bab I: apakah pada keefektifan, efisiensi, daya tarik, atau ketiganya.

Penekanan pada efisiensi suatu pemecahan masalah akan membutuhkan data tentang efisiensi produk yang dikembangkan. Begitu pula halnya dengan penekanan pada keefektifan atau daya tarik. Atas dasar ini, maka jenis data yang perlu dikumpulkan harus disesuaikan dengan informasi apa yang dibutuhkan tentang produk yang dikembangkan itu.

Paparan mengenai jenis data yang dikumpulkan hendaknya dikaitkan dengan desain dan pemilihan subjek uji coba. Jenis data tertentu, bagaimanapun juga, akan menuntut desain tertentu dan subjek uji coba tertentu. Misalnya, pengumpulan data mengenai kecermatan isi dapat dilakukan secara perseorangan dari ahli isi, atau secara kelompok dalam bentuk seminar kecil, atau seminar yang lebih luas yang melibatkan ahli isi, ahli desain, dan sasaran pemakai produk.



4) Instrumen Pengumpulan Data

Bagian ini mengemukakan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data seperti yang sudah dikemukakan dalam butir sebelumnya. Jika mengunakan instrumen yang sudah ada, maka perlu ada uraian mengenai karakteristik instrumen itu, terutama mengenai keshahihan dan keterandalannya. Apabila instrumen yang digunakan dikembangkan sendiri, maka prosedur pengembangannya juga perlu dijelaskan.



5) Teknik Analisis Data

Teknik dan prosedur analisis yang digunakan untuk menganali-sis data uji coba dikemukakan dalam bagian ini dan disertai alasannya. Apabila teknik analisis yang digunakan sudah cukup dikenal, maka uraian tidak perlu rinci sekali. Akan tetapi, apabila teknik tersebut belum banyak dikenal, maka uraian perlu lebih rinci.



11. Daftar Rujukan

Bahan pustaka yang dimasukkan dalam daftar rujukan harus sudah disebutkan dalam teks. Artinya, bahan pustaka yang hanya digunakan sebagai bahan bacaan tetapi tidak dirujuk dalam teks tidak dimasukkan dalam daftar rujukan. Sebaliknya, semua bahan pustaka yang disebutkan dalam skripsi, tesis, dan disertasi harus dicantumkan dalam daftar rujukan. Tatacara penulisan daftar rujukan.

Unsur yang ditulis secara berurutan meliputi:

1. nama penulis ditulis dengan urutan: nama akhir, nama awal, nama tengah, tanpa gelar akademik,

2. tahun penerbitan

3. judul, termasuk subjudul

4. kota tempat penerbitan, dan

5. nama penerb

CARA CEPAT SUSUN SKRIPSI


September 10th, 2006 | Education
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), skripsi diartikan sebagai karangan ilmiah yang diwajibkan sebagai bagian dari persyaratan pendidikan akademis. Buat sebagian mahasiswa, skripsi adalah sesuatu yang lumrah. Tetapi buat sebagian mahasiswa yang lain, skripsi bisa jadi momok yang terus menghantui dan menjadi mimpi buruk. Banyak juga yang berujar “lebih baik sakit gigi daripada bikin skripsi”.
Saya juga sering mendapat kiriman pertanyaan tentang bagaimana menyusun skripsi dengan baik dan benar. Ada juga beberapa yang menanyakan masalah teknis tertentu dengan skripsinya. Karena keterbatasan waktu, lebih baik saya jawab saja secara berjamaah di sini. Sekalian supaya bisa disimak oleh audiens yang lain.
Karena target pembacanya cukup luas dan tidak spesifik, maka tulisan ini akan lebih memaparkan tentang konsep dan prinsip dasar. Tulisan ini tidak akan menjelaskan terlalu jauh tentang aspek teknis skripsi/penelitian. Jadi, jangan menanyakan saya soal cara menyiasati internal validity, tips meningkatakan response rate, cara-cara dalam pengujian statistik, bagaimana melakukan interpretasi hasil, dan seterusnya. Itu adalah tugas pembimbing Anda. Bukan tugas saya.
Apa itu Skripsi
Saya yakin (hampir) semua orang sudah tahu apa itu skripsi. Seperti sudah dituliskan di atas, skripsi adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi sebagai bagian untuk mendapatkan gelar sarjana (S1). Skripsi inilah yang juga menjadi salah satu pembeda antara jenjang pendidikan sarjana (S1) dan diploma (D3).
Ada beberapa syarat yang musti dipenuhi sebelum seorang mahasiswa bisa menulis skripsi. Tiap universitas/fakultas memang mempunyai kebijakan tersendiri, tetapi umumnya persyaratan yang harus dipenuhi hampir sama. Misalnya, mahasiswa harus sudah memenuhi sejumlah SKS, tidak boleh ada nilai D atau E, IP Kumulatif semester tersebut minimal 2.00, dan seterusnya. Anda mungkin saat ini belum “berhak” untuk menulis skripsi, akan tetapi tidak ada salahnya untuk mempersiapkan segalanya sejak awal.
Skripsi tersebut akan ditulis dan direvisi hingga mendapat persetujuan dosen pembimbing. Setelah itu, Anda harus mempertahankan skripsi Anda di hadapan penguji dalam ujian skripsi nantinya. Nilai Anda bisa bervariasi, dan terkadang, bisa saja Anda harus mengulang skripsi Anda (tidak lulus).
Skripsi juga berbeda dari tesis (S2) dan disertasi (S3). Untuk disertasi, mahasiswa S3 memang diharuskan untuk menemukan dan menjelaskan teori baru. Sementara untuk tesis, mahasiswa bisa menemukan teori baru atau memverikasi teori yang sudah ada dan menjelaskan dengan teori yang sudah ada. Sementara untuk mahasiswa S1, skripsi adalah “belajar meneliti”.
Jadi, skripsi memang perlu disiapkan secara serius. Akan tetapi, juga nggak perlu disikapi sebagai mimpi buruk atau beban yang maha berat.
Miskonsepsi tentang Skripsi
Banyak mahasiswa yang merasa bahwa skripsi hanya “ditujukan” untuk mahasiswa-mahasiswa dengan kecerdasan di atas rata-rata. Menurut saya pribadi, penulisan skripsi adalah kombinasi antara kemauan, kerja keras, dan relationships yang baik. Kesuksesan dalam menulis skripsi tidak selalu sejalan dengan tingkat kepintaran atau tinggi/rendahnya IPK mahasiswa yang bersangkutan. Seringkali terjadi mahasiswa dengan kecerdasan rata-rata air lebih cepat menyelesaikan skripsinya daripada mahasiswa yang di atas rata-rata.
Masalah yang juga sering terjadi adalah seringkali mahasiswa datang berbicara ngalor ngidul dan membawa topik skripsi yang terlalu muluk. Padahal, untuk tataran mahasiswa S1, skripsi sejatinya adalah belajar melakukan penelitian dan menyusun laporan menurut kaidah keilmiahan yang baku. Skripsi bukan untuk menemukan teori baru atau memberikan kontribusi ilmiah. Karenanya, untuk mahasiswa S1 sebenarnya replikasi adalah sudah cukup.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa penelitian, secara umum, terbagi dalam dua pendekatan yang berbeda: pendekatan saintifik dan pendekatan naturalis. Pendekatan saintifik (scientific approach) biasanya mempunyai struktur teori yang jelas, ada pengujian kuantitif (statistik), dan juga menolak grounded theory. Sebaliknya, pendekatan naturalis (naturalist approach) umumnya tidak menggunakan struktur karena bertujuan untuk menemukan teori, hipotesis dijelaskan hanya secara implisit, lebih banyak menggunakan metode eksploratori, dan sejalan dengan grounded theory.
Mana yang lebih baik antara kedua pendekatan tersebut? Sama saja. Pendekatan satu dengan pendekatan lain bersifat saling melengkapi satu sama lain (komplementer). Jadi, tidak perlu minder jika Anda mengacu pada pendekatan yang satu, sementara teman Anda menggunakan pendekatan yang lain. Juga, tidak perlu kuatir jika menggunakan pendekatan tertentu akan menghasilkan nilai yang lebih baik/buruk daripada menggunakan pendekatan yang lain.
Hal-hal yang Perlu Dilakukan
Siapkan Diri. Hal pertama yang wajib dilakukan adalah persiapan dari diri Anda sendiri. Niatkan kepada Tuhan bahwa Anda ingin menulis skripsi. Persiapkan segalanya dengan baik. Lakukan dengan penuh kesungguhan dan harus ada kesediaan untuk menghadapi tantangan/hambatan seberat apapun.
Minta Doa Restu. Saya percaya bahwa doa restu orang tua adalah tiada duanya. Kalau Anda tinggal bersama orang tua, mintalah pengertian kepada mereka dan anggota keluarga lainnya bahwa selama beberapa waktu ke depan Anda akan konsentrasi untuk menulis skripsi. Kalau Anda tinggal di kos, minta pengertian dengan teman-teman lain. Jangan lupa juga untuk membuat komitmen dengan pacar. Berantem dengan pacar (walau sepele) bisa menjatuhkan semangat untuk menyelesaikan skripsi.
Buat Time Table. Ini penting agar penulisan skripsi tidak telalu time-consuming. Buat planning yang jelas mengenai kapan Anda mencari referensi, kapan Anda harus mendapatkan judul, kapan Anda melakukan bimbingan/konsultasi, juga target waktu kapan skripsi harus sudah benar-benar selesai.
Berdayakan Internet. Internet memang membuat kita lebih produktif. Manfaatkan untuk mencari referensi secara cepat dan tepat untuk mendukung skripsi Anda. Bahan-bahan aktual bisa ditemukan lewat Google Scholar atau melalui provider-provider komersial seperti EBSCO atau ProQuest.
Jadilah Proaktif. Dosen pembimbing memang “bertugas” membimbing Anda. Akan tetapi, Anda tidak selalu bisa menggantungkan segalanya pada dosen pembimbing. Selalu bersikaplah proaktif. Mulai dari mencari topik, mengumpulkan bahan, “mengejar” untuk bimbingan, dan seterusnya.
Be Flexible. Skripsi mempunyai tingkat “ketidakpastian” tinggi. Bisa saja skripsi anda sudah setengah jalan tetapi dosen pembimbing meminta Anda untuk mengganti topik. Tidak jarang dosen Anda tiba-tiba membatalkan janji untuk bimbingan pada waktu yang sudah disepakati sebelumnya. Terkadang Anda merasa bahwa kesimpulan/penelitian Anda sudah benar, tetapi dosen Anda merasa sebaliknya. Jadi, tetaplah fleksibel dan tidak usah merasa sakit hati dengan hal-hal yang demikian itu.
Jujur. Sebaiknya jangan menggunakan jasa “pihak ketiga” yang akan membantu membuatkan skripsi untuk Anda atau menolong dalam mengolah data. Skripsi adalah buah tangan Anda sendiri. Kalau dalam perjalanannya Anda benar-benar tidak tahu atau menghadapi kesulitan besar, sampaikan saja kepada dosen pembimbing Anda. Kalau disampaikan dengan tulus, pastilah dengan senang hati ia akan membantu Anda.
Siapkan Duit. Skripsi jelas menghabiskan dana yang cukup lumayan (dengan asumsi tidak ada sponsorships). Mulai dari akses internet, biaya cetak mencetak, ongkos kirim kuesioner, ongkos untuk membeli suvenir bagi responden penelitian, biaya transportasi menuju tempat responden, dan sebagainya. Jangan sampai penulisan skripsi macet hanya karena kehabisan dana. Ironis kan?
Tahap-tahap Persiapan
Kalau Anda beruntung, bisa saja dosen pembimbing sudah memiliki topik dan menawarkan judul skripsi ke Anda. Biasanya, dalam hal ini dosen pembimbing sedang terlibat dalam proyek penelitian dan Anda akan “ditarik” masuk ke dalamnya. Kalau sudah begini, penulisan skripsi jauh lebih mudah dan (dijamin) lancar karena segalanya akan dibantu dan disiapkan oleh dosen pembimbing.
Sayangnya, kebanyakan mahasiswa tidak memiliki keberuntungan semacam itu. Mayoritas mahasiswa, seperti ditulis sebelumnya, harus bersikap proaktif sedari awal. Jadi, persiapan sedari awal adalah sesuatu yang mutlak diperlukan.
Idealnya, skripsi disiapkan satu-dua semester sebelum waktu terjadwal. Satu semester tersebut bisa dilakukan untuk mencari referensi, mengumpulkan bahan, memilih topik dan alternatif topik, hingga menyusun proposal dan melakukan bimbingan informal.
Dalam mencari referensi/bahan acuan, pilih jurnal/paper yang mengandung unsur kekinian dan diterbitkan oleh jurnal yang terakreditasi. Jurnal-jurnal top berbahasa asing juga bisa menjadi pilihan. Kalau Anda mereplikasi jurnal/paper yang berkelas, maka bisa dipastikan skripsi Anda pun akan cukup berkualitas.
Unsur kekinian juga perlu diperhatikan. Pertama, topik-topik baru lebih disukai dan lebih menarik, bahkan bagi dosen pembimbing/penguji. Kalau Anda mereplikasi topik-topik lawas, penguji biasanya sudah “hafal di luar kepala” sehingga akan sangat mudah untuk menjatuhkan Anda pada ujian skripsi nantinya.
Kedua, jurnal/paper yang terbit dalam waktu 10 tahun terakhir, biasanya mengacu pada referensi yang terbit 5-10 tahun sebelumnya. Percayalah bahwa mencari dan menelusur referensi yang terbit tahun sepuluh-dua puluh tahun terakhir jauh lebih mudah daripada melacak referensi yang bertahun 1970-1980.
Salah satu tahap persiapan yang penting adalah penulisan proposal. Tentu saja proposal tidak selalu harus ditulis secara “baku”. Bisa saja ditulis secara garis besar (pointer) saja untuk direvisi kemudian. Proposal ini akan menjadi guidance Anda selama penulisan skripsi agar tidak terlalu keluar jalur nantinya. Proposal juga bisa menjadi alat bantu yang akan digunakan ketika Anda mengajukan topik/judul kepada dosen pembimbing Anda. Proposal yang bagus bisa menjadi indikator yang baik bahwa Anda adalah mahasiswa yang serius dan benar-benar berkomitmen untuk menyelesaikan skripsi dengan baik.
Kiat Memilih Dosen Pembimbing
Dosen pembimbing (academic advisor) adalah vital karena nasib Anda benar-benar berada di tangannya. Memang benar bahwa dosen pembimbing bertugas mendampingi Anda selama penulisan skripsi. Akan tetapi, pada prakteknya ada dosen pembimbing yang “benar-benar membimbing” skripsi Anda dengan intens. Ada pula yang membimbing Anda dengan “melepas” dan memberi Anda kebebasan. Mempelajari dan menyesuaikan diri dengan dosen pembimbing adalah salah satu elemen penting yang mendukung kesuksesan Anda dalam menyusun skripsi.
Tiap universitas/fakultas mempunyai kebijakan tersendiri soal dosen pembimbing ini. Anda bisa memilih sendiri dosen pembimbing yang Anda inginkan. Tapi ada juga universitas/fakultas yang memilihkan dosen pembimbing buat Anda. Tentu saja lebih “enak” kalau Anda bisa memilih sendiri dosen pembimbing untuk skripsi Anda.
Lalu, bagaimana memilih dosen pembimbing yang benar-benar tepat?
Secara garis besar, dosen bisa dikategorikan sebagai: (1) dosen senior, dan (2) dosen junior. Dosen senior umumnya berusia di atas 40-an tahun, setidaknya bergelar doktor (atau professor), dengan jam terbang yang cukup tinggi. Sebaliknya, dosen junior biasanya berusia di bawah 40 tahun, umumnya masih bergelar master, dan masih gampang dijumpai di lingkungan kampus.
Tentu saja, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sebagai contoh, kalau Anda memilih dosen pembimbing senior, biasanya Anda akan mengalami kesulitan sebagai berikut:
  • Proses bimbingan cukup sulit, karena umumnya dosen senior sangat perfeksionis.
  • Anda akan kesulitan untuk bertemu muka karena umumnya dosen senior memiliki jam terbang tinggi dan jadwal yang sangat padat.
Tapi, keuntungannya:
  • Kualitas skripsi Anda, secara umum, akan lebih memukau daripada rekan Anda.
  • Anda akan “tertolong” saat ujian skripsi/pendadaran, karena dosen penguji lain (yang kemungkinan masih junior/baru bergelar master) akan merasa sungkan untuk “membantai” Anda.
  • Dalam beberapa kasus, bisa dipastikan Anda akan mendapat nilai A.
Sebaliknya, kalau Anda memilih dosen pembimbing junior, maka Anda akan lebih mudah selama proses bimbingan. Dosen Anda akan mudah dijumpai di lingkungan kampus karena jam terbangnya belum terlalu tinggi. Dosen muda umumnya juga tidak “jaim” dan “sok” kepada mahasiswanya.
Tapi, kerugiannya, Anda akan benar-benar “sendirian” ketika menghadapi ujian skripsi. Kalau dosen penguji lain lebih senior daripada dosen pembimbing Anda, bisa dipastikan Anda akan “dihajar” cukup telak. Dan dosen pembimbing Anda tidak berada dalam posisi yang bisa membantu/membela Anda.
Jadi, hati-hati juga dalam memilih dosen pembimbing.
Format Skripsi yang Benar
Biasanya, setiap fakultas/universitas sudah menerbitkan acuan/pedoman penulisan hasil penelitian yang baku. Mulai dari penyusunan konten, tebal halaman, jenis kertas dan sampul, hingga ukuran/jenis huruf dan spasi yang digunakan. Akan tetapi, secara umum format hasil penelitian dibagi ke dalam beberapa bagian sebagai berikut.
Pendahuluan. Bagian pertama ini menjelaskan tentang isu penelitian, motivasi yang melandasi penelitian tersebut dilakukan, tujuan yang diharapkan dapat tercapai melalui penelitian ini, dan kontribusi yang akan diberikan dari penelitian ini.
Pengkajian Teori & Pengembangan Hipotesis. Setelah latar belakang penelitian dipaparkan jelas di bab pertama, kemudian dilanjutkan dengan kaji teori dan pengembangan hipotesis. Pastikan bahwa bagian ini align juga dengan bagian sebelumnya. Mengingat banyak juga mahasiswa yang “gagal” menyusun alignment ini. Akibatnya, skripsinya terasa kurang make sense dan nggak nyambung.
Metodologi Penelitian. Berisi penjelasan tentang data yang digunakan, pemodelan empiris yang dipakai, tipe dan rancangan sampel, bagaimana menyeleksi data dan karakter data yang digunakan, model penelitian yang diacu, dan sebagainya.
Hasil Penelitian. Bagian ini memaparkan hasil pengujian hipotesis, biasanya meliputi hasil pengolahan secara statistik, pengujian validitas dan reliabilitas, dan diterima/tidaknya hipotesis yang diajukan.
Penutup. Berisi ringkasan, simpulan, diskusi, keterbatasan, dan saran. Hasil penelitian harus disarikan dan didiskusikan mengapa hasil yang diperoleh begini dan begitu. Anda juga harus menyimpulkan keberhasilan tujuan riset yang dapat dicapai, manakah hipotesis yang didukung/ditolak, keterbatasan apa saja yang mengganggu, juga saran-saran untuk penelitian mendatang akibat dari keterbatasan yang dijumpai pada penelitian ini.
Jangan lupa untuk melakukan proof-reading dan peer-review. Proof-reading dilakukan untuk memastikan tidak ada kesalahan tulis (typo) maupun ketidaksesuaian tata letak penulisan skripsi. Peer-review dilakukan untuk mendapatkan second opinion dari pihak lain yang kompeten. Bisa melalui dosen yang Anda kenal baik (meski bukan dosen pembimbing Anda), kakak kelas/senior Anda, teman-teman Anda yang dirasa kompeten, atau keluarga/orang tua (apabila latar belakang pendidikannya serupa dengan Anda).
Beberapa Kesalahan Pemula
Ketidakjelasan Isu. Isu adalah titik awal sebelum melakukan penelitian. Isu seharusnya singkat, jelas, padat, dan mudah dipahami. Isu harus menjelaskan tentang permasalahan, peluang, dan fenomena yang diuji. Faktanya, banyak mahasiswa yang menuliskan isu (atau latar belakang) berlembar-lembar, tetapi sama sekali sulit untuk dipahami.
Tujuan Riset & Tujuan Periset. Tidak jarang mahasiswa menulis “sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan” sebagai tujuan risetnya. Hal ini adalah kesalahan fatal. Tujuan riset adalah menguji, mengobservasi, atau meneliti fenomena dan permasalahan yang terjadi, bukan untuk mendapatkan gelar S1.
Bab I: Bagian Terpenting. Banyak mahasiswa yang mengira bahwa bagian terpenting dari sebuah skripsi adalah bagian pengujian hipotesis. Banyak yang menderita sindrom ketakutan jika nantinya hipotesis yang diajukan ternyata salah atau ditolak. Padahal, menurut saya, bagian terpenting skripsi adalah Bab I. Logikanya, kalau isu, motivasi, tujuan, dan kontribusi riset bisa dijelaskan secara runtut, biasanya bab-bab berikutnya akan mengikuti dengan sendirinya. (baca juga: Joint Hypotheses)
Padding. Ini adalah fenomena yang sangat sering terjadi. Banyak mahasiswa yang menuliskan terlalu banyak sumber acuan dalam daftar pustaka, walaupun sebenarnya mahasiswa yang bersangkutan hanya menggunakan satu-dua sumber saja. Sebaliknya, banyak juga mahasiswa yang menggunakan beragam acuan dalam skripsinya, tetapi ketika ditelusur ternyata tidak ditemukan dalam daftar acuan.
Joint Hypotheses. Menurut pendekatan saintifik, pengujian hipotesis adalah kombinasi antara fenomena yang diuji dan metode yang digunakan. Dalam melakukan penelitian ingatlah selalu bahwa fenomena yang diuji adalah sesuatu yang menarik dan memungkinkan untuk diuji. Begitu pula dengan metode yang digunakan, haruslah metode yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kalau keduanya terpenuhi, yakinlah bahwa skripsi Anda akan outstanding. Sebaliknya, kalau Anda gagal memenuhi salah satu (atau keduanya), bersiaplah untuk dibantai dan dicecar habis-habisan.
Keterbatasan & Kemalasan. Mahasiswa sering tidak bisa membedakan antara keterbatasan riset dan “kemalasan riset”. Keterbatasan adalah sesuatu hal yang terpaksa tidak dapat terpenuhi (atau tidak dapat dilakukan) karena situasi dan kondisi yang ada. Bukan karena kemalasan periset, ketiadaan dana, atau sempitnya waktu.
Kontribusi Riset. Ini penting (terutama) jika penelitian Anda ditujukan untuk menarik sponsor atau dibiayai dengan dana pihak sponsor. Kontribusi riset selayaknya dijelaskan dengan lugas dan gamblang, termasuk pihak mana saja yang akan mendapatkan manfaat dari penelitian ini, apa korelasinya dengan penelitian yang sedang dilakukan, dan seterusnya. Kegagalan dalam menjelaskan kontribusi riset akan berujung pada kegagalan mendapatkan dana sponsor.
Menghadapi Ujian Skripsi
Benar. Banyak mahasiswa yang benar-benar takut menghadapi ujian skripsi (oral examination). Terlebih lagi, banyak mahasiswa terpilih yang jenius tetapi ternyata gagal dalam menghadapi ujian pendadaran. Di dalam ruang ujian sendiri tidak jarang mahasiswa mengalami ketakutan, grogi, gemetar, berkeringat, yang pada akhirnya menggagalkan ujian yang harus dihadapi.
Setelah menulis skripsi, Anda memang harus mempertahankannya di hadapan dewan penguji. Biasanya dewan penguji terdiri dari satu ketua penguji dan beberapa anggota penguji. Lulus tidaknya Anda dan berapa nilai yang akan Anda peroleh adalah akumulasi dari skor yang diberikan oleh masing-masing penguji. Tiap penguji secara bergantian (terkadang juga keroyokan) akan menanyai Anda tentang skripsi yang sudah Anda buat. Waktu yang diberikan biasanya berkisar antara 30 menit hingga 1 jam.
Ujian skripsi kadang diikuti juga dengan ujian komprehensif yang akan menguji sejauh mana pemahaman Anda akan bidang yang selama ini Anda pelajari. Tentu saja tidak semua mata kuliah diujikan, melainkan hanya mata kuliah inti (core courses) saja dengan beberapa pertanyaan yang spesifik, baik konseptual maupun teknis.
Grogi, cemas, kuatir itu wajar dan manusiawi. Akan tetapi, ujian skripsi sebaiknya tidak perlu disikapi sebagai sesuatu yang terlalu menakutkan. Ujian skripsi adalah “konfirmasi” atas apa yang sudah Anda lakukan. Kalau Anda melakukan sendiri penelitian Anda, tahu betul apa yang Anda lakukan, dan tidak grogi di ruang ujian, bisa dipastikan Anda akan perform well.
Cara terbaik untuk menghadapi ujian skripsi adalah Anda harus tahu betul apa yang Anda lakukan dan apa yang Anda teliti. Siapkan untuk melakukan presentasi. Akan tetapi, tidak perlu Anda paparkan semuanya secara lengkap. Buatlah “lubang jebakan” agar penguji nantinya akan menanyakan pada titik tersebut. Tentu saja, Anda harus siapkan jawabannya dengan baik. Dengan begitu Anda akan tampak outstanding di hadapan dewan penguji.
Juga, ada baiknya beberapa malam sebelum ujian, digiatkan untuk berdoa atau menjalankan sholat tahajud di malam hari. Klise memang. Tapi benar-benar sangat membantu.
Jujur saja, saya (dulu) menyelesaikan skripsi dalam tempo 4 minggu tanpa ada kendala dan kesulitan yang berarti. Dosen pembimbing saya adalah seorang professor dengan jam terbang sangat tinggi. Selama berada dalam ruang ujian, kami lebih banyak berbicara santai sembari sesekali tertawa. Dan Alhamdulillah saya mendapat nilai A.
Bukan. Bukan saya bermaksud sombong, tetapi hanya untuk memotivasi Anda. Kalau saya bisa, seharusnya Anda sekalian pun bisa.
Pasca Ujian Skripsi
Banyak yang mengira, setelah ujian skripsi segalanya selesai. Tinggal revisi, bawa ke tukang jilid/fotokopi, urus administrasi, daftar wisuda, lalu traktir makan teman-teman. Memang benar. Setelah Anda dinyatakan lulus ujian skripsi, Anda sudah berhak menyandang gelar sarjana yang selama ini Anda inginkan.
Faktanya, lulus ujian skripsi saja sebenarnya belum terlalu cukup. Sebenarnya Anda bisa melakukan lebih jauh lagi dengan skripsi Anda. Caranya?
Cara paling gampang adalah memodifikasi dan memperbaiki skripsi Anda untuk kemudian dikirimkan pada media/jurnal publikasi. Cara lain, kalau Anda memang ingin serius terjun di dunia ilmiah, lanjutkan dan kembangkan saja penelitian/skripsi Anda untuk jenjang S2 atau S3. Dengan demikian, kelak akan semakin banyak penelitian dan publikasi yang mudah-mudahan bisa memberi manfaat bagi bangsa ini.
Bukan apa-apa, saya cuma ingin agar bangsa ini bisa lebih cerdas dan arif dalam menciptakan serta mengelola pengetahuan. Sekarang mungkin kita memang tertinggal dari bangsa lain. Akan tetapi, dengan melakukan penelitian, membuat publikasi, dan seterusnya, bangsa ini bisa cepat bangkit mengejar ketertinggalan.
Jadi, menyusun skripsi itu sebenarnya mudah kan?

RPMJ NTT 2009-2013

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 1 - BAB II Gambaran Umum Kondisi Daerah Pemerintah Nusa Tenggara Timur pada Periode 2004 – 2008 memberikan perhatian pada pembangunan bidang Ekonomi, Sumber Daya Manusia serta Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui Tiga Pilar Pemerataan. Pilihan terhadap bidang ini sebagai tanggapan atas kondisi dan tuntutan yang sedang terjadi di masyarakat pada waktu itu. Berbagai upaya mengoptimalkan kekuatan dan peluang dihadapkan dengan tantangan serta ancaman memberikan gambaran situasi dan kondisi untuk memasuki pembangunan selanjutnya. Pada periode ini juga dimulainya pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Nusa Tenggara Timur Tahun 2005-2025 untuk Tahap Pertama Tahun 2005-2008. Untuk itu pembahasan berikut selain merefleksikan posisi dan kondisi aktual provinsi dalam konteks kewilayahan beserta seluruh unsur potensi, juga menampilkan hasilhasil penyelenggaraan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi, kabupaten, pemerintah pusat, badan-badan PBB, beserta komponen masyarakat dan swasta yang meliputi lembaga swadaya masyarakat/LSM lokal dan internasional serta lembaga-lembaga internasional pemerintah dan masyarakat internasional lainnya. Secara terpilah sulit dilakukan analisis terhadap peran dan kontribusi menurut sumber-sumber pembiayaan/belanja setiap organisasi dan struktur pemerintahan oleh karena itu capaian yang ditampilkan merupakan akumulasi-integrasi kegiatan yang merujuk pada programprogram dalam dokumen PROPEDA Tahun 2004-2008 (Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004) memberikan indikator-indikator target yang mengarah kepada derajad pembangunan daerah. Ukuran pencapaian tersebut sebagai bentuk indikator makro yang komposit meliputi ekonomi, kesejahteraan dan sumber daya manusia serta pembangunan hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi menunjukan capaian tingkat pertumbuhan rata tahunan pada periode 2004 – 2008 sebesar 5,16 %, dan untuk sumber daya manusia dilihat dari perubahan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mengalami kenaikan dari 61,5 di tahun 2003 menjadi 64,8 pada tahun 2007, pada tingkat kesejahteraan mencatat adanya penurunan angka tingkat pengangguran terbuka dari 5,46 memasuki tahun 2004 turun menjadi 3,72 % di tahun 2007. Hal yang sama juga tercermin dari angka proporsi penduduk miskin yang masih 27,51 % tahun 2007, tingkat pendapatan masyarakat menurut PDRB sebesar 3,6 juta rupiah/kapita atau sepertiga nasional. Dibidang pendidikan angka buta aksara penduduk berusia diatas 15 tahun sebesar 377.710 orang di tahun 2005, mengalami penurunan menjadi 250.720 orang atau 33,6 % atau 8,26 % dari proporsi penduduk pada tahun 2007. Pembangunan di bidang kesehatan masyarakat walaupun diakui sebagai hak azasi dan investasi yang paling fundamental dari pembangunan sumber daya manusia namun hasilnya belum merefleksikan pengakuan ini. Umur Harapan Hidup 64,4 (2004) menjadi 65,1 (2006). Gizi buruk dan gizi kurang 39% (2005) menjadi 33,6% (2008). Angka Kematian Bayi 62/1000 kelahiran hidup (2006) menjadi 57/1000 kelahiran hidup (2007), Angka Kematian Ibu 554/100.000 kelahiran hidup (2004) menjadi 306/100.000 kelahiran hidup (2007). Pembangunan bidang hukum dan HAM juga menunjukan perubahan positif yang diindikasikan dengan perubahan jumlah kasus pelanggaran hukum dalam berbagai bentuk dan penurunan angka frekwensi kriminal atau crime clock dari 1,36 jam tahun 2004 menjadi 1,48 jam tahun 2007. Dalam kaitan dengan pelaksanaan pengawasan oleh aparat pengawasan terhadap penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan menunjukan pengurangan temuan antara tahun 2004 dan 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 2 - 2.1. Bentangan Alam. 2.1.1. Geografis Wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah kepulauan, dengan luas daratan + 47.350 Km2 dan luas perairan laut + 200.000 Km2, yang membentang sepanjang 160 Km dari Utara (Pulau Palue di laut Flores) sampai Selatan (Pulau Ndana) di Laut Timor dan sepanjang 400 km dari bagian barat di Pulau Komodo yang berbatasan dengan Selat Sape, Nusa Tenggara Barat, sampai Alor di bagian Timur, berbatasan dengan Timor Leste di Selat Ombai. Secara astronomis, wilayah ini terletak di antara 80-120 Lintang Selatan dan 1180-1250 Bujur Timur. Wilayah ini meliputi 566 pulau. Di antaranya, 44 pulau yang berpenghuni dan 508 pulau yang telah bernama. Provinsi Nusa Tenggara Timur terletak di bagian Tenggara Indonesia, dan berbatasan langsung dengan dua negara tetangga, Australia dan Timor Leste. 2.1.2. Geomorfologi Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur termasuk dalam kawasan Circum Mediteranea. Pulau Flores tergolong relatif labil, akibat patahan-patahan sering terjadi. Pulau –pulau Flores, Alor, Komodo, Solor, Lembata dan pulau – pulau sekitarnya terbentuk secara vulkanik. Sementara pulau-pulau Sumba, Sabu, Rote, Semau, Timor, dan pulau sekitarnya terbentuk melalu proses pengangkatan. Proses geologis demikian menyebabkan jalur pulau–pulau yang terletak pada jalur vulkanik memiliki sejumlah gunung berapi dan memiliki potensi kejadian gempa bumi yang lebih tinggi. Proses pengangkatan yang kemudian membentuk gugusan pulau-pulau Timor, Sumba, Rote, Sabu dan lain-lain, terjadi karena benturan busur kepulauan “Paleo Timor” dengan kerak samudera dan membentuk batuan, berkomposisi basa dan ultra basa. Pengangkatan tersebut terjadi akibat pegeseran, imbrikasi dan duplikasi serta intrusi plutonik pada orogenesa Neogen, sebagaimana diperlihatkan oleh sedimen Miosen – Pliosen yang diendapkan di atas komplek orogen, memperlihatkan lingkungan semakin dangkal ke arah atas, dari batial hingga laut dangkal. Topografi wilayah sebagian besar berbukit hingga bergunung-gunung, dengan kemiringan lahan >40%. Wilayah-wilayah yang datar hingga landai, dengan kemiringan <8% relatif terbatas.Sebagian besar kawasan produksi berada pada lahan-lahan dengan kemiringan 8-40%. Akibat potensi erosi sangat tinggi dan menyebabkan laju degradasi sumberdaya lahan tinggi. Tidaklah heran jika sebaran pemukiman yang mengisi ruang yang terbatas menjadi salah satu tantangan pembangunan yang beresiko kepada lingkungan mobilisasi menghalang pembangunan program untuk layanan umum, ekonomi harga tinggi (tidak saja dalam berpulau pelbagai kondisi grografis. Kondisi topografis Nusa Tenggara Timur sebagian besar berbukit-bukit dan bergunung. Kawasan yang tergolong datar hingga landai menyebar secara sporadis pada gugusan-gugusan yang sempit, di antara lekukan perbukitan atau memanjang mengikuti garis pantai. Lahan dengan kemiringan <40, yang cocok untuk kawasan budidaya mencapai 64.54%, sebagian besar di antaranya (38,07% dari total luas lahan) memiliki kemiringan 15 – 40 persen. Sisanya, 35,46% merupakan lahan dengan kemiringan >40%, dan tidak dapat dikelola sebagai areal budidaya. Kondisi geomorfologis/bentang alam yang demikian menimbulkan potensi erosi yang sangat tinngi. Akibatnya, laju degradasi sumberdaya lahan yang tinggi. Wilayah provinsi NTT juga diketahui memiliki potensi bahan tambang yang beragam. Sejumlah bahan mineral penting yang keberadaannya sudah diidentifikasi adalah meliputi: Pasir Besi (Fe), Mangan (Mn), Emas (Au), Flourspor (Fs), Barit (Ba), Belerang (S), Posfat (Po), Zeolit (Z), Batupermata (Bp), Pasir Kwarsa (Pkws), Pasir (Ps), Gipsum (Gps), Batumarmer (Mr), Batugamping (Bgp), Granit (Gr), Andesit (An), Basalt (Bsl), Pasirbatu (Pa), Batuapung (Pu), Tanah Diatomea (Td) Lempung/Clay (Lp). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 3 - Dari aspek vulkanik dan kegempaan, NTT memiliki 11 gunung berapi aktif (vulkanik) dengan ketinggian antara 600 – 2.200 meter di atas permukaan laut. Gunung api tersebut menyebar dari pulau Flores hingga Lembata. Semuanya pernah erupsi, yang berlangsung dalam kurun waktu tahun 1881 sampai 2007. Hingga saat ini sebagian di antaranya masih aktif, satu diantaranya yang saat ini sedang aktif yaitu gunung Egon di kabupaten Sikka. 2.1.3. Iklim dan Hidrologi Konfigurasi geografis NTT sebagai provinsi kepulauan dan letaknya pada posisi silang di antara dua benua yaitu Asia dan Australia, dan di antara dua samudra yaitu Hindia dan Pasifik, menentukan karakteristik iklim di wilayah ini. Wilayah provinsi NTT secara umum termasuk ke dalam tipe iklim tropis, dengan variasi suhu dan penyinaran matahari yang rendah. Rata-rata suhu minimum dan maksimum, masing-masing, 24 dan 320C, dengan panjang hari ±12 jam. Pola umum iklim wilayah ini adalah pola musim hujan musim kemarau. Musim hujan berlangsung antara November dan Maret, dan musim kemarau antara April dan Oktober. Pola iklim demikian dikendalikan oleh pola angin moonsoon dari Tenggara yang relatif kering dan dari arah Barat Laut, yang membawa banyak uap air. Konfigurasi kepulauan dan topografi wilayah juga merupakan pengendali iklim lokal yang berpengaruh terhadap karakteristik iklim lokal. Akibatnya, keragaman iklim antar wilayah di daerah ini juga sangat besar. Dari aspek curah hujan, rata-rata curah hujan tahunan bervariasi antara 850 mm di daerah-daerah seperti Sabu, Maumere, dan Waingapu, hingga lebih dari 2500 mm di Ruteng, Kuwus, dan Lelogama. Secara umum, iklim wilayah NTT termasuk ke dalam kategori iklim semi-arid, dengan periode hujan yang hanya berlangsung 3-4 bulan, dan periode kering 8-9 bulan. Kondisi iklim demikian mendeterminasi pola pertanian tradisional NTT yang hanya mengusahakan tanaman semusim, yang ditanam dalam periode musim hujan. Keadaan demikian juga mempengaruhi produktivitas tenaga kerja pertanian, yang tergolong sangat rendah (jumlah jam kerja <5 jam/minggu), akibat dari waktu kerja bertani yang hanya berlangsung 3-4 bulan dalam setahun. Persoalan cura hujan di NTT juga diperparah oleh pengaruh iklim global, terutama fenomena elnino dan lanina, serta fenomena perubahan iklim global yang kurang menguntungkan. Dampak dari pengaruh iklim global dimaksud antara lain adalah waktu onset dan offset musim hujan yang sulit diprediksi, dan fenomena kondisi musim kemarau dan musim hujan yang ekstrim. Akibatnya adalah antara lain: kekeringan, gagal tanam, gagal panen, banjir, dan gangguan hama dan penyakit tanaman yang serius. Gambaran kondisi hidrologi wilayah provinsi NTT dapat dilihat dari potensi air permukaan dan air tanah. Secara umum, potensi hidrologi di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur, terutama air permukaan, tergolong kecil. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya eksploitasi sumber air permukaan untuk kepentingan pembangunan. Daerah Aliran Sungai (DAS) dibentuk dari beberapa sungai dan danau. Di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur terdapat 27 DAS dengan luas keseluruhan 1.527.900 Ha. Sungai yang terpanjang di wilayah Nusa Tenggara Timur adalah Sungai Benenai (100 Km), yang mencakup Kabupaten TTS, TTU dan Belu dengan DAS seluas : 4500km di Kabupaten Belu. DAS terluas adalah DAS Benenai, seluas 329.841 Ha. 2.1.4. Tanah dan Lahan Iklim dan topografi merupakan dua di antara faktor pembentuk tanah yang penting. Kondisi topografi wilayah yang berbukit dan bergunung-gunung, dan iklim yang relatif kering menyebabkan jenis tanah dominan adalah tanah-tanah muda, seperti dari ordo entisol, alfisol dan inceptisol. Jenis-jenis tanah lain yang luas dan sebarannya cukup signifikan adalah vertisol dan molisol. Secara umum, tanah-tanah ini memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi dan kandungan hara pada level rendah sampai sedang. Tekstur tanah bervariasi dari berat, pada tanah-tanah vertisols, sampai ringan pada tanah-tanah entisol dan alfisol. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 4 - Persoalan penting yang berhubungan dengan tanah adalah kedalaman solum. Sebagian besar tanah di wilayah ini memiliki solum yang sangat dangkal (<30 cm). Solum tanah yang dangkal menyebabkan kapasitas retensi air tanah terbatas. Akibatnya tanaman yang tumbuh pada tanah semacam ini sangat rentan terhadap kondisi kurang hujan. Dengan demikian, kendala utama pengelolaan lahan untuk produksi pertanian adalah ketersediaan air. 2.2. Kependudukan dan Keluarga Berencana 2.2.1. Jumlah penduduk Jumlah penduduk provinsi NTT pada tahun 2006 berjumlah 4.355.121 jiwa. Pada tahun 2007 jumlah penduduk tersebut meningkat menjadi 4.448.873 jiwa atau bertambah sebanyak 93.752 jiwa. Rincian jumlah penduduk menurut kabupaten /kota sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini: Tabel. 2.1 Jumlah Penduduk, Luas Daerah, dan Kepadatan Penduduk Provinsi NTT Menurut Kabupaten / Kota Tahun 2007 No Provinsi/ Kab./Kota Jumlah Penduduk Luas Daerah Kepadatan Penduduk (km2) Persentase Penduduk Kabupaten Terhadap Penduduk NTT (1) (2) (3) (4) (5) 1 Sumba Barat 104.383 737,42 141,55 2,35 2 Sumba Timur 223.116 7.000,50 31,87 5,02 3 Kupang 373.663 5.898,26 63,35 8,58 4 Timor Tengah Selatan 415.660 3.947,00 105,31 9,34 5 Timor Tengah Utara 211.350 2.669,66 79,17 4,75 6 Belu 418.004 2.445,57 170,92 9,40 7 Alor 178.964 2.864,60 62,47 4,02 8 Lembata 104.440 1.266,38 82,47 2,35 9 Flores Timur 229.918 1.812,85 126,83 5,17 10 Sikka 277.627 1.731,92 160,30 6,24 11 Ende 238.040 2.046,62 116,31 5,35 12 Ngada 131.465 1.620,92 81,11 2,96 13 Manggarai 504.163 4.188,90 120,36 11,33 14 Rate Ndao 112.553 1.280,00 87,93 2,53 15 Manggarai Barat 201.129 2.947,50 68,24 4,52 16 Sumba Barat Daya 255.961 1.445,32 136,94 5,75 17 Sumba Tengah 58.964 1.869,18 40,80 1,33 18 Nagekeo 123.174 1.416,96 86,93 2,77 19 Manggarai Timur *) - - - - 20 Kota Kupang 286.299 160,34 1.785,57 6,44 Nusa Tenggara Timur Tahun 2007 4.448.873 47.349,90 93,96 100,00 Nusa Tenggara Timur Tahun 2006 4.355.121 47.349,90 91,98 100,00 Sumber: Diolah dari hasil Proyeksi Penduduk BPS 2005-2015 *) = Data masih bergabung dengan kabupaten induk. Komposisi penduduk NTT tahun 2007 berdasarkan jenis kelamin memperlihatkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki dengan perbandingan rata-rata persentase antara populasi perempuan (2.235.265 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 5 - jiwa ) dan laki-laki (2.213.608) yaitu 50,24% : 49,76%. Komposisi penduduk NTT menurut umur, memperlihatkan presentase penduduk usia 15-64 tahun paling besar jumlahnya yaitu 57,15% (2.542.948 jiwa), dan diikuti persentase anak-anak (0-14 tahun) sebesar 37,84% (1.683.679 jiwa), sedangkan penduduk usia 65 tahun ke atas paling kecil yakni 4,99% (222.246 jiwa) dari total penduduk NTT. Dengan demikian, permasalahan aktual yang dihadapi ke depan adalah jumlah usia penduduk produktif dan lapangan kerja yang tersedia tidak seimbang, sehingga menimbulkan banyaknya pengganguran. 2.2.2. Pertumbuhan Pertumbuhan penduduk pada suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor: 1). Migrasi, 2). Kelahiran, dan 3). Kematian. Ketiga faktor tersebut telah mempengaruhi jumlah penduduk di provinsi NTT. Rerata tingkat pertumbuhan penduduk di provinsi NTT antara tahun 2000- 2002 adalah 1,96 % per tahun, kemudian mengalami penurunan rerata pada tahun 2003 – 2005 menjadi 1,86% per tahun. Pada tahun 2007 telah terjadi penambahan jumlah penduduk sebanyak 93.735 jiwa dari tahun 2006 (4.355.121 jiwa), sehingga jumlah penduduk tahun 2007 menjadi 4.448.873 jiwa atau telah terjadi pertumbuhan sebesar 1,82%. Pertumbuhan penduduk ini masih dikategorikan sedang, karena berdasarkan pengelompokannya pertumbuhan penduduk dibawah 1% adalah rendah, antara 1%-2% adalah sedang dan diatas 2% adalah tinggi. 2.2.3. Kepadatan Penduduk Tingkat kepadatan penduduk merupakan gambaran dari perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah. Tabel 2.1. diatas menunjukan bahwa pada tahun 2006 tingkat kepadatan penduduk di provinsi NTT sebesar 91,98/km2. Pada tahun 2007 tingkat kepadatan penduduk meningkat menjadi 93,96/km2. Tingkat kepadatan penduduk pada tahun 2007 ini menggambarkan bahwa rerata jumlah penduduk yang mendiami setiap kilometer persegi sebesar 92 orang. Apabila dilihat menurut kabupaten/kota, maka rerata tingkat kepadatan penduduk tertinggi berada di Kota Kupang yaitu 1.785,57 orang/km2, kemudian diikuti oleh Kabupaten Belu dan Kabupaten Sikka masing-masing sebesar 170,92/km2 dan 160,30/km2, sedangkan Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Alor merupakan kabupaten dengan tingkat kepadatan penduduk terendah yaitu 31,87/km2, 40,80/km2 dan 62,47/km2. 2.2.4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Salah satu indikator utama yang dipakai dalam mengukur keberhasilan pembangunan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan indikator komposit dari pembangunan bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang dihitung berdasarkan angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, angka melek huruf dan pengeluaran riil per kapita. Sampai dengan tahun 2005 IPM di provinsi NTT adalah 62,7, jumlah ini terus meningkat menjadi 63,6 pada tahun 2006 dan 64,8 pada tahun 2007. Sementara itu pada tahun yang sama rataan IPM tingkat Nasional adalah 69,6 untuk tahun 2005 dan 70,1 untuk tahun 2006. Dengan demikian maka apabila dibandingkan dengan rataan nasional maka pada tahun 2005 dan 2007 Provinsi NTT tetap bertahan pada posisi 31. Rincian IPM menurut kabupaten/kota di NTT sebagaimana terlihat pada tabel 2.2. dibawah ini: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 6 - Tabel 2 2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut kabupaten / kota Tahun 2005-2007 Sumber: NTT Dalam Angka-BPS 2007 2.2.5. Keluarga Berencana Tingkat Kelahiran di Provinsi Nusa Tenggara Timur atau Total Fertility Rate (TFR) menunjukan fluktuasi sejak tahun 1979, yaitu dari 5,7 pada tahun 1979 turun menjadi 3,6 pada tahun 1997, namun pada tahun 2000 sampai dengan Tahun 2007 TFR menjadi 4,2 melebihi angka rata-rata Nasional 2,6. (hasil SDKI 2007). Dengan demikian, permasalahan kependudukan dan Keluarga Berencana di NTT adalah tingginya tingkat kelahiran. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor langsung dan tidak langsung antara lain, rendahnya pemakaian alat kontrasepsi (34%), tingginya pasangan usia subur yang belum terlayani (16,7%), menurunnya akses informasi dan kampanye program keluarga berencana selama dekade terakhir, kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan reproduksi, disisi lain terjadinya migrasi masuk yang cukup besar seperti masalah warga Timor Timur dan pengaruh aktivitas usaha ekonomi dari daerah lainnya. Potensi pembangunan kependudukan dan Keluarga Berencana (KB) di Provinsi Nusa Tenggara Timur ditunjukan dengan jumlah penduduk yang cukup besar yaitu pada tahun 2006, sebesar 4.355.121 jiwa dengan kepadatan penduduk 91,98 jiwa/km2 dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,82%, jumlah peserta KB aktif 353.113, Pasangan Usia Subur (PUS) 695.858. Tahun 2007 jumlah penduduk menjadi 4.448.873 jiwa , kepadatan penduduk sebesar 93,96 jiwa/km2. Jumlah peserta KB aktif 373.509, PUS berjumlah 704.422. Untuk menangani peserta KB ini, tersedia klinik KB di NTT sebanyak 317 yang menyebar di seluruh Kabupaten/Kota.. Penyebaran klinik KB terbanyak di Kabupaten Sikka dan paling sedikit di Kabupaten Lembata dan Rote Ndao. Pelayanan PUS melalui fasilitas kontrasepsi, maka jumlah akseptor yang menggunakan IUD pada tahun 2005 sebanyak 62.102 dan mengalami penurunan pada tahun 2006 sebanyak 61.743. Penggunaan PIL pada tahun 2005 tercatat No Kabupaten/Kota JUMLAH 2005 2006 2007 (1) (2) (3) (4) (5) 1 Sumba Barat 58,7 59,8 60,1 2 Sumba Timur 58,7 59,6 60,0 3 Kupang 61,2 62,0 63,1 4 TTS 61,8 62,7 63,6 5 TTU 62,4 63,1 64,0 6 Belu 60,5 61,2 61,7 7 Alor 64,5 65,4 66,9 8 Lembata 64,4 65,1 65,6 9 Flores Timur 63,8 64,7 66,4 10 Sikka 63,9 64,6 65,9 11 Ende 63,9 64,6 65,0 12 Ngada 65,5 66,0 63,3 13 Manggarai 64,5 65,2 65,7 14 Rote Ndao 61,4 62,1 64,3 15 Manggarai Barat 62,4 63,2 63,5 16 Sumba Barat Daya - - 58,9 17 Sumba Tenggah - - 58,4 18 Nagekeo - - 64,6 19 Manggarai Timur - - - 20 Kota Kupang 73,9 74,5 74,7 NTT 62,7 63,6 64,8 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 7 - 71.217 dan pada tahun 2006 turun menjadi 70.335. Pemakaian kondom justru mengalami peningkatan dari 1522 pada tahun 2005 naik menjadi 2122 pada tahun 2006. Kecenderungan penurunan penggunaan alat kontrasepsi oleh PUS berdampak pada TFR masih tergolong tinggi yakni sebesar 4,2 pada tahun 2007. 2.3. Pembangunan Pendidikan Pembangunan bidang pendidikan periode 2003 – 2008 mengalami peningkatan yang cukup berarti, hal ini ditandai dengan umumnya layanan pendidikan dasar telah dinikmati oleh sebagian besar rakyat NTT. Namun demikian, hanya dengan mengandalkan terpenuhinya layanan pendidikan dasar, kualitas dan daya saing sumber daya manusia Nusa Tenggara Timur belum memadai, karena masih tingginya dominasi tenaga kerja yang berpendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD) yang mencapai 69,59 %. Keadaan ini tentunya tidak dapat menjawab berbagai kebutuhan dan daya saing yang terjadi pada lingkup regional, nasional maupun internasional. Dengan demikian, layanan pendidikan di NTT belum mampu merespon kebutuhan dan tuntutan pasar kerja. Pembangunan bidang pendidikan memiliki dua indikator utama yakni indikator perkembangan pembangunan pendidikan dan indikator keberhasilan pembangunan pendidikan. Indikator perkembangan pembangunan pendidikan dapat ditunjukkan melalui : akses penduduk usia sekolah terhadap lembaga pendidikan, kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak, tingkat pengeluaran pemerintah untuk anggaran pendidikan serta rasio sarana belajar pendidikan (Rasio Siswa-kelas, Rasio siswa-Guru dan Rasio Gurukelas). Indikator keberhasilan pembangunan bidang pendidikan dapat dilihat dari : Angka Partisipasi Murni, Angka Partisipasi Kasar, Proporsi penduduk Usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, Tingkat Kelulusan Siswa dan Angka Buta Huruf. 2.3.1. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak usia 2 tahun sampai enam tahun dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. PAUD dibedakan dalam tiga bentuk yaitu formal, non formal dan informal. PAUD formal berbentuk taman kanak-kanak atau bentuk lain. Pada jalur non formal, PAUD berbentuk kelompok bermain, taman penitipan anak, atau bentuk lain, dan jalur informal seperti yang dislenggarakan di tempat-tempat ibadah atau perorangan. Indikator perkembangan penyelenggaraan PAUD diukur melalui : akses penduduk usia sekolah ke lembaga pendidikan, kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak, tingkat pengeluaran pemerintah untuk anggaran pendidikan serta rasio sarana belajar pendidikan. Sedangkan, indikator keberhasilan penyelenggaraan PAUD diukur melalui Angka Partisipasi Kasar (APK). Akses penduduk/masyarakat terhadap lembaga PAUD dinilai masih kurang, hal ini terbukti dengan keberadaan lembaga PAUD masih berpusat di wilayah perkotaan, sehingga partisipasi masyarakat terhadap PAUD, terbatas pada masyarakat kota. Di samping itu, keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan PAUD masih rendah. Hal ini terbukti dari jumlah PAUD pada tahun 2007 baru mencapai 967 kelompok belajar, yang terdiri dari kelompok bermain 693 PAUD, tempat penitipan anak 12 TPA, Posyandu terintegrasi PUD 32 kelompok dan Satuan Kelompok PAUD lainnya 230 unit. Akibat keterbatasan jumlah PAUD, jumlah anak usia dini yang mengikuti kegiatan belajar di lembaga pendidikan usia dini baru mencapai 0,19 % di tahun 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 8 - Indikator keberhasilan penyelenggaraan PAUD yang diukur melalui indikator Angka Partisipasi Kasar, memperlihatkan peningkatan di mana pada tahun 2003 APK PAUD sebesar 8,75 % meningkat menjadi 18,63 % pada tahun 2007. Tabel 2.3 APK Pendidikan Anak Usia Dini No Komponen 2003 2004 2005 2006 2007*) 1. Penduduk Usia 4-6 Tahun 243.966 256.026 265.950 270.017 274.877 2. Jml siswa TK/PAUD 21.334 31.323 37.543 43.765 51.205 3. APK TK (%) 8,75 12,23 14,12 16,21 18,63 Sumber : Dinas P dan K Provinsi 2007 Data tabel di atas memperlihatkan bahwa, jumlah anak usia dini di Provinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 jumlah anak usia dini (4–6 tahun) 243.966 orang dan pada tahun 2007 jumlah anak usia dini 274.877 orang. Ini berarti dalam kurun waktu lima tahun, terjadi peningkatan rata-rata 3,03 %/tahun. Seiring dengan peningkatan jumlah anak usia dini, terjadi peningkatan pula pada jumlah siswa TK/PAUD rata-rata pertahun 25,06 % dan Angka Partisipasi Kasar rata-rata pertahun 2,47 %. 2.3.2. Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Pendidikan dasar sembilan tahun adalah jenjang pendidikan bagi anak usia 7–15 tahun, yang mencakup program pendidikan dasar (SD/MI/Pendidikan sederajat) bagi penduduk usia 7 – 12 dan program pendidikan menengah pertama (SMP/MTs/Pendidikan sederajat) bagi penduduk usia 13 – 15 tahun. Indikator perkembangan pembangunan pendidikan dasar sembilan tahun meliputi : akses penduduk usia sekolah terhadap lembaga pendidikan, kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak, tingkat pengeluaran pemerintah untuk anggaran pendidikan serta rasio sarana belajar pendidikan (Rasio Siswa-Kelas, Rasio Siswa-Guru dan Rasio Guru- Kelas). Sedangkan indikator keberhasilan pembangunan bidang pendidikan sembilan tahun meliputi : Angka Partisipasi Murni, Angka Partisipasi Kasar, Proporsi penduduk Usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, Tingkat Kelulusan Siswa dan Angka Buta Huruf. Akses penduduk usia sekolah 7–12 tahun (Pendidikan SD) dan usia sekolah 13–15 tahun (Pendidikan SMP/sederajat) terhadap lembaga pendidikan dasar sembilan tahun di NTT, dapat dilihat dari tingkat aksesibilitas yang diukur dari jarak orbitasi sarana pendidikan terhadap tempat tinggal siswa, lama tempuh perjalanan tanpa alat angkut. Untuk Sekolah Dasar, rata-rata jangkauan pada radius 2,5 – 5 km atau 1 jam waktu tempuh, dan tingkat SMP rata-rata jangkauan pada radius 6 – 8 km atau waktu tempuh 1,5 – 2 jam. Disamping jarak tempuh dan waktu tempuh, tingkat akseptabilitas dapat dilihat pula dari persebaran lembaga-lembaga pendidikan di tingkat desa. Untuk tingkat SD terdapat 4326 buah sekolah yang tersebar pada 2.738 desa/kelurahan. Ini berarti, setiap desa minimal memiliki satu buah sekolah dasar, yang berimplikasi pada mudahnya anak usia sekolah mengakses pendidikan dasar. Sedangkan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP/sederajat), peluang mengakses lembaga pendidikan pendidikan agak lebih sulit karena, jumlah sekolah SMP sebanyak 795, tersebar pada 2.738 desa/kelurahan. Hal ini berarti satu Sekolah Menengah Pertama, melayani anak usia sekolah 13 – 15 tahun pada kisaran 3 – 4 desa. Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak dapat diindikasikan dari jumlah penduduk usia sekolah yang bersekolah dan tidak bersekolah. Data tahun 2006 menunjukkan bahwa, penduduk usia 7 – 12 tahun yang sedang sekolah sebesar 93,99 %, sedang yang tidak sekolah sebesar 6,01 %. Ini menunjukkan tingkat partisipasi penduduk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 9 - menyekolahkan anak pada tingkat SD cukup tinggi. Sementara tingkat pendidikan SMP, partisipasi penduduk menyekolahkan anak, dapat dilihat dari angka putus sekolah yang pada tahun ajaran 2006/2007 sebanyak 446 orang Rasio ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang diindikasikan dengan Rasio Siswa-Kelas, Rasio Siswa-Guru dan Rasio Guru- Kelas. Untuk pendidikan SD, Rasio Siswa-Kelas adalah 1 : 39, dan untuk tingkat SMP adalah 1 : 37 , untuk rasio siswa-guru pada tingkat SD adalah 1 : 21, Tingkat SMP adalah 1 : 37. Data ini memperlihatkan bahwa, rasio guru, murid serta ruang kelas (sekolah) terpenuhi secara baik dan memenuhi standar nasional 1 : 40. Selanjutnya indikator keberhasilan pembangunan bidang pendidikan sembilan tahun, dilihat dari Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar, untuk Tingkat SD Tahun 2007, APM mencapai 90,80 %, APK sebesar 114 %, sedangkan pada tingkat SMP, APM sebesar 52,23 % sedangkan APK sebesar 67,46 %. Ini menunjukkan bahwa, keberhasilan pembangunan bidang pendidikan untuk tingkat pendidikan SD dianggap berhasil sedangkan, pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dinilai masih kurang. Tabel 2.4. APK, APM Tingkat Pendidikan Dasar Sembilan Tahun No Komponen 2003 2004 2005 2006 2007*) 1. APK SD/MI/SDLB 92,18 99,53 107,84 112,28 114,20 2. APM SD/MI/SDLB 69,14 72,26 76,24 79,78 90,80 3. APK SMP/MTs/SMPLB 48,29 49,67 59,39 59,72 67,46 4. APM SMP/MTs/SMPLB 32,02 32,71 39,36 46,24 52,23 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Tahun 2007 Tabel. 2.5. Presentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas menurut Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan Tahun 2005-2007 Tahun Tamat SD Tamat SMP Lakilaki Peremp uan L+P Laki- Laki Perem puan L+P 2005 32,13 34,51 33,32 11,23 10,46 10,85 2006 30,74 30,74 32,20 11,8 11,8 11,59 2007 30,15 33,98 32,11 11,48 11,14 11,30 Sumber : NTT dalam Angka Tahun, BPS- 2008 Proporsi penduduk 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan pada tahun 2007, untuk pendidikan SD sebesar 32,11% dan SMP 11,30%. Untuk menjamin peningkatan daya saing, proporsi penduduk berpendidikan paling tinggi SD harus dikurangi secara cepat. Sementara itu, proporsi penduduk berpendidikan SMP, harus terus ditingkatkan secara bertahap. Tabel. 2.6 Kelulusan Dan Prosentase Kelulusan Tingkat SD/MI Tahun pelajaran Jumlah peserta Jumlah tidak lulus % tidak lulus Jumlah lulus %lulus 2005/2006 70.206 4.002 5.70 66.204 94.30 2006/2007 73.427 3.524 4.80 69.903 95.00 2007/2008 90.531 1.017 1.12 89.514 98.88 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Tahun 2008 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 10 - Tabel 2.7 Kelulusan Dan Prosentase Kelulusan Tingkat SMP/Mts Tahun pelajaran Jumlah peserta Jumlah tidak lulus % tidak lulus Jumlah lulus %lulus 2005/2006 50.421 17.796 36.82 32.625 64.71 2006/2007 55.506 19.451 35.04 36.055 64.96 2007/2008 58.606 31.437 53.64 27.169 46.36 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Tahun 2008 Mengenai tingkat kelulusan siswa, data tahun ajaran 2005/2006 memperlihatkan bahwa, pada tingkat pendidikan SD, dari jumlah peserta sebanyak 70,206 yang lulus sebanyak 66,204 atau 94,30%. Sedangkan untuk tahun ajaran 2007/2008 dari jumlah peserta 90.531 yang lulus sebanyak 89.514 atau 98,88%. Jika dibandingkan antara tahun ajaran 2005/2006 dengan 2007/2008 secara kualitatif dan kuantitaif menunjukan peningkatan yang positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa, kemampuan siswa SD dalam menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar cukup memuaskan. Tantangan Pendidikan Dasar di tingkat sekolah menengah pertama adalah trend menurunnya tingkat kelulusan siswa pada 3 (tiga) tahun terakhir terutama pada tahun ajaran 2007/2008 yang tingkat kelulusan hanya 46,36 %. Disisi lain terjadi kecenderungan pertambahan peserta ujian di tingkat SMP yang mencapai pertumbuhan rata-rata 7,83 % per tahun untuk tiga tahun terakhir. 2.3.3. Pendidikan Menengah Indikator perkembangan pembangunan pendidikan, pada pendidikan menengah ditunjukkan melalui : akses penduduk usia sekolah terhadap lembaga pendidikan, kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak, tingkat pengeluaran pemerintah untuk anggaran pendidikan serta rasio sarana belajar pendidikan (Rasio Siswa-kelas, Rasio siswa- Guru dan Rasio Guru-kelas). Sedangkan indikator keberhasilan pembangunan bidang pendidikan dapat dilihat dari : Angka Partisipasi Murni, Angka Partisipasi Kasar, Proporsi penduduk Usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, Tingkat Kelulusan Siswa Indikator perkembangan pembangunan pendidikan untuk pendidikan menengah dilihat dari akses penduduk usia sekolah terhadap lembaga pendidikan, yang diindikasikan dari tingkat aksesibilitas berdasarkan jarak orbitasi sarana pendidikan terhadap tempat tinggal siswa dan lama tempuh perjalanan tanpa alat angkut menunjukkan bahwa, jarak tempuh mencapai 8 - 10 km. atau waktu tempuh 2 - 2,5 jam. Selain itu, akses penduduk usia sekolah terhadap lembaga pendidikan, dapat pula dilihat dari persebaran lembaga-lembaga pendidikan di tingkat desa/kelurahan. Data memperlihatkan bahwa jumlah Sekolah Menengah Umum (SMU) sebanyak 244 buah, sedangkan untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 120 buah, tersebar pada 2.738 desa. Dengan demikian, satu buah sekolah menengah umum melayani kurang lebih 11 desa/kelurahan dan satu buah sekolah menengah kejuruan melayani kurang lebih 23 desa/kelurahan. Keadaan ini memperlihatkan bahwa, akses penduduk usia sekolah terhadap lembaga pendidikan sekolah menengah, masih cukup sulit, terutama bagi masyarakat desa. Keadaan ini diperparah lagi dengan kenyataan yang memperlihatkan keberadaan lembaga pendidikan menengah, lebih terkosentrasi pada ibu kota kabupaten/kota. Indikator perkembangan pendidikan sekolah menengah, dapat pula dilihat dari kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak. Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak pada tingkat pendidikan menengah dapat diukur dari angka putus sekolah. Data tahun 2006 memperlihatkan bahwa, untuk sekolah menengah umum, jumlah anak putus sekolah sebanyak 1218 siswa sedang untuk sekolah menengah kejuruan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 11 - sebanyak 403 siswa. Dengan demikian, pada tahun ajaran 2006/2007, terdapat 1.621 atau 1,39 % siswa sekolah menengah yang putus sekolah (DO), dari jumlah siswa sebanyak 116.320 siswa. perkembangan pendidikan sekolah menengah di NTT dilihat dari angka putus sekolah, dinilai masih cukup baik. Selanjutnya, Tingkat penyediaan sarana belajar yang di indikasikan dengan rasio sarana belajar pendidikan (Rasio Siswa-kelas, Rasio Siswa-Guru dan Rasio Guru- Kelas) di tingkat pendidikan menengah umum maupun kejuruan memperlihatkan bahwa, Rasio Siswa-Kelas 1 : 34 dalam artian 1 kelas menampung 34 siswa sedang Rasio Siswa-Guru 1 : 30, Artinya 1 orang guru melayani 30 orang siswa. Indikator keberhasilan pembangunan pendidikan pada pendidikan sekolah menengah dilihat dari aspek angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK), memperlihatkan adanya peningkatan. Pada tahun 2003, Angka partisipasi murni sebesar 24,97 % dan pada tahun 2007 sebesar 34,67 %. Sedangkan angka partisipasi kasar, pada tahun 2003 sebesar 40,07 % dan pada tahun 2007 sebesar 48,19 %. Ini berarti, dalam kurun waktu lima tahun terjadi kenaikan 9,7 % untuk APM, sedangkan untuk APK terjadi kenaikan sebesar 8,12 %. Tabel 2.8 APK, APM Tingkat Pendidikan Menengah Atas Komponen 2003 2004 2005 2006 2007* Pddk usia 16-18 257.655 262.541 267.868 272.690 277.598 APK SMA/MA/SMK 40,07 40,60 40,26 42,66 48,19 APM SMA/MA/SMK 24,97 25,93 25,62 30,69 34,67 Jml siswa (APK) 103.233 106.592 107.843 116.320 133.768 Jml siswa 16-18 (APM) 64.344 68.071 68.616 83.698 96.253 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Tahun 2007 Tabel. 2.9 Presentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas menurut Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan Tahun 2005-2007 Tahun Tamat SMU Tamat SMU Kejuruan Laki- Laki Perem puan L+P Laki- Laki Perem puan L+P 2005 8,60 7,28 7,94 2,77 1,98 2,38 2006 9,23 9,23 8,67 3,05 3,04 2,61 2007 9,15 8,40 8,77 3,75 2,69 3,21 Sumber : BPS NTT dalam Angka Tahun 2008 Keberhasilan pembangunan dilihat dari proporsi penduduk Usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, untuk pendidikan menengah umum dan kejuruan mengalami peningkatan sebesar 1,66% yakni, dari 10,32% pada tahun 2005 menjadi 11,98% pada tahun 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 12 - Tabel 2.10 Kelulusan Dan Persentase Kelulusan Tingkat SMA/MA Tahun Pelajaran Jumlah Peserta Jumlah Tidak Lulus % Tidak Lulus Jumlah Lulus %Lulus 2005/2006 25.593 7.629 29.81 17.964 70.19 2006/2007 28.764 10.908 37.92 17.856 62.08 2007/2008 29.688 11.059 37.25 18.629 62.75 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Tahun 2008 Tabel. 2.11 Kelulusan Dan Persentase Kelulusan Tingkat SMK Tahun Pelajaran Jumlah Peserta Jumlah Tidak Lulus % Tidak Lulus Jumlah Lulus %Lulus 2005/2006 7.683 2.126 26.79 5.557 73.21 2006/2007 9.099 1.855 20.38 7.244 79.62 2007/2008 8.705 1.428 16.40 7.277 83.60 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Tahun 2008 Keberhasilan pembangunan bidang pendidikan dilihat dari indikator tingkat kelulusan Sekolah Menengah Umum, terjadi penurunan. Pada tahun 2005/2006 dengan jumlah peserta 25.593 siswa, yang lulus sebanyak 17.964 siswa atau 70.19% jika dibandingkan dengan tahun pelajaran 2007/2008 dari jumlah peserta 29.688 siswa yang lulus sebanyak 18.629 atau 62.75% dengan standar nilai ujian yakni 5,00%. secara kuantitas prosentase kelulusa mengalami penurunan, namun secara kualitas terjadi peningkatan mutu pendidikan yang ditandai dengan peningkatan standar nilai kelulusan. Selanjutnya untuk tingkat pendidikan sekolah menengah kejuruan, pada tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Pada tahun ajaran 2005/2006 jumlah peserta sebanyak 7.683 siswa yang lulus 5.557 siswa atau 73.21% jika dibandingkan dengan tahun ajaran 2007/2008 dengan jumlah peserta 8.705 siswa, yang lulus sebanyak 7.277 siswa atau 83.60%. dan tingkat pertumbuhan kelulusan antara tahun 2005/2006 sampai tahun 2007/2008 sebesar 28,32 % per tahun 2.3.4. Pendidikan Tinggi Persentase penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, kecuali Diploma I dan II. Pada tahun 2006, jumlah penduduk yang menamatkan Diploma I dan II sebesar 0,54% meningkat menjadi 0,67% pada tahun 2007. Sedangkan penduduk yang menamatkan Akademi/Diploma III pada tahun 2006 sebesar 0,60% meningkat menjadi 0,88% pada tahun 2007. Begitu pula dengan penduduk yang menamatkan Universitas/Diploma IV sampai Doktoral mengalami peningkatan dari 1,76% pada tahun 2006 menjadi 2,34% pada tahun 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 13 - 2.3.5. Pendidikan Luar Sekolah Perkembangan indikator Pendidikan Luar Sekolah dapat ditunjukan melalui Persentase Penduduk 10 Tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis Tahun 2005 adalah sebesar 86,68%, meningkat menjadi 88,53 % pada tahun 2007. sedangkan penduduk 10 Tahun ke atas yang tidak dapat membaca dan menulis sebesar 13,32 % pada tahun 2005 menurun menjadi 11,47 % pada tahun 2007. Keadaan ini memperlihatkan adanya penurunan angka buta huruf sebesar 1,85%. Proporsi penduduk perempuan yang tidak dapat membaca dan menulis pada tahun 2007 adalah sebesar 13,33 % lebih tinggi dari laki-laki yang sebesar 9,53%. Pendidikan luar sekolah juga melaksanakan program kecakapan hidup dan kesetaraan dalam rangka memberikan layanan pendidikan bagi anakanak putus sekolah (drop out) melalui pendidikan kesetaraan Paket A setara SD, B setara SMP dan C setara SMA. Tabel 2.12 Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Menurut Kemampuan Membaca dan Menulis Per Jenis Kelamin di Provinsi NTT Tahun 2005 – 2007 Sumber : NTT Dalam Angka 2007/2008 2.3.6. Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus lebih dikenal sebagai Pendidikan Luar Biasa. Kondisi penanganan pendidikan luar biasa pada tingkat sekolah dasar dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005, jumlah sekolah luar biasa (Negeri dan Swasta) sebanyak 15 sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 812 siswa dan jumlah guru sebanyak 130 orang guru. Pada tahun 2006 kondisi tersebut mengalami peningkatan yaitu jumlah sekolah sebanyak 18 sekolah, jumlah siswa sebanyak 972 siswa dan jumlah guru sebanyak 165 orang guru. 2.3.7. Manajemen Pendidikan Mutu Guru di Nusa Tenggara Timur jika dilihat dari kualifikasi pendidikan khususnya pada jenjang pendidikan dasar untuk tingkat SD/MI baru 2,81% yang memenuhi kualifikasi S1 sedangkan pada tingkat SMP/MTs baru mencapai 35,33 % dan untuk tingkat SMU/SMK/MA, telah mencapai 60,89 %. Tabel 2.13 Kualifikasi Pendidikan Guru SD Di NTT Tahun 2006 NO Ijasah Terkahir Guru Keguruan Non Keguruan Jumlah % 1 < SLTA 0 24 24 0,08 2 SLTA 19.113 3.417 22.530 70,93 3 Diploma 1 – 2 7.388 0 7.388 23,26 4 Diploma-3/SM 821 108 929 2,92 5 D.IV / S-1 806 88 894 2,81 Jumlah 28.128 3.637 31.765 100 Sumber : Dinas P dan K Provinsi NTT Tahun 2006 Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah Dapat membaca dan menulis Buta Huruf Dapat membaca dan menulis Buta huruf Dapat membaca dan menulis Buta huruf 2005 88,79 11,21 84,61 15,39 86,68 13,32 2006 90,10 9,90 85,90 14,10 87,76 12,04 2007 90,47 9,53 86,67 13,33 88,53 11,47 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 14 - Tabel 2.14 Kualifikasi Pendidikan Guru SMP/MTs Di NTT Tahun 2006 NO Ijasah Terkahir Guru Keguruan Non Keguruan Jumlah % 2 SLTA 1.276 81 1.357 12,37 3 Diploma 1 – 2 2.823 0 2.823 25,75 4 Diploma-3/SM 2.363 539 2.902 26,45 5 D.IV / S-1 3.342 534 3.876 35,33 6 S-2 12 0 12 0,11 Jumlah 9.816 1.154 10.970 100 Sumber : Dinas P dan K Provinsi NTT Tahun 2006 Tabel 2.15 Kualifikasi Pendidikan Guru SMU/SMK/MA Di NTT Tahun 2006 NO Ijasah Terkahir Guru Keguruan Non Keguruan Jumlah % 1 SLTA 312 15 327 3,73 2 Diploma 1 – 2 578 0 578 6,59 3 Diploma-3/SM 1.921 576 2.497 28,47 4 D.IV / S-1 4.637 704 5.341 60,89 5 S-2 0 28 28 0,32 6 Jumlah 7.448 1.323 8.771 100 Sumber : Dinas P dan K Provinsi NTT Tahun 2006 Untuk sertifikasi baru sebagian kecil guru-guru yang telah lulus sertifikasi. Peningkatan kemampuan akademik dan profesionalisme tenaga pendidik melalui peningkatan kualifikasi pendidikan dan sertifikasi merupakan salah satu faktor utama dalam peningkatan kualitas pendidikan. Kondisi sarana dan prasarana pendidikan juga masih sangat terbatas. Terbatasnya sarana dan prasarana penunjang pendidikan antara lain: laboratorium, perpustakaan, alat-alat peraga dan buku-buku juga mempengaruhi rendahnya kualitas pendidikan. Salah faktor utama dari manajemen pendidikan adalah data base pendidikan yang selama ini tidak terdata dengan baik dan sulit diakses. 2.3.8. Daya Saing Pendidikan Muara produk pendidikan tercermin dari indikator kemampuan daya saing dalam berbagai kondisi, seperti mutu dan kualitas kelulusan, tingkat serapan pasar tenaga kerja, daya saing lulusan antar wilayah dan kemampuan kreasi menciptakan lapangan kerja baru atau kemampuan usaha mandiri dengan pendekatan potensi lokal dan kearifan lokal. Hal ini juga berdampak pada tingkat penyediaan tenaga kerja terampil dari pendidikan formal Sekolah Menengah Kejuruan yang masih belum memenuhi permintaan pasar tenaga kerja. Pengembangan Sekolah Menegah Kejuruan perlu terus dikembangkan dengan melihat pada keunggulan dan potensi lokal daerah yang ada, serta kebutuhan pasar tenaga kerja lokal, nasional dan global. 2.4. Kesehatan Pembangunan bidang kesehatan telah membawa perubahan yang positif namun perkembangan derajat kesehatan sebagai tolok ukur dari keberhasilan bidang ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Berbagai persoalan seperti rendahnya kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), masih tingginya angka kesakitan (morbiditas) akibat penyakit-penyakit infeksi, rendahnya kualitas gizi masyarakat (37,80% bayi dan balita gizi buruk dan gizi kurang-2008), tingginya angka kematian ibu dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 15 - bayi. Persoalan kesehatan di masyarakat ini bertalian dengan lemahnya kinerja sistem kesehatan di daerah. Pada sisi input dapat ditemukan beberapa persoalan. Pertama, persoalan SDM kesehatan yaitu rasio tenaga kesehatan yang masih kecil baik terhadap jumlah penduduk maupun sarana/fasilitas, kualitas tenaga kesehatan yang tercermin dari spesifikasi tenaga kesehatan yang masih terbatas serta penyebaran yang tidak merata. Kedua, persoalan pembiayaan yaitu kecilnya kapasitas fiskal daerah. Ketiga, persoalan infrastruktur kesehatan yakni rasio sarana prasarana kesehatan terhadap penduduk yang masih kecil serta terbatasnya obat dan perbekalan kesehatan. Pada sisi proses, pemberdayaan masyarakat untuk menolong diri sendiri melalui upaya-upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) seperti penyelenggaraan Posyandu, Desa SiAga, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) masih kurang mendapat perhatian pemerintah, sehingga menciptakan ketergantungan masyarakat pada uluran tangan pemerintah dan pihak lain. Selain itu sub bidang manajemen kesehatan sangat bergantung kepada kemampuan manajerial, kapasitas regulasi, komitment dan arahan (stewardship) pimpinan dalam memecahkan persoalan-persoalan internal sistem kesehatan. Lemahnya sub bidang manajemen kesehatan secara kasat mata bisa dilihat pada sistem informasi kesehatan daerah (SIKDA) yang belum bisa digunakan secara optimal untuk perencanaan dan pengambilan keputusan yang berbasis data (evidance base). Kelemahan lain juga bisa dilihat pada ketidakseriusan dalam melakukan pengukuran keberhasilan program dan kegiatan sektor kesehatan melalui monitoring dan evaluasi yang objektif. Selanjutnya sebagai konsekuensi dari berbagai tantangan dan permasalahan internal sistem kesehatan tersebut diatas, maka sub bidang upaya pelayanan kesehatan sebagai ujung tombak dari sistem kesehatan dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan baik masyarakat maupun individual belum menggembirakan. Gambaran situasi masalah dan tantangan bidang kesehatan masyarakat 5 tahun ke depan dapat diuraikan secara garis besar sebagai berikut. 2.4.1 Masalah Kesehatan Masyarakat Pada sisi masyarakat, terdapat berbagai masalah kesehatan baik yang bersumber dari perilaku masyarakat sendiri maupun dari lingkungan tempat tinggalnya. 2.4.1.1. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rendahnya kesadaran masyarakat tentang pola hidup sehat adalah salah satu masalah mendasar dalam pembangunan bidang kesehatan di provinsi Nusa Tenggara Timur. Salah satu indikator komposit untuk mengukur perilaku hidup bersih dan sehat adalah rumah tangga sehat. Indeks rumah tangga sehat yang terdiri dari 10 indikator menggambarkan rumah tangga yang penghuninya berperilaku hidup bersih dan sehat, yang dari tahun ke tahun justru mengalami kemunduran sebagaimana terlihat dalam tabel 2.16.di bawah ini. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 16 - Tabel 2.16 Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat di Tingkat Rumah Tangga 2005-2007 Tahun Puskesmas Rumah Tangga Jumlah dipantau Ber PHBS * % 2007 284 175,901 75,698 43.03 2006 264 96,557 52,805 54.69 2005 242 160,146 78,878 49.25 2004 222 19,415 10,091 51.98 Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2007 Dari data tersaji terlihat tidak terjadi peningkatan kesadaran masyarakat yang ber- PHBS karena dari rumah tangga yang dipantai sejak 2004 hingga 2007 walaupun dari jumlah terpantau terjadi peningkatan namun persentase tidak terjadi margin yang besar antara 40% s.d 50% bahkan pada tahun 2007 terjadi penurunan menjadi 43.03 % setelah sempat mencapai 54% pada tahun 2006. 2.4.1.2. Morbiditas Dari tahun ke tahun selama 5 tahun terakhir profil kesehatan masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukan bahwa Angka Kesakitan Penduduk atau morbiditas masih didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi yang lama seperti ISPA , Malaria, diare, TBC, frambusia, filaria, lepra dan penyakit infeksi yang baru seperti HIV AIDS, DBD Dengue. Data angka kesakitan penduduk yang berasal dari masyarakat (community based data) menunjukkan penyakit infeksi masih merupakan yang terbanyak pada pasien rawat jalan di Puskesmas dan Rumah Sakit pada tahun 2007. Gambaran Pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di Puskesmas tahun 2007 disajikan pada Tabel 2.17. berikut ini. Tabel 2.17 Pola 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas pada Pasien Rawat Jalan Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2007 No. Golongan Sebab Sakit Jumlah Kunjungan % 1. ISPA 996.946 24,47 2. Malaria 781.568 20,75 3. Penyakit Kelainan 577.249 15,33 4. Penyakit pada Sistem Otot dan Jaringan 501.190 13,31 5. Penyakit Kulit dan Jaringan Sub Kutan 287.263 7,63 6. Penyakit Virus 190.355 5,05 7. Penyakit Infeksi pada Usus 189.685 5,04 8. Penyakit Rongga Mulut 88.607 2,35 9. Penyakit Infeksi Parasit dan Akibatnya 77.843 2,07 10. Sebab lain Kebidanan 75.156 2,00 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi NTT tahun 2007 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 17 - Beberapa penyakit menular yang perlu mendapatkan perhatian antara lain Malaria, Penyakit TB Paru, Penyakit HIV/AIDS, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit kusta, penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD31), penyakit potensial KLB/wabah seperti penyakit DBD, Rabies, penyakit filariasis, penyakit frambusia dan penyakit antraks dan situasi penyalahgunaan NAPZA. Jumlah kasus malaria klinis di NTT masih tinggi. Daerah endemis malaria masih meliputi beberapa kabupaten seperti Sumba Barat, Sikka, Ngada dan Manggarai Barat. Sedangkan kasus malaria terendah di Kabupaten TTU, Kota Kupang. Kasus TB Paru tertinggi berada di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur dan TTS, sedangkan kasus terendah di Kabupaten Lembata. HIV/AIDS sudah menjadi ancaman serius pada Kabupaten Belu, Kota Kupang, TTUdan Kabupaten Sikka. DBD mencakup Kota Kupang, Belu dan Sikka. Selain itu penyakit Rabies masih menjadi ancaman sepanjang pulau Flores dan Lembata. Beberapa penyakit menular berpotensi menimbulkan KLB maupun wabah. Frekuensi KLB tertinggi adalah Demam berdarah dengue, Diare, Campak, keracunan makanan, dan Malaria. Sedangkan CFR tertinggi adalah Rabies, Diare, Demam Berdarah dan HIV/AIDS. Berbagai jenis penyakit ini apabila tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan dampak lanjut berupa kehilangan ekonomi (economic loss) bagi generasi berikutnya. Angka kesakitan penyakit menular per kabupaten/kota pada tahun 2006 dapat dilihat dalam tabel 2.8 berikut ini. Tabel 2.18 Angka Kesakitan Penyakit Menular Menurut Kabupaten/Kota se NTT, tahun 2006 No. Kabupaten Malaria HIV AFP DBD Filariasia Rabies Diare Klinis (+) 1 2 3 4 8 9 10 11 12 13 1 Sumba Barat 96.026 26.760 0 4 0 6 0 - 2 Sumba Timur 31.084 11.999 0 1 0 0 0 610 3 Kab. Kupang 53.308 3.836 2 7 0 0 0 3.746 4 TTS 36.959 6.293 0 1 0 0 0 9.300 5 TTU 18.474 5.537 11 4 0 1 0 4.746 6 Belu 32.189 8.572 35 2 13 1 0 9.445 7 Alor 22.287 2.554 3 2 0 0 0 950 8 Lembata 22.524 6.187 2 0 0 0 314 513 9 Flotim 22.931 3.017 1 0 0 0 176 2.497 10 Sikka 95.986 14.813 9 2 32 104 678 4.854 11 Ende 70.238 5.761 0 0 4 0 289 622 12 Ngada 27.485 12.404 4 3 0 0 191 809 13 Manggarai 27.861 2.365 0 0 0 0 507 7.575 14 Rote Ndao 16.024 428 0 0 0 0 0 2.562 15 Kota Kupang 10.903 929 51 4 260 3 0 8.478 16 Mnggrai Barat 34.085 14.216 2 0 1 0 76 3.543 JUMLAH 618.364 125.671 120 30 310 115 2.231 60.250 Dari gambaran situasi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa penyakit infeksi masih merupakan masalah utama tingginya morbiditas masyarakat di Provinsi NTT. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 18 - 2.4.1.3. Status Gizi Masyarakat Gizi memiliki hubungan langsung dan mendasar dengan HDI (Human Development Indeks), sebab gizi merupakan elemen dasar pembentukan otak yang menjadi ukuran dalam menentukan kualitas SDM. Periode emas pembentukan otak individu dimulai pada saat awal kehamilan sampai dengan masa balita. Sehingga apabila pada periode ini pemenuhan gizi anak terganggu atau tidak tercukupi maka kelak akan menjadi beban bagi orang tua dan pemerintah baik secara sosial maupun ekonomis. Selain itu pemenuhan gizi merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Tabel 2.19. berikut ini memberikan gambaran ini. Tabel 2.19 Persentase Balita (0 – 59 bulan) Menurut Status Gizi di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005 – 2007 NO TAHUN GIZI BURUK GIZI KURANG JLH GIZI BURUK+GIZI KURANG GIZI NORMAL GIZI LEBIH (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1. 2005 12,00 27,00 39,00 60,30 0,70 2. 2006 10,30 26,50 36,80 62,50 0,70 3. 2007 7,10 30,70 37,80 61,60 0,60 Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2007 Tabel 2.20 Jumlah Balita Menurut Status Gizi Per Kabupaten/Kota se Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2006 No Kabupaten Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih (1) (2) (3) (4) (6) (7) 1 Sumba Barat 1.054 2.041 3.554 25 2 Sumba Timur 341 1.457 3.519 82 3 Kab. Kupang 242 1.180 2.086 10 4 TTS 165 579 909 0 5 TTU 277 1.064 1.318 8 6 Belu 125 906 2.213 11 7 Alor 359 897 1.449 26 8 Lembata 130 1.602 4.439 115 9 Flotim 126 910 1.616 15 10 Sikka 186 853 1.724 20 11 Ende 120 778 1.708 16 12 Ngada 57 554 1.978 78 13 Manggarai 5.581 8.879 25.227 301 14 Rote Ndao 985 2.983 6.375 20 15 Kota Kupang 150 624 1.710 33 16 Manggarai Barat 94 443 955 10 Jumlah (Provinsi) 9.992 25.750 60.780 770 Tahun 2005 8.030 62.094 170.952 1,267 Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota se Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2006 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 19 - Status gizi masyarakat dapat diukur melalui indikator-indikator, antara lain status gizi balita dan status gizi ibu hamil. Status gizi Balita Pada tahun 2005 sampai dengan 2007 memngalami penurunan, namun jika digabungkan dengan status Balita Gizi kurang nampak mengalami peningkatan, hal mana mengindikasikan situasi yang belum kondusif. Situasi rawan gizi tersebut pada umumnya merata diseluruhnya kabupaten, kecuali Manggarai. Dengan demikian harus menjadi perhatian para pemangku kepentingan di daerah. 2.4.1.4. Mortalitas 2.4.1.4.1 Kasus kematian Bayi Jumlah kasus kematian Bayi pada tahun 2004 sebanyak 1.347 kasus, tahun 2005 meningkat menjadi 1.383 kasus, tahun 2006 menurun menjadi 1.275 kasus, dan tahun 2007 menurun lagi menjadi 1.193 kasus. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 2.21. berikut ini : Tabel 2.21 Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita Tahun 2004 – 2007 di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Jumlah % lahir mati Jmlh bayi mati Jmlh balita Jmlh balita Lahir mati hidup Lahir mati Lahir hidup+ Lahir mati 2004 119.543 1.487 73.254 2,03 1.347 291.507 755 2005 112.580 1.559 94.921 1,64 1.383 383.821 707 2006 92.845 1.328 95.555 1,39 1.275 415.332 862 2007 92.930 1.412 94.342 1,50 1.193 395.673 348 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2007 Kalau dilihat Angka Kematian Bayi dan Balita menurut kabupaten/kota maka seperti pada tabel 2.22 berikut ini. Tabel 2.22 Jumlah Kematian Bayi dan Kematian Balita menurut Kabupaten Se Provinsi NTT, tahun 2004 - 2007 No. Kabupaten Jumlah Bayi MatI Jumlah Balita Mati 2004 2005 2006 2007 2004 2005 2006 2007 1 Sumba Barat - 76 76 92 120 120 120 36 2 Sumba Timur 27 27 30 95 30 30 23 23 3 Kab. Kupang 90 11 87 108 61 5 22 37 4 TTS 224 224 147 79 65 65 53 19 5 TTU 145 145 145 90 38 38 38 25 6 Belu 208 208 210 104 67 67 389 Na 7 Alor 21 21 21 33 30 30 30 13 8 Lembata 35 42 50 55 13 19 9 14 9 Flotim 137 40 30 35 13 26 20 27 10 Sikka 54 98 74 19 57 47 18 49 11 Ende 52 17 12 62 5 7 5 8 12 Ngada 71 71 20 79 19 19 6 Na 13 Manggarai 153 153 198 157 30 30 60 56 14 Rote Ndao 19 96 87 26 59 53 42 10 15 Kota Kupang 61 61 11 62 119 119 9 13 16 M. Barat 50 93 77 97 29 32 18 18 Jumlah Prov. 1.347 1.307 1.199 1.193 755 707 862 348 Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota se Provinsi NTT Tahun 2006 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 20 - 2.4.1.4.2 Tingkat Kematian Ibu Tingkat kematian ibu masih merupakan masalah yang dominan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus kematian ibu antara lain : faktor ekonomi, sosial, budaya, geografis, transportasi dan faktor kesehatan itu sendiri. Faktor-faktor tersebut secara implisit telah tampak dalam “ 4 Terlalu” (Terlalu muda, Terlalu tua, Terlalu rapat jarak kehamilan, dan Terlalu banyak anak) dan “3 Terlambat” (Terlambat ambil keputusan, Terlambat menjangkau fasilitas kesehatan dan Terlambat memperoleh pertolongan)”. Kasus kematian ibu tertinggi di TTS, Manggarai, Kab Kupang, dan Sumba Barat. Kasus kematian terendah di Kota Kupang, Rote Ndao, Lembata, dan TTU. Data selengkapnya untuk setiap kabupaten dapat dilihat pada Tabel 2.23. berikut : Tabel 2.23 Jumlah Kematian Ibu Maternal menurut Kabupaten Se Provinsi NTT, tahun 2007 No. Kabupaten Jumlah Lahir Jumlah Kematian Maternal Kematian Ibu Hamil Kematian Ibu Bersalin Kematian Ibu Nifas Jmlh 1 Sumba Barat 11.402 0 22 1 23 2 Sumba Timur 5.244 4 10 2 16 3 Kab. Kupang 7.124 4 5 16 25 4 TTS 4.087 2 36 9 47 5 TTU 5.694 1 5 2 8 6 Belu 8.086 6 7 2 15 7 Alor 3.780 3 8 0 11 8 Lembata 2.482 2 4 1 7 9 Flotim 2.474 6 7 1 14 10 Sikka 6.829 3 6 0 9 11 Ende 5.664 4 6 1 11 12 Ngada 5.755 6 3 3 12 13 Manggarai 11.030 4 18 4 26 14 Rote Ndao 3.069 1 3 2 6 15 Kota Kupang 6.496 0 5 0 5 16 Mggarai Barat 3.734 0 2 7 9 Jumlah Prov. 92.930 46 147 51 244 Tahun 2006 92.845 36 175 42 253 Tahun 2005 112.580 50 218 79 347 Tahun 2004 119.543 68 230 185 484 Sumber : Profil Kesehatan se Provinsi NTT 2007 2.4.1.5 Usia Harapan Hidup. Usia Harapan Hidup (UHH) penduduk NTT pada tahun 2004 sekitar 64,4 tahun, pada tahun 2005 meningkat menjadi 64,9 tahun dan pada tahun 2006 mencapai 65,1 tahun. Jika dibandingkan UHH penduduk lelaki dan perempuan tercatat UHH perempuan lebih panjang 67,2 tahun sedangkan lelaki 62,9 tahun. Jika dibandingkan UHH 2006 (65,1 tahun) dengan UHH pada tahun 2004 (64,4 tahun) pertanda ada perubahan sekitar 1,1%. Namun, jika UHH penduduk NTT dibandingkan dengan UHH penduduk Indonesia (2006) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 21 - sekitar 66,2 tahun, pertanda UHH penduduk NTT masih berada dibawah taraf nasional. Meskipun demikian dengan adanya kecenderungan meningkatnya UHH penduduk NTT, setidaknya telah mencerminkan ada perbaikan gizi dan peningkatan pelayanan kesehatan yang memungkinkan tendensi tersebut. 2.4.2. Sistem Kesehatan Daerah Sistem Kesehatan Nasional (SKN) mengisyaratkan Provinsi dan Kabupaten/Kota mengembangkan sistem kesehatan daerah yang terintegrasi kedalam sistem kesehatan nasional dengan memperhatikan karakteristik lokal di masing-masing daerah. Terdapat (6) enam sub sistem dalam sistem kesehatan nasional yang di dalam implementasi penyelenggaraan urusan pemerintahan diklasifikasikan sebagai sub bidang dari bidang kesehatan yang dilaksanakan secara konkuren antara Pusat, pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam sistem kesehatan nasional. Ke-enam sub bidang ini meliputi sub bidang pembiayaan, sub bidang SDM Kesehatan, sub bidang obat perbekalan kesehatan, sub bidang pemberdayaan masyarakat, sub bidang manajemen kesehatan dan sub bidang upaya kesehatan. Penataan bidang kesehatan ke dalam suatu kesatuan Sistem Kesehatan Daerah (SKD) belum dilakukan secara baik. Berbagai masalah dan tantangan yang terdapat pada masing-masing sub bidang secara langsung berpengaruh pada status kesehatan masyarakat. 2.4.2.1 Sub Bidang Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan berkaitan erat dengan kemampuan keuangan daerah untuk melaksanakan program pembangunan bidang kesehatan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Pembangunan kesehatan di provinsi NTT selama ini tidak hanya biayai oleh APBN, DAK dan APBD tetapi juga berasal dari sumber pembiayaan lain seperti kerjasama bilateral, multilateral dan badan PBB seperti UNICEFdan WHO. Adanya dukungan pembiayaan dari berbagai sumber tersebut mengindikasikan pentingnya peran koordinatif pemerintah daerah provinsi dalam mendayagunakan berbagai potensi pembiayaan ini terutama bersumber kerjasama luar negeri di tingkat provinsi. 2.4.2.2 Sub Bidang Sumber Daya Manusia Kesehatan Pada tahun 2007, jumlah tenaga kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan ( Puskesmas, Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan di Kabupaten/Kota dan Provinsi) di Provinsi NTT sebanyak 9.133 orang dengan rincian Medis sebanyak 764 orang, Perawat dan Bidan sebanyak 6.588 orang, Farmasi sebanyak 431 orang, gizi sebanyak 307 orang, teknisi medis sebanyak 329 orang, sanitasi 493 orang dan kesehatan masyarakat sebanyak 221 orang. Berdasarkan jumlah tenaga medis tersebut, maka rasio tenaga kesehatan di daerah per 100.000 penduduk sebesar 205 ini berarti bahwa setiap 100.000 penduduk dilayani oleh 205 tenaga kesehatan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 22 - Tabel: 2.24 Rasio Tenaga kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan Di provinsi Nusa Tenggara Timur, tahun 2007 Jenis Tenaga Kesehatan Jumlah Nakes Rasio Nakes NTT Rasio Nasional Dokter Umum 541 12,16 : 100.000 40 : 100.000 Dokter Spesial 69 1,55 : 100.000 6 : 100.000 Dokter Gigi 154 3,46 : 100.000 11 : 100.000 Perawat 3.865 86,88 : 100.000 117 : 100.000 Perawat Gigi NA 7,6 : 100.000 30 : 100.000 Bidan 2.723 61,21 : 100.000 100 : 100.000 Ahli Gizi 307 6,9 : 100.000 40 : 100.000 Sanitarian 493 11,1 : 100.000 40 : 100.000 Apoteker 69 1,55 : 100.000 10 : 100.000 Sarjana Kesehatan Masy 221 4,2 : 100.000 40 : 100.000 Asisten Apoteker 222 4,99 : 100.000 30 : 100.000 Keteknisan Medis 329 7,4 : 100.000 15 : 100.000 Keterapian Fisik NA 0,7 : 100.000 4 : 100.000 Sarjana Farmasi 34 0,4 : 100.000 D III Farmasi 106 2,04 : 100.000 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007. Sementara itu, berdasarkan rasio masing-masing jenis tenaga kesehatan per 100.000 penduduk menunjukkan bahwa rasio terbesar adalah tenaga keperawatan dan rasio bidan, sementara rasio jenis tenaga kesehatan lainnya masih sangat rendah. Berdasarkan persebarannya, pada tahun 2005 jumlah tenaga kesehatan di Provinsi NTT sebanyak 4.231 orang, yang terdiri dari Medis ( Dokter, Dokter Gigi, Dokter/Dokter Gigi Spesialis), 309 orang, Perawat dan Bidan 3.300 orang, Farmasi (Apoteker, Asisten Apoteker) 175 orang, Gizi ada 114 orang, Teknisi Medis 46 Orang, Sanitasi 237 orang dan Kesehatan Masyarakat 50 orang. Pada tahun 2007 jumlah tenaga kesehatan berdasarkan persebarannya di Provinsi NTT mengalami peningkatan menjadi 9.307 orang, terdiri dari Medis, 772 orang, Perawat dan Bidan 6.675 orang, Farmasi 441 orang, Gizi 312 orang, Teknisi Medis 337 Orang, Sanitasi 513 orang dan Kesehatan Masyarakat s 257 orang. Persebaran tenaga kesehatan menurut unit kerja pada tahun 2007 yakni yang bekerja pada Puskesmas (PUSTU dan POLINDES/ POSKESDES) sebanyak 6.111 orang (65,66%), yang bekerja di Rumah Sakit sebanyak 2.359 orang (25,35%), yang bekerja pada Institusi Diklat/Diknakes sebanyak 158 orang (1,70%), yang bekerja pada sarana kesehatan lain sebanyak 16 orang (0,17) dan yang bekerja pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebayak 663 orang (7,12%). Rincian jumlah persebaran tenaga kesehatan menurut unit kerja sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 23 - Tabel : 2.25 Persebaran Tenaga Kesehatan Di Provinsi NTT Menurut Unit Kerja tahun 2007 N o Unit Kerja TENAGA KESEHAAN Med is Perawt & Bidan Far - masi Gizi Tek nisi Med is Sani tasi Kesmas Jumlah Jml Jml Jml Jml Jml Jml Jml Abs % 1 Puskesmas (Pustu, Polindes / Poskesdes) 492 4.678 202 188 129 372 50 6.111 65,66 2. Rumah Sakit 234 1.696 134 53 173 37 32 2.359 25,35 3. Diklat/Diknakes 7 84 10 5 0 18 34 158 1,70 4. SarKes Lain 1 3 0 0 8 2 2 16 0,17 5. Dinkes Kab/Kota 38 214 95 66 27 84 139 663 7,12 Jumlah 772 6.675 441 312 337 513 257 9.307 100 Tahun 2006 432 5.301 374 271 95 424 77 6.974 100 Tahun 2005 309 3.300 175 114 46 237 50 4.231 100 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007 2.4.2.3 Sub Bidang Obat dan Perbekalan Obat dan perbekalan kesehatan adalah komoditas khusus yang memerlukan penanganan khusus. Berbeda dengan komoditas perdagangan lainnya, karena selain merupakan komoditas perdagangan, obat dan perbekalan kesehatan juga memiliki fungsi sosial. Karenanya permasalahan ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauannya perlu ditangani secara khusus, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara itu menyangkut kebijakan, bimbingan dan pengawasan perbekalan dan alat kesehatan serta kefarmasian secara keseluruhan belum ditangani secara optimal. Pada umumnya kondisi sarana pelayanan obat di Provinsi NTT masih terbatas, baik Apotek, Toko Obat, Gudang Obat, Pedagang Besar Farmasi dan Penyalur Alat Kesehatan. Pada umumnya sarana pelayanan obat yang ada masih menumpuk di perkotaan dan belum menjangkau wilayah-wilayah pedalaman. Hal ini tentu akan mempersulit masyarakat yang membutuhkan obat untuk menanggulangi penyakit yang dideritanya. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 24 - Tabel 2.26 Jumlah Sarana Kefarmasian (Apotek, Gudang Obat, Toko Obat, Penyalur Alat Kesehatan) menurut Kabupaten se Provinsi NTT, tahun 2006 No Kabupaten Jumlah Apotek Jumlah Gudang Obat Jumlah Toko Obat Pedagang Besar Farmasi Penyalur Alat Kesehatan 1 2 3 4 5 6 7 1 Sumba Barat 2 1 - - - 2 Sumba Timur 4 1 15 - - 3 Kab. Kupang - 1 - - - 4 TTS 1 1 1 - - 5 TTU 2 1 6 - 3 6 Belu 8 1 46 - - 7 Alor 2 1 1 - - 8 Lembata 2 1 1 - - 9 Flotim 5 1 4 - - 10 Sikka 9 1 14 1 4 11 Ende 4 1 13 1 1 12 Ngada 3 1 1 - 2 13 Manggarai 5 1 17 4 3 14 Rote Ndao 2 1 - - - 15 Kota Kupang 39 1 31 24 86 16 Manggarai Barat 1 1 2 1 - JUMLAH 89 16 152 31 99 TAHUN 2005 71 14 162 24 76 Sumber : 1) Profil Kesehatan Kabupaten/Kota se provinsi NTT tahun 2006 2) Laporan Subdin Yanmedik Dikes Provinsi NTT tahun 2006 2.4.2.4 Sub Bidang Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat untuk menolong diri sendiri melalui upaya-upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) seperti pengembangan Desa SiAga, revitalisasi Posyandu, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan penggalangan dana sehat kurang mendapat perhatian yang optimal, sehingga menciptakan ketergantungan masyarakat pada uluran tangan pemerintah dan pihak lain. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin meredupnya upaya-upaya pembiayaan bersumber masyarakat melalui penggalangan dana sehat di masyarakat. Perkembangan Posyandu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2004 jumlah Posyandu sebanyak 7.174 buah meningkat menjadi 8.304 buah pada tahun 2007 atau dalam periode tiga tahun meningkat sebesar 15,75%. Dari 8.304 buah Posyandu yang ada, sebanyak (24,17%) adalah Posyandu Purnama dan sebanyak (9,09%) Posyandu Mandiri. Perkembangan Posyandu menurut strata dalam periode tahun 2004-2007, dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 25 - Tabel : 2.27 JUMLAH POSYANDU MENURUT STRATA, DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2004-2007 Jenis Strata Tahun 2004 2005 2006 2007 Pratama 3.798 2.426 0 3.274 Madya 1.843 2.510 0 2.268 Purnama 1.379 1.916 3.383 2.007 Mandiri 154 161 4.620 755 Jumlah 7.174 7.013 8.003 8.304 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2007 2.4.2.5 Sub Bidang Manajemen Kesehatan Manajeman kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan kesehatan. Belum tertatanya sistem informasi kesehatan yang memadai dalam hal pengumpulan, pengolahan dan analisis data untuk menghasilkan informasi yang dapat dipergunakan dalam pengambilan keputusan adalah salah satu masalah yang dirasakan dalam manajemen kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam tatanan desentralisasi atau otonomi daerah di bidang kesehatan, kualitas dari perencanaan dan kebijakan sangat tergantung pada kualitas dari data dan informasi yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA). Sistim infomasi kesehatan Provinsi sangat ditentukan oleh kualitas dari Sistem Informasi Kesehatan Kabupaten/Kota. Demikian pula arahan kebijakan dan regulasi kesehatan daerah yang masih lemah mengakibatkan pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan belum maksimal. Sebagai contoh belum maksimalnya penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria bidang kesehatan oleh Pemerintah Pusat sehingga Pemerintah Provinsi belum maksimal melakukan bimbingan dan pengendaliannya di daerah. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan provinsi dan pengelolaan survei kesehatan daerah (surkesda) skala provinsi masih terbatas. Dalam urusan regulasi kesehatan daerah ternyata selama sepuluh tahun perjalanan desentralisasi hanya menghasilkan 3 (tiga) Peraturan Daerah yang berhubungan dengan bidang kesehatan. Hal yang sama terlihat pada pemantauan pemanfaatan Iptek kesehatan dan penyelenggaraan kerjasama luar negeri, serta pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala provinsi yang masih membutuhkan peningkatan. 2.4.2.6 Sub Bidang Upaya Kesehatan Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan gizi buruk melalui surveilans epidemiologi dan surveilans gizi buruk belum optimal. Hal ini terlihat dari masih banyaknya penyakit menular dan gizi buruk atau gizi kurang yang tidak terdeteksi secara dini sehingga masih sering terjadi kejadian luar biasa penyakit menular dan “kejadian luar biasa” gizi buruk. Demikian juga upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan kejadian luar biasa sering tidak maksimal sehingga menimbulkan korban jiwa. Hal yang sama terjadi pada upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan. Berbagai upaya pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat seperti pendidikan dan penyuluhan kesehatan, pelayanan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak (KIBBLA) dan pelayanan keluarga berencana (KB) belum dapat diselenggarakan dengan optimal, meskipun berbagai sarana dan prasarana pelayanan kesehatan terus ditingkatkan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 26 - 2.4.2.6.1. Puskesmas Jumlah Puskesmas terus meningkat dari 229 unit pada tahun 2004 menjadi 242 unit pada tahun 2005, kemudian meningkat menjadi 264 unit pada tahun 2006, dan meningkat lagi menjadi 284 unit pada tahun 2007. Pada periode 2004 – 2007, rasio Puskesmas terhadap 100.000 penduduk mengalami peningkatan dari 5,46 per 100.000 penduduk pada tahun 2004 dan 5,73 per 100.000 penduduk pada tahun 2005 menjadi 6,06 per 100.000 penduduk pada tahun 2006, dan 6,38 per 100.000 penduduk pada tahun 2007. Hal ini berarti bahwa dalam periode ini setiap 100.000 penduduk rata-rata dilayani oleh 5-6 unit Puskesmas. Jumlah Puskesmas dan rasio Puskesmas terhadap 100.000 penduduk pada tahun 2004-2007 disajikan pada Tabel 2.28 dibawah ini. Tabel: 2.28 Jumlah Puskesmas dan Rasionya Terhadap 100.000 Penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2004 – 2007 Tahun Jumlah Puskesmas Jumlah Penduduk Rasio Puskesmas/ 100.000 Rawat Inap Penduduk Non Rawat Inap Total 2004 82 147 229 4.188.774 5.46 2005 88 154 242 4.218.795 5.74 2006 97 167 264 4.355.121 6.06 2007 102 182 284 4.448.873 6.38 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi NTT, Tahun 2007 Jumlah Puskesmas pembantu juga cenderung meningkat dari 866 unit pada tahun 2004 menjadi 909 unit pada tahun 2005 dan 917 unit pada tahun 2006, dan 938 unit pada tahun 2007. Jumlah Puskesmas pembantu dan rasio Puskesmas pembantu terhadap 100.000 penduduk pada tahun 2004-2007 disajikan pada Tabel di bawah ini. Tabel: 2.29 Jumlah Puskesmas Pembantu dan Rasionya Terhadap 100.000 Penduduk di NTT Tahun 2004 – 2007 Tahun Jumlah Pustu Jumlah Penduduk Rasio Puskesmas (per 100.000 penduduk) 2004 866 4.188.774 20.67 2005 909 4.218.795 21.55 2006 917 4.355.121 21.06 2007 938 4.448.873 21.08 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi NTT Tahun 2007 Berdasarkan jumlah Puskesmas dan Puskesmas pembantu, maka rasio Puskesmas pembantu terhadap Puskesmas pada tahun 2004-2007 rata-rata 4 : 1, artinya setiap Puskesmas rata-rata didukung oleh 4 Puskesmas pembantu dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 27 - Tabel 2.30 Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar per Kabupaten se Provinsi NTT Tahun 2006 No. Kabupaten Jumlah Puskesmas Jumlah Pustu Jumlah Pusling Jumlah Kecamatan RATIO Non RRI RRI Total Puskesmas Pustu 1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 1 Sumba Barat 10 7 17 60 - 16 4,15 14,64 2 Sumba Timur 10 7 17 64 - 15 7,82 29,43 3 Kab. Kupang 21 6 27 111 15 29 7,44 30,60 4 TTS 19 5 24 64 20 23 5,82 15,52 5 TTU 10 5 15 51 16 24 7,18 24,40 6 Belu 14 4 18 48 16 17 4,56 12,16 7 Alor 13 5 18 46 10 17 10,17 25,99 8 Lembata - 8 8 25 11 8 7,82 24,43 9 Flotim 8 7 15 43 - 14 6,66 19,09 10 Sikka 11 6 17 65 - 17 6,16 23,56 11 Ende 7 13 20 59 - 17 8,42 24,84 12 Ngada 8 6 14 61 - 14 5,59 24,37 13 Manggarai 17 6 23 86 - 12 4,65 17,37 14 Rote Ndao 8 4 12 76 10 8 10,85 68,71 15 Kota Kupang 3 4 7 30 - 4 2,51 10,75 16 Mggarai Barat 8 4 12 28 - 5 6,14 14,32 Jumlah 167 97 264 917 98 240 6,06 21,06 TAHUN 2005 154 88 242 909 98 191 5,74 21,55 TAHUN 2004 147 82 229 866 - 187 5,47 20,67 Sumber : 1) Profil Kesehatan Kabupaten/Kota se Provinsi NTT tahun 2006 2) Laporan Subdin Yankesmas Dikes Provinsi NTT, tahun 2006 2.4.2.6.2. Rumah Sakit Jumlah sakit di Provinsi NTT terus mengalami peningkatan, pada tahun 2004 jumlah rumah sakit di NTT 25 unit dan bertambah menjadi 35 unit pada tahun 2007. Perkembangan jumlah rumah sakit menurut jenisnya di provinsi NTT dari tahun 2004 sampai dengan 2007 sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel : 2. 31 Banyaknya Rumah Sakit Menurut Jenis Rumah Sakit 2004-2006 Jenis Rumah Sakit 2004 2005 2006 2007 Rumah Sakit Pemerintah 14 15 17 17 Rumah Sakit Swasta 8 10 11 12 Rumah Sakit Khusus 1 1 1 2 Rumah Sakit TNI/Polri 2 3 3 4 Jumlah 25 29 32 35 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi NTT Tahun 2007 Selama kurun waktu tahun 2004 - 2007 terjadi pertambahan kenaikan kapasitas rumah sakit yang ditunjukan oleh pertambahan jumlah tempat tidur pada rumah sakit Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 28 - umum. Pada Tahun 2004 jumlah tempat tidur pada RSUD sebanyak 1.288 buah meningkat menjadi 1.375 buah pada tahun 2007. Sedangkan pada Rumah Sakit Swasta justru mengalami penurunan jumlah tempat tidur dari 1.930 buah pada tahun 2004 menurun menjadi 603 buah pada tahun 2007. sebagaimana secara ringkas pada dilihat Tabel berikut. Tabel : 2.32 Rasionya Tempat Tidur Rumah Sakit Berdasarkan Jenis Rumah Sakit Tahun 2004 – 2007 Tahun Jumlah Tempat Tidur di RS Rasio Tempat Tidur per 100.000 penduduk RSUD Swasta Total Rasio 2004 1.288 642 1.930 46,1 2005 1.325 689 2.014 47,7 2006 1.359 642 2.001 45,9 2007 1.375 603 1.978 44,46 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi NTT Tahun 2007 Rasio antara kapasitas tempat tidur rumah sakit per 100.000 penduduk, selama tahun 2004 – 2007, relatif tidak berubah, yaitu berkisar antara 45-48 per 100.000 penduduk atau rata-rata setiap tempat tidur rumah sakit melayani 2.249 penduduk. 2.4.3. Kerjasama Lintas Bidang dan Lintas Batas Status kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh berbagai determinan penting yang berada di luar kendali bidang kesehatan sepenuhnya seperti faktor lingkungan (40%), faktor keturunan (20%) dan faktor perilaku (10%). Sehingga sesungguhnya kendali bidang kesehatan hanya mempunyai kontribusi sebesar 30% saja. Di samping itu masalah kesehatan masyarakat tidak mengenal batas-administrasi pemerintahan (antar kabupaten/kota, antar provinsi, dan antar negara). Oleh sebab itu kerjasama lintas bidang dan lintas batas administrasi pemerintahan dalam perencanaan program bersama secara lintas-bidang (cross-cutting issues) dan lintas-batas (cross-border issues ) menjadi prasyarat penting dalam peningkatan status kesehatan masyarakat. Kerjasama lintas bidang dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat selama ini masih lemah disebabkan belum adanya koordinasi yang baik. Upaya yang telah dilakukan dengan membentuk 4 (empat) Badan Kerjasama Kesehatan Wilayah (Joint Health Council) selama lima tahun terakhir belum menampakkan hasil yang memuaskan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 29 - 2.5. Kondisi Perekonomian Pembangunan bidang ekonomi dapat terlihat pada pertumbuhan sektor ekonomi. Sampai dengan tahun 2007 perkembangan sektor ekonomi mengalami pertumbuhan yang positif. Namun demikian, pertumbuhan tersebut lebih banyak digerakkan oleh aktivitas konsumsi, sehingga fondasi ekonomi yang tercipta kurang kokoh dalam jangka menengah dan jangka panjang. Kenyataan ini berpengaruh juga pada kondisi kesejahteraan penduduk NTT. Akibatnya angka kemiskinan penduduk NTT masih sulit diturunkan. Tingginya angka kemiskinan diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain: rendahnya tingkat pendapatan perkapita masyarakat, masih tingginya angka pengangguran, belum berkembangnya sektor riil dan rendahnya pertumbuhan dan produktivitas UKM dan Koperasi. Pembangunan bidang ekonomi mengindikasikan tingkat pertumbuhan rata rata tahun 2005 sebesar 5 %, tahun 2006 sebesar 5,08 % dan mengalami percepatan pada 2007 menjadi 5,5 %, sedangkan memasuki triwulan pertama 2008 mengalami perlambatan pertumbuhan sehingga masih dibawah rata-rata nasional sebesar 5,61 % sedangkan target Propeda ditetapkan bertumbuh sebesar rata-rata sebeser 6 %. 2.5.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2.5.1.1. Struktur PDRB NTT Dari sudut analisis struktural, Sektor Pertanian dan Sektor Jasa Pemerintah masih mendominasi perekonomian NTT. Dengan kecenderungan penurunan peran sektor pertanian dan peningkatan peran sektor jasa-jasa pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa investasi masyarakat dan swasta masih sangat rendah dibanding investasi pemerintah. Padahal investasi pemerintah lebih kepada pelayanan dasar publik dengan efek penyerapan tenaga kerja yang rendah. Sektor pertanian yang masih berperan kuat walaupun mengalami kecenderungan menurun mengindikasikan ekonomi NTT masih dalam kategori ekonomi pertanian. Karena pertanian di NTT juga masih tergolong subsisten, maka dapat pula dikatakan bahwa ekonomi NTT masih tergolong sebagai ekonomi subsisten. Tabel 2.33 Struktur Ekonomi Sembilan Sektor Propinsi NTT Tahun 2002 – 2006, Atas Dasar Harga Konstan 2000. Sektor 2002 2003 2004 2005 2006 Pertanian 44.33 43.11 42.36 42.58 41.38 Pertambangan 1.51 1.44 1.38 1.39 1.38 Industri 1.63 1.64 1.62 1.63 1.63 Listrik, Gas, Air Bersih 0.41 0.40 0.40 0.40 0.41 Konstruksi 7.40 7.21 6.93 6.98 6.95 Perdagangan, Hotel, dll 14.99 15.09 14.99 15.10 15.32 Pengangkutan & Komunikasi 6.03 6.19 6.37 6.41 6.67 Keuangan, Jasa Perusahaan, dll 2.92 2.88 2.81 2.97 3.14 Jasa-jasa 21.29 22.05 23.15 22.52 23.11 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007 Jika struktur ekonomi NTT dianalisis dalam kategori 3 sektor, maka Sektor Primer dan Tertier masih sangat kuat mewarnai ekonomi NTT. Peranan Sektor Primer semakin Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 30 - menurun seiring peningkatan sektor tertier dalam ekonomi NTT, sedangkan sektor sekunder relatif tetap. Padahal sekitar 70% TK masih bekerja di sektor primer. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor primer masih harus menjadi prioritas, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan. Tabel 2.34 Struktur Ekonomi NTT 3 sektor (2002 - 2006) Sektor 2002 2003 2004 2005 2006 Primer 45.84 44.55 43.74 43.97 42.76 Sekunder 9.44 9.25 8.95 9.01 8.99 Tertier 45.23 46.21 47.32 47 48.24 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. 2.5.1.2. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan PDRB NTT relatif konstan antara tahun 2002 sampai 2004, kemudian mengalami penurunan di tahun 2005, diikuti peningkatan berarti di Tahun 2006. Rata-rata pertumbuhan selama periode 2002 – 2006 tidak mencapai 5% (tergolong rendah) dibanding rata-rata pertumbuhan nasional yang mencapai 5,10%. Jika kondisi demikian terus berlangsung, maka ketertinggalan NTT akan semakin melebar. Tabel 2.35 PDRB NTT dan Pertumbuhannya 2002-2006 (Harga Konstan 2000) Tahun PDRB (Juta Rupiah) Pertumbuhan (%) 2002 8,622,491 4.88 2003 9,016,717 4.57 2004 9,446,770 4.77 2005 9,769,548 3.10 2006 10,266,159 5.08 Rata-rata/Tahun 4.48 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Secara sektoral, Pertumbuhan ekonomi NTT diwarnai oleh pertumbuhan yang tinggi (> 5%) di sektor-sektor: 1. Perdagangan, hotel dan restauran, 2. Pengangkutan dan komunikasi, 3. Keuangan dan jasa perusahaan, serta 4. Jasa-jasa, khususnya jasa pemerintah Sementara itu, sektor-sektor primer (pertanian dan pertambangan) serta sektorsektor sekunder terutama industri yang menampung > 70% TK hanya tumbuh dibawah 5%. Oleh karenanya ke depan perlu adanya usaha pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor primer khususnya pertanian dan sektor sekunder khususnya industri untuk tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan sektor tertier. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 31 - Tabel 2.36 Pertumbuhan PDRB NTT Secara Sektoral Tahun 2002 - 2006 (Berdasarkan Harga Konstan 2000) Sektor 2003 2004 2005 2006 Rata2/ Thn Pertanian 2.78 3.50 0.19 5.73 3.05 Pertambangan 2.43 0.92 2.79 2.14 2.07 Industri 4.72 4.62 3.09 4.42 4.21 Listrik, Gas, Air Bersih 2.22 4.62 6.70 2.04 3.89 Konstruksi 1.94 1.42 2.61 1.10 1.77 Perdagangan, Hotel, dll 5.31 4.85 4.56 6.35 5.27 Pengangkutan & Komunikasi 7.23 8.66 7.13 7.09 7.53 Keuangan, Jasa Perusahaan, dll 3.06 8.21 9.14 2.97 5.85 Jasa-jasa 8.29 7.02 5.78 5.67 6.69 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Analisis lebih makro adalah dengan mengelompokkan ke sembilan sektor dimaksud kedalam 3 kategori sektor ekonomi yaitu Sektor Primer (Pertanian dan Pertambangan), Sektor Sekunder (Industri, Listrik/Gas/Air Bersih, dan Kontruksi), serta yang lainnya sebagai Sektor Terier, maka ditujukkan bahwa Sektor Primer dan Sekunder mengalami pertumbuhan rata-rata yang sangat rendah dibanding sektor Tertier. Pada tahun 2006 pertumbuhan sektor primer sempat melonjak mencapai 5,6% dari pertumbuhan rendah (< 3,5%) antara tahun 2003-2005. Sifat pertumbuhan demikian dihubungkan dengan ekonomi NTT yang masih subsisten, mengandung beberapa makna: 1. Laju penyerapan tenaga kerja rendah karena sektor jasa secara teoritis, bersifat padat modal, walaupun poduktivitas TK di sektor ini adalah yang paling tinggi, 2. Terjadi penurunan tingkat pendapatan perkapita di sektor pertanian karena penurunan peran sektor primer dan pertumbuhannya yang sangat rendah di banding sektor tertier, relatif tidak diikuti oleh perpindahan tenaga kerja keluar dari sektor pertanian secara nyata, 3. Peningkatan underemployment di sektor primer, 4. Struktur ekonomi kurang mempunyai landasan yang kuat, karena sektor sekunder terutama industri sangat lambat perkembangannya, terutama industri yang memberi nilai tambah kepada sektor pertanian, dan ke depan mampu mentransfer TK unskill dari sektor pertanian. Tabel 2.37 Pertumbuhan PDRB NTT Sektoral Tahun 2002 - 2006 (Berdasarkan Harga Konstan 2000) Sektor 2003 2004 2005 2006 Rata2/Thn Primer 2.77 3.41 0.27 5.61 3.02 Sekunder 2.44 2.13 2.88 1.74 2.30 Tertier 6.83 6.61 5.78 5.91 6.28 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 32 - 2.5.1.3. Ekonomi Pertanian Peranan sektor pertanian yang masih kuat dalam ekonomi NTT, dicirikan oleh peranan yang besar dari sub sektor tanaman pangan yang bertahan > 20% selama periode 2002 – 2006, diikuti sub sektor peternakan yang menyumbang > 10% selama periode yang sama. Perubahan struktur ekonomi pertanian relatif tidak berarti selama periode tersebut. Tabel 2.38 Struktur Ekonomi Pertanian NTT (2002 - 2006) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Sub Sektor 2002 2003 2004 2005 2006 Tanaman Bahan Makanan 22.37 22.07 22.05 20.81 20.59 Tanaman Perkebunan 4.14 4.01 3.84 4.13 4.12 Peternakan dan Hasil-hasilnya 13.24 12.97 12.61 12.70 12.72 Kehutanan 0.28 0.27 0.26 0.26 0.26 Perikanan 3.83 3.78 3.82 3.79 3.81 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Dari sudut rata-rata pertumbuhan selama periode 2003-2006, sub sektor: (a) tanaman perkebunan, (b) peternakan dan hasil-hasilnya serta (c) perikanan menunjukkan pertumbuhan tinggi dibanding sub sektor tanaman bahan makanan dan kehutanan. Dari sudut kemantapan pertumbuhan, dimana ada kecenderungan pertumbuhan yang bersifat semakin meningkat (increasing growth) adalah sub sektor tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan. Sub sektor tanaman bahan makanan pertumbuhannya bersifat sangat fluktuatif seiring dengan tingginya uncertainty yang berhubungan dengan ketidak pastian iklim. Tabel 2.39 Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian di NTT Tahun 2002 - 2006 (Berdasarkan Harga Konstan 2000) Sub Sektor 2003 2004 2005 2006 Rata2/Thn Tanaman Bahan Makanan 3.15 4.68 -2.70 4.27 2.35 Tanaman Perkebunan 1.35 0.27 10.78 5.35 4.44 Peternakan dan Hasil-hasilnya 2.45 1.84 3.79 5.64 3.43 Kehutanan 2.83 0.37 1.72 6.37 2.82 Perikanan 3.31 5.93 2.32 5.97 4.38 Sektor Pertanian 2.78 3.50 0.19 5.73 3.05 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. 2.5.1.4. PDRB Per Kapita PDRB per kapita dapat juga dipadankan dengan produktivitas per kapita, yaitu kemampuan setiap penduduk menghasilkan barang dan jasa dalam satu tahun. Data ini menunjukkan bahwa produktivitas penduduk NTT sangat rendah dibanding produktivitas per kapita secara nasional, yaitu hanya sekitar 1/3 dari produktivitas per kapita nasional. Jika diamati tingkat pertumbuhan PDRB per kapita, maka NTT semakin ketinggalan dari PDRB/Kapita Nasional karena pertumbuhannya yang rendah di banding pertumbuhan secara nasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 33 - Tabel 2.40 PDRB Perkapita dan Pertumbuhannya untuk Tingkat NTT dan Nasional 2002- 2006 (Atas Dasar Harga Konstan 2000) Tahun PDRB/Kapita NTT PDRB/Kapita Nasional (Rp/Thn) Pertumbuhan (%) (Rp/Thn) Pertumbuhan (%) 2002 2,147,944 6,875,000 2003 2,210,034 2.89 7,005,000 1.89 2004 2,273,118 2.85 7,284,000 3.98 2005 2,315,720 1.87 7,496,000 2.91 2006 2,357,261 1.79 7,796,000 4.00 Rata-rata/Tahun 2.35 - 3.20 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Jika PDRB NTT dihubungkan dengan jumlah penduduk yang bekerja di setiap sektor ekonomi, maka dapat dihitung PDRB per Kapita Tenaga Kerja, yang menggambarkan produktivitas atau tingkat upah kotor per tenaga kerja sektoral. Produktivitas atau tingkat upah kotor tenaga kerja sektor primer dan sekunder di NTT masih sangat rendah dibanding produktivitas/upah kotor di sektor tertier. Bahkan dapat dikatakan bahwa tingkat upah kotor tenaga kerja di sektor primer dan sekunder masih jauh dibawah tingkat upah minimum regional. Tabel 2.41 Produktivitas/Tingkat Upah Kotor Tenaga Kerja di NTT (Tahun 2006) Sektor Kerja PDRB/Kapita Tenaga Kerja Thn. 2006 (Rp/Thn) (Rp/Bln) Primer 3,168,481 264,040 Sekunder 4,233,806 352,817 Tertier 13,288,812 1,107,401 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Sektor primer, terutama sektor pertanian di NTT menyerap tenaga kerja > 70%, sehingga dapat dipadankan bahwa tenaga kerja sektor pertanian mempunyai produktivitas yang sangat rendah, terutama karena tingginya underemployment (pengangguran tersembunyi di sektor tersebut (lihat bahasan tentang Kesempatan Kerja dan Pengangguran). 2.5.2. Kesempatan Kerja, Pengangguran dan Produktivitas TK Jumlah penduduk usia kerja yang tidak bekerja di NTT untuk kondisi 2006 tergolong rendah, tetapi yang bekerja tidak penuh ( < 8 jam per hari) mencapai 79,37% jauh lebih tinggi dari yang bekerja penuh (> 8 jam per hari). Kondisi ini kiranya dapat menjelaskan rendahnya produktivitas/tingkat upah TK di NTT. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 34 - Tabel 2.42 Jumlah Penduduk > 15 Tahun yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu (2006) Kategori Kerja Orang Persentase L P L + P L P L + P Un employment 35,240 75,123 110,363 1.79 3.81 5.59 Under employment 840,455 725,664 1,566,119 42.59 36.78 79.37 Full employment 213,376 83,322 296,698 10.81 4.22 15.04 Total 1,089,071 884,109 1,973,180 55.19 44.81 100.00 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Tercatat bahwa penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja (baik yang bekerja penuh, maupun yang tidak) melingkupi 94%. Sebagian terbesar dari mereka (sekitar 70%) bekerja di sektor primer terutama di pertanian secara tidak penuh (underemployment). Hanya sebagian kecil yang bekerja disektor sekunder maupun sektor tertier. Kondisi demikian berbeda jauh dari kondisi nasional, dimana hanya sekitar 43% penduduk yang bekerja di sektor pertanian, selebihnya ( > 50%) bekerja disektor sekunder dan tertier. Bukanlah persoalan jika 70% TK di sektor pertanian bekerja penuh, tetapi menjadi persoalan di NTT karena mereka ternyata tergolong dalam tenaga kerja tidak bekerja penuh atau lebih sering dikenal dengan pengangguran tersembunyi. Kondisi pengangguran tersembunyi inilah yang mendetarminasi produktivitas yang rendah dari TK di sektor primer khususnya pertanian. Tabel 2.43 Persentase Penduduk 15 Tahun yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan, Tahun 2006 Primer (%) Sekunder (%) Tersier (%) Sumba Barat 76.12 14.10 9.77 Sumba Timur 72.34 11.94 15.74 Kupang 81.88 5.73 12.40 TTS 84.33 4.63 11.05 TTU 74.87 11.73 13.40 Belu 64.97 12.57 22.47 Alor 65.17 11.64 23.20 Lembata 81.96 2.37 15.66 Flotim 67.56 7.63 24.82 Sikka 55.66 22.29 22.06 Ende 65.06 13.31 21.65 Ngada 76.83 10.53 12.64 Mangga rai 82.91 6.32 10.78 Rote Ndao 68.30 17.80 13.90 Mabar 78.42 7.73 13.86 Kota Kupang 5.36 11.11 83.54 N T T 70.36 10.67 18.98 Nasional 43.01 17.62 39.37 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. 2.6. Pembangunan Sektor-Sektor Produksi Luas wilayah daratan Provinsi Nusa Tenggara Timur 4.734.990 Ha, terdiri dari 1.655.466 Ha 34,96 % berpotensi untuk lahan pertanian. Potensi ini terdiri dari 1.528.258 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 35 - Ha atau 32,28 % merupakan potensi usaha pertanian lahan kering dan 127.208 Ha atau 2,69 % adalah usaha pertanian lahan basah (sawah). Walaupun kondisi iklim kering (semi arid) dengan sumber daya lahan yang didominasi lahan kering dengan tingkat kesuburan yang rendah namun upaya konservasi lahan dan penanganan budidaya yang baik (Good Agriculture Practices/GAP) akan mendukung pengembangan komoditi yang diharapkan. Luas wilayah perairan laut Provinsi Nusa Tenggara Timur mencapai 191.484 km2 (19.148.400 ha) atau sekitar 80% dari luas total wilayah. Perairan NTT termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 4 (Laut Flores) dan 9 (Samudera Hindia). Kedua WPP tersebut termasuk WPP yang sumberdaya ikan pelagis kecil dan pelagis besarnya masih dalam status kurang termanfaatkan (under utilized). Hal ini menunjukkan bahwa produksi perikanan tangkap dapat ditingkatkan melalui peningkatan pemanfaatan wilayah perairan untuk lebih meningkatkan kontribusi sektor perikanan dalam PDRB provinsi. Selain perikanan tangkap, perairan NTT juga memiliki potensi besar untuk kegiatan budidaya laut (marikultur), terutama di perairan pantai. Dengan panjang pantai yang mencapai 5.700 km, terdapat sekitar 5.150 ha lokasi yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut, mutiara, ikan kerapu, lobster, teripang, dan organisme lainnya. Hingga saat ini, baru 13% wilayah potensial tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya, terutama rumput laut. Wilayah NTT juga memiliki lahan untuk budidaya air payau seluas 35.455 ha yang baru termanfaatkan seluas 35% untuk budidaya ikan bandeng dan udang. Untuk budidaya ikan air tawar, tersedia lokasi seluas 8.375 ha yang pemanfaatannya baru mencapai sekitar 42%. Data tersebut memperlihatkan bahwa perikanan budidaya di NTT juga masih berpotensi ditingkatkan produksinya melalui pemanfaatan lahan. 2.6.1. Pertanian 2.6.1.1. Tanaman Pangan dan Perkebunan Pemanfaatan potensi lahan pertanian belum optimal. Luas lahan potensial untuk produksi pertanian di provinsi NTT terdiri dari lahan kering 1.528.308 ha, dan potensi lahan basah 284.103 ha. Dari total luas lahan kering yang tersedia, 202.810 ha tergolong sangat sesuai (S1), 478.930 ha dan kecocokan terbatas (S3) 846.568 ha. Pemanfaatan potensi lahan kering baru mencapai 40.37%. Penggunaan lahan lahan kering terdiri dari 483.165 hektar untuk budidaya tanaman pangan dan perkebunan, 30.089 hektar untuk budidaya sayur-sayuran, dan 102.892 untuk budidaya tanaman buah-buahan. Dari potensi lahan basah 284.103 ha yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota, baru 128.632 ha di antaranya yang sudah dikelola. Tingkat produktivitas pertanian yang dicapai juga dinilai masih rendah, dibanding angka-angka produktivitas nasional. Hingga tahun 2007, hasil tanaman-tanaman utama, seperti jagung, padi, dan tanaman-tanaman perkebunan unggulan provinsi secara rata-rata baru mencapai <50% dari angka rata-rata nasional. Untuk kelompok tanaman pangan, dalam tahun 2006, produksi tertinggi berasal dari ubi kayu, sebesar 868.114 ton, dengan peningkatan produksi 2.65% per tahun. Pada urutan ke dua adalah jagung, dengan produksi 636.595 ton. Peningkatan produksi jagung dalam enam tahun terakhir adalah 15.23% per tahun. Padi menempati urutan tiga, dengan produksi 498.015 ton. Rata-rata peningkatan produksi per tahun adalah 8,1%. Untuk kelompok komoditi perkebunan, hingga akhir Tahun 2006 kelapa dan jambu mete merupakan komoditi dominan, dengan luas areal budidaya masing-masing 167,268.81 Ha dan 160.457,95 Ha, dan produksi masing-masing 60.806 dan 32.471 ton. Total luas lahan produksi untuk kedua jenis tanaman tersebut mencapai 53,89 % dari total luas areal perkebunan di NTT. Urutan berikutnya ditempati berturut-turut adalah komoditi kemiri, kopi, kakao, kapuk, pinang, cengkeh, kapas. vanili. jarak, pala, lada, tembakau, dan sirih. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 36 - 2.6.1.2. Kehutanan Hutan sangat diperlukan dalam pemeliharaan lingkungan hidup dan daur hidrologi di daratan. Secara proporsi luasan hutan di NTT mencapai 38% dari total wilayah NTT. Sebagian besar areal hutan di NTT diperuntukkan sebagai hutan lindung, taman nasional dan suaka margasatwa. Luas hutan lindung mencapai 713.216,97 km2 yang sebagian besar terdapat di pulau-pulau seperti Timor dan Semau (265.641,64 km2), Flores dan sekitarnya (220.584,36 km2), dan Sumba (167.124,29 km2). Fungsi perlindungan dan peran kawasan hutan ini dalam daur hidrologi semakin terancam dengan maraknya perambahan dan pembakaran hutan, illegal logging, serta perladangan berpindah. Kondisi ini terjadi baik di daratan maupun hutan bakau di kawasan pantai. Untuk itu diperlukan penanganan yang sistematis untuk menghambat degradasi kawasan hutan tersebut. 2.6.1.3. Perikanan a. Perikanan Tangkap Potensi lestari (MSY) sumberdaya ikan di perairan NTT mencapai 388.700 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) mencapai 292.200 ton/tahun. Data memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 2000-2006 produksi perikanan tangkap terus mengalami peningkatan (Tabel 2.44). Meskipun demikian, hingga tahun 2007 tingkat pemanfaatan potensi perikanan NTT baru berkisar 30-40% JTB. Hal ini memperlihatkan bahwa produksi perikanan masih dapat dipacu dengan meningkatkan tingkat eksploitasi sumberdaya. Tabel 2.44 Trend Produksi Perikanan tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Produksi (ton) Tingkat Pemanfaatan (%) 2000 81.437,7 27,8 2001 83.990,6 28,7 2002 85.463,6 29,2 2003 87.823,5 30,0 2004 96.142,2 32,9 2005 124.872,5 42,7 2006 97.039,2 33,2 2007 101.217,1 34,6 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2007 Dalam rangka meningkatkan produksi perikanan tangkap harus dilakukan pembenahan kualitas sumberdaya manusia nelayan dan teknologi penangkapan. Populasi nelayan menempati 5% dari total penduduk NTT dan jumlah nelayan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi, sebagian besar nelayan tersebut baru mampu beroperasi di wilayah perairan pantai (<12 mil). Operasi penangkapan kebanyakan dilakukan secara harian (one day fishing operation) karena sebagian besar hanya memiliki perahu tanpa motor dan motor tempel (Tabel 2.31). Dengan ukuran kapal seperti ini, perairan di luar 12 mil hingga batas ZEE hampir belum terjamah oleh nelayan yang berdomisili di NTT. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 37 - Tabel 2.45 Jumlah Armada Perikanan NTT Berdasarkan Ukuran Kapal Tahun 2006 Ukuran Kapal Perikanan Perahu tanpa motor Jukung 14.514 Perahu papan 6.254 Sub total 20.768 Perahu/kapal motor Perahu motor tempel 3.609 Ukuran kapal <5 GT 3.774 5 – 10 GT 1.457 Sub total 8.840 Total 29.608 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2007 Demikian pula, alat-alat tangkap yang digunakan sebagian besar adalah alat untuk beroperasi di perairan pantai, rinciannya sebagaimana terlihat pada Tabel 2.39. Tabel 2.46 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Yang Digunakan Oleh Nelayan di NTT Pada Tahun 2006 Alat tangkap Jumlah Seine Payang/lampara 308 Pukat pantai 782 Purse seine 469 Gill net Jaring insang 21.777 Lift net Bagan/ boat lift net 586 Hook and line Pole and line/huhate 475 Pancing tonda 9.391 Pancing lain 28.940 Alat lain 16.976 Total 79.704 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2007 Rendahnya teknologi penangkapan mengakibatkan ketimpangan pemanfaatan sumberdaya karena para nelayan hanya terkonsentrasi di perairan pantai. Dengan semakin padatnya jumlah nelayan yang beroperasi di perairan pantai, maka semakin meningkat pula tekanan terhadap sumberdaya perairan. Kondisi ini diperparah oleh dipraktekkannya caracara penangkapan yang tidak ramah lingkungan, bahkan destruktif. Meningkatnya tekanan dan praktek yang merusak berdampak pada kelestarian ekosistem laut dangkal, terutama mangrove dan terumbu karang. Tingkat kerusakan untuk kedua jenis ekosistem pantai tersebut rata-rata mencapai 70%. Selain masalah kerusakan ekosistem pantai, pengawasan dan pengamanan potensi sumberdaya ikan juga sangat lemah. Dengan sangat terbatasnya jumlah pelabuhan perikanan dan tenaga pengawas sumberdaya, praktek IUU fishing (illegal, unreported and unregulated fishing), termasuk pencurian ikan oleh nelayan dari provinsi lain dan nelayan asing, masih sangat tinggi. Kondisi wilayah kepulauan dengan tempat-tempat pendaratan liar yang tersebar menyulitkan pencatatan jumlah ikan yang didaratkan maupun yang diantarpulaukan (diekspor). Hingga saat ini, di NTT baru terdapat 1 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan 6 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang tersebar di beberapa kabupaten. Kecuali pelabuhan perikanan yang ada di Kupang, sebagian besar PPI yang ada di kabupaten memiliki fasilitas yang minim sehingga armada perikanan yang beroperasi di NTT tidak berminat memanfaatkannya. Akibatnya banyak ikan yang didaratkan di tempat-tempat yang tidak resmi maupun yang dipasarkan langsung di laut ke kapal penampung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 38 - (transhipment). Keadaan seperti ini menyulitkan pemanfaatan dan pengamanan sumberdaya ikan serta merugikan pemerintah daerah karena tidak memperoleh pajak sebagaimana mestinya. b. Perikanan Budidaya Meningkatnya permintaan pasar dalam dan luar negeri akan produk-produk perikanan tertentu dan semakin terbatasnya pasokan dari kegiatan penangkapan, mengharuskan pembudidayaannya. Budidaya laut dan air payau dapat diarahkan untuk menghasilkan devisa, sedangkan budidaya air tawar terutama ditujukan untuk menyediakan sumber protein yang murah bagi penduduk pedesaan yang jauh dari pantai. Untuk budidaya laut, yang berkembang pesat baru budidaya rumput laut. Perairan NTT sangat cocok untuk budidaya rumput laut karena memiliki salinitas yang tinggi dan stabil sepanjang tahun. Selain itu, perairannya jernih dan bebas cemaran. Selama periode 2000-2007 produksi rumput laut meningkat dengan pesat (Tabel 2.47). Relatif mudahnya pemeliharaan, investasi yang relatif rendah, tersedianya pasar untuk produk, serta cepat menghasilkan uang menarik minat masyarakat untuk membudidayakannya. Selama kurun tersebut, jumlah pembudidaya meningkat dengan pesat (Tabel 2.48). Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah dengan semakin banyaknya nelayan kecil yang beralih menjadi pembudidaya. Demikian pula, petani lahan kering yang tinggal di desa-desa pesisir akan banyak yang beralih ke pemeliharaan rumput laut karena kegiatan ini dapat dilaksanakan hampir sepanjang tahun. Tabel 2.47 Produksi (ton) rumput laut NTT Tahun Produksi (ton) 2000 3.020,0 2001 3.895,0 2002 4.123,0 2003 4.865,3 2004 93.170,1 2005 205.664,2 2006 478.133,5 2007 787.698,7 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2007 Tabel 2.48 Perkembangan Jumlah Pembudidaya Rumput laut di NTT. Tahun Pembudidaya (orang) 2000 2.909 2001 3.315 2002 5.748 2003 17.307 2004 18.399 2005 19.634 2006 45.137 2007 69.931 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2007 Meningkatnya jumlah orang yang berminat dengan kegiatan budidaya laut harus diimbangi dengan regulasi agar kegiatan budidaya laut dapat berkelanjutan dan bebas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 39 - konflik dengan peruntukan perairan lainnya. Untuk itu, zona-zona budidaya di daerah pesisir harus ditetapkan dengan peraturan/perundangan. Produksi rumput laut NTT masih dapat ditingkatkan mengingat tingkat pemanfaatan areal budidaya baru mencapai 33% total wilayah potensial. Selain itu, peningkatan produksi juga perlu dipacu mengingat permintaan dunia akan produk rumput laut tetap tinggi. Peranan sosial dan ekonomi kegiatan ini juga akan semakin besar, terutama dalam penyediaan lapangan kerja bagi petani lahan kering di daerah pesisir yang pada musim kering lebih banyak menganggur. Untuk nelayan kecil yang semakin sulit mendapatkan ikan, kegiatan ini akan mampu meningkatkan penghasilan. Persoalan utama yang dihadapi dengan rumput laut adalah harga produk yang sangat bervariasi. Sebagai produk yang dijual dalam keadaan mentah, harganya banyak ditentukan secara sepihak oleh pedagang pengumpul setempat maupun eksportir. Dengan belum tersedianya pabrik pengolahan rumput laut di NTT, seluruh produk yang dihasilkan masyarakat diantarpulaukan atau diekspor ke luar. Tabel 2.49 memperlihatkan trend nilai ekspor rumput laut di NTT dimana nilai ekspor per satuan volume sangat variatif. Tabel 2.49 Perkembangan volume dan ekspor komoditi rumput laut dari NTT Tahun Ekspor (ton) 2003 399.607 2004 1.063.535 2005 3.512.350 2006 3.971.292 2007 2.948.571 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2007 Dengan bertumpu pada produk mentah, margin keuntungan terbesar dari pemasaran rumput laut diraup oleh daerah atau negara pemroses rumput laut. Ke depan perlu diupayakan untuk memasarkan produk rumput laut dalam bentuk olahan, seperti semi purified carrageenan atau chips. Pengoperasian pabrik pengolahan tidak akan kesulitan bahan baku karena NTT merupakan penghasil utama rumput laut di Indonesia. 2.6.1.4. Peternakan Peternakan merupakan salah satu sektor dominan dalam kehidupan masyarakat NTT. Jumlah ternak terus meningkat setiap tahun sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2.50. Tabel 2.50 Perkembangan populasi ternak di NTT Ternak 2002 2004 2005 2006 Sapi 503.154 522.929 533.710 544.482 Kerbau 132.497 136.968 139.592 142.257 Kuda 93.157 96.416 97.952 99.872 Babi 1.170.473 1.276.164 1.319.237 1.385.961 Kambing 420.835 462.102 479.883 496.766 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007 Peningkatan populasi rata-rata sekitar 2% untuk ternak besar seperti sapi, kerbau, dan kuda. Sedangkan untuk ternak babi dan kambiing, mengalami peningkatan hampir 6%. NTT pernah dikenal sebagai sumber ternak, khususnya sapi bali, bagi Indonesia. Akan tetapi, penurunan ternak terus menurun akibat pengiriman sapi jantan unggul di masa lalu. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 40 - Selain itu, tingkat kematian pedet sapi akibat kekurangan pakan relatif tinggi. Ke depan, produktivitas ternak dapat ditingkatkan dengan mengadakan breeding centre serta menyediakan hijauan makanan ternak dan pakan yang berkualitas. Pada saat yang sama, ternak babi dan kambing yang memiliki produktivitas tinggi perlu digalakkan untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun pasar nasional. 2.6.2. Perindustrian Secara sektoral, industri memberikan kontribusi yang masih rendah terhadap PDRB NTT, dan cenderung statis selama periode 2002-2006. Walaupun kontribusinya rendah, tetapi pertumbuhan sektor industri dalam kontribusinya terhadap PDRB NTT lebih tinggi dari sektor primer. Dalam kontribusinya yang rendah tersebut, sektor industri bersama dengan sektor listrik/gas dan air bersih serta sektor konstruksi yang tergabung dalam sektor sekunder dapat menyerap sekitar 10% tenaga kerja di NTT di Tahun 2006. Tetapi, produktivitas tenaga kerja di sektor sekunder dimana industri beralamat, masih sangat rendah dibanding produktivitas sektor primer. Tabel 2.51 Keragaan Sektor Industri dalam Perekonomian NTT Uraian 2002 2003 2004 2005 2006 Kontribusi dalam PDRB (%) 1.63 1.64 1.62 1.63 1.63 Pertumbuhan Kontribusi dalam PDRB (%) 4.72 4.62 3.09 4.42 4.21 Penyerapan TK sektor sekunder (%) 10.67 PDRB/TK sektor sekunder (Rp/bulan/TK) 352,817 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007 Pada tingkat ekonomi real, pada tahun 2006 usaha industri berjumlah 69.854 perusahaan, dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 123.779 orang. Jumlah unit usaha yang sudah dibina oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan se-Kabupaten/Kota sebanyak 12.900 unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 36.285 orang, Nilai Investasi sebesar Rp. 946.543.105,- dan Nilai produksi sebesar Rp. 365.569.516,- UKM kelompok industri di Tahun 2006 tercatat sebanyak 5.724 unit usaha. Urutan lima besar jenis usaha UKM, berturut-turut adalah Usaha industri Kain tenun Ikat sebanyak 3.732 unit usaha; Industri Penggilingan Padi sebanyak 299 unit usaha, Industri Furniture dari kayu sebanyak 219 unit usaha, jasa penjahitan sebanyak 147 unit usaha dan jasa service motor sebanyak 130 unit usaha. Kelompok Industri pangan terdiri dari;1). Industri minyak ikan hiu, industri pembuatan sambal asli, industri pengolahan gula merah, industri jagung marning, industri jagung titi, industri sirup rumput laut, industri kerupuk kulit, industri tenteng, industri kecap manis/asin, industri emping jagung, industri pembekuan ikan, industri kopi asalan, industri kerupuk udang, industri pengolahan ikan asin, industri ikan asap, industri pengolahan ikan tuna, industri pengupasan kemiri, industri alkohol 2). Kelompok Industri Sandang terdiri dari; Industri kantong semen, industri penjahitan tas dan dompet, industri kulit sapi kering, industri pembuatan perahu kayu; 3). Kelompok Industri Kimia dan Bahan bangunan terdiri dari; Industri kemasan plastik, industri semen portland, industri lilin, industri kaca mata, industri pupuk bokasi, industri minyak kayu putih, industri minyak gosok, industri minyak sereh. 4). Kelompok Industri logam mesin dan elektronika terdiri dari; industri rak piring, industri oven, dandang, jasa service komputer, jasa service kaca mata; 5). Kelompok industri kerajinan terdiri dari; industri barang dari emas, industri giwang, gelang gading, industri kursi, meja dari bambu, jasa pangkas rambut. Jumlah tenaga kerja bidang industri di Nusa Tenggara Timur selama Tahun 2007 adalah sebesar 206.825 orang dengan rata-rata per tahun menyerap tenaga kerja sebesar 41.365 orang dengan tingkat pertumbuhan sebesar 20%. Nilai investasi dari bidang industri Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 41 - di Nusa Tenggara Timur dari Tahun 2003 - 2007 sebesar Rp. 4.749.006.000,- mengalami peningkatan dengan rata-rata per tahun sebesar Rp. 949.801.000.- 2.6.3. Pariwisata Daerah tujuan wisata bagi wisatawan asing di NTT terutama yang berhubungan dengan wisata budaya dan wisata alam. Dari kedua bentuk pariwisata tersebut, nampaknya para wisatawan mancanegara lebih tertarik pada keindahan dan keunikan alam NTT, terutama alam bahari. Tabel 2.52. memperlihatkan jumlah kunjungan wisatawan asing ke beberapa daerah tujuan wisata utama di NTT. Tabel 2.52 Jumlah kunjungan wisatawan asing ke beberapa kabupaten yang menjadi daerah tujuan wisata utama di NTT. Kabupaten Jenis wisata 2001 2003 2005 1. Sumba Barat Budaya 617 882 552 2. Sumba Timur Budaya 1.902 1.968 318 3. Alor Alam laut 284 465 181 4. Lembata Alam laut 599 115 45 5. Sikka Alam laut 2.455 2.768 2.710 6. Ende Pegunungan 2.681 2.273 2.097 7. Ngada Alam laut 6.333 6.959 1.618 8. Manggarai Alam laut 13.285 13.625 3.601 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007 Terlihat bahwa pariwisata yang berhubungan dengan kekayaan dan keindahan alam laut masih merupakan penarik utama kehadiran turis asing. Meskipun jumlah kunjungan turis asing berfluktuasi sesuai dengan kondisi perekonomian dunia, tempat-tempat yang memiliki keindahan laut menjadi pilihan utama. Taman laut yang ada di Kabupaten Alor dan Kabupaten Sikka serta Taman Laut 17 Pulau di Ngada dan Taman Nasional Komodo (TNK) di Manggarai merupakan tempat-tempat yang ramai dikunjungi. Demikian pula, keunikan alam seperti Danau Kelimutu di Kabupaten Ende mampu menarik keingintahuan wisatawan asing. Data memperlihatkan bahwa kunjungan wisatawan erat kaitannya juga dengan kemudahan transportasi dan ketersediaan fasilitas. Taman Nasional Komodo dan Taman Laut 17 Pulau relatif mudah diakses dari Bali dan NTB serta memiliki resort-resort turis yang memadai. Dengan banyaknya situs-situs pantai yang indah dan unik di NTT merupakan peluang untuk meningkatkan kunjungan wisatawan asing ke NTT. Untuk itu pembangunan infrastruktur ke daerah-daerah tersebut dan kerjasama dengan biro-biro perjalanan harus menjadi prioritas pembangunan pariwisata. Dengan berkembangnya wisata yang berbasis alam laut, maka paket-paket wisata lainnya seperti wisata budaya atau wisata tematik akan dapat dikembangkan. 2.6.4. Perdagangan Peranan sektor Perdagangan terhadap perekonomian daerah juga relatif masih rendah. Peranan sektor Perdagangan sekitar 15,22 % pada Tahun 2006; sedangkan tingkat Inflasi mencapai 8,44 % (2007) serta nilai ekspor mencapai US $ 20,392,041.11 pada Tahun 2007.Jumlah perusahaan dagang sebanyak 65.432 perusahaan yang mencakup usaha dagang kecil sebanyak 17.921 perusahaan, perusahaan menengah sebanyak 8.280 perusahaan dan perusahaan besar sebanyak 950 perusahaan.Proporsi terbesar dari perusahaan industri maupun perusahaan dagang di Nusa Tenggara Timur di dominasi oleh usaha kecil. Investasi di sektor perdagangan mencapai tidak kurang dari Rp. 4,3 trilyun. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 42 - Dari aspek penyerapan tenaga kerja, di akhir Tahun 2007 sektor perdagangan mencapai tidak kurang dari 65.432 orang. Kesejahteraan penduduk yang diindikasikan oleh pendapatan per kapita penduduk NTT atas dasar harga berlaku terus mengalami peningkatan dari Rp 767.326 pada Tahun 1995 menjadi Rp. 3,244.796 pada Tahun 2005 sedangkan pendapatan perkapita penduduk secara nasional Tahun 2005 sebesar Rp. 11.193.856. Distribusi pendapatan terjadi dengan ketidakmerataan yang moderat di mana sepanjang kurun waktu Tahun 1990 - 2004, 40% penduduk berpendapatan terendah (40% low) hanya merebut 24.07% PDRB, sedangkan 20% penduduk berpendapatan tinggi (20% high) merebut 37.65% PDRB. Dengan distribusi demikian, diperkirakan terdapat 27.86% penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur (Tahun 2004), yakni mereka yang pengeluaran per bulannya kurang dari Rp 143.455/bulan di perkotaan, dan kurang dari Rp 108.725 di pedesaan. Neraca perdagangan NTT dari Tahun 2003 – 2006, nilai Import lebih tinggi di bandingkan dengan nilai export, hal ini dikarenakan kebutuhan barang dari luar NTT lebih tinggi di bandingkan dengan pengelolaan dalam daerah. Sedangkan target di Tahun 2007 dan 2008 NTT akan mencoba untuk menargetkan jumlah nilai export melebihi nilai Import, seperti digambarkan pada tabel berikut : Tabel 2.53 Keadaan Export-Import Tahun 2003-2005 dan Perkiraan Tahun 2007-2008 Tahun EXPORT IMPORT % NILAI Vol (kg) Nilai (US$) Vol (kg) Nilai (US$) Exp / Imp 2003 75.576.574.00 22.169.789.09 36.100.812.00 10969.466.17 50.52 2004 62.171.158.00 22.542.395.27 8.622.476.00 3.156.293.69 86.00 2005 81.053.419.20 20.001.171.42 165.435.222.84 6.524.142.79 67.38 2006 18.695.297.22 12.675.028.21 64.033.791.00 19.171.464.32 (51.25) Jlh 237.496.448.42 77.388.383.99 274.192.301.84 39.821.366.97 48.54 2007 20.003.968.03 13.562.280.18 68.516.156.37 17.254.317.89 (27.22) Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007 Perkembangan perdagangan antara Nusa Tenggara Timur dengan dunia menunjukkan bahwa setelah Tahun 2000 terjadi kecenderungan peningkatan ekspor maupun impor. Terdapat empat fenomena penting yakni : (1) Terjadi defisit necara perdagangan (2) Mitra utama ekspor adalah Timor Leste dengan komoditas utama Bahan Bakar Minyak (BBM), dimana komoditas tersebut hanya lalu-lewat; (3) Share Ekspor Impor terhadap PDRB meningkat menuju pola provinsi pelabuhan (4) Salah satu impor terbesar non-migas NTT adalah bahan pangan olahan. 2.6.5. Usaha Kecil dan Menengah Jumlah Koperasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 1.486 unit yang tersebar di 20 Kab/Kota. Adapun kondisi organisasi dan usaha dari koperasi di Nusa Tenggara Timur , dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 43 - Tabel 2.54 Keadaan Koperasi di Provinsi NTT Tahun 2007 No. Keterangan Jumlah 1. Jumlah Anggota Koperasi 388.600 (KK) 2. Tenaga kerja yang dipekerjakan di Koperasi 3.008 orang 3. Jumlah Asset (kekayaan) yang dimiliki koperasi Rp.255.687.771.000 4. Modal sendiri Rp.121.389.721.000 5. Modal dari luar Rp.133.998.050.000 6. Volume usaha yang dicapai pada tahun buku 2007 Rp.152.065.364.000 Sumber : Dinas Koperasi dan UKM Provinsi NTT, Tahun 2007 Sampai dengan Maret 2008 jumlah UKM di Nusa Tenggara Timur sebanyak 781.123 UKM baik perorangan maupun kelompok dengan jenis usaha yang bervariasi pada berbagai sektor antara lain : Sektor Jasa : 15.300 UKM; Sektor Perdagangan dan Perhotelan : 70.397 UKM; Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan: 576.710 UKM; Sektor Pertambangan dan Penggalian: 2.398 UKM; Sektor Industri Pengolahan : 79.874 UKM; Sektor Bangunan : 3.874 UKM; Sektor Pengangkutan dan Komunikasi : 3.875 UKM dan Sektor Keuangan Persewaan : 1.380 UKM. Tabel 2.55 Data Perbandingan Keadaan Koperasi Antara Tahun 2003 Dengan Kondisi Tahun 2007 NO Uraian Tahun Perkembangan 2003 2007 Satuan % 1. Jumlah Kop 1.208 1.448 240 19,87 2. Anggota 352.214 388.660 36.446 10,35 3. Modal Sendiri 122.287.000.000 243.676.721.000 121.389.721.000 99,27 4. Modal Luar 82.568.000.000 216.566.050.000 133.998.050.000 162,29 5. Total Asset 204.555.000.000 460.242.771.000 255.687.771.000 125 6. Volime Usaha 132.380.000.000 284.445.364.000 152.065.364.000 114,87 7. Karyawan 2.499 3.008 509 20,37 Sumber : Dinas Koperasi dan UKM Provinsi NTT, Tahun 2007 Perkembangan UKM di Provinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun 2005 sampai dengan Maret 2008 sebagai berikut pada Tahun 2005 : usaha Kecil sebanyak 423 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 483 orang; usaha menengah sebanyak 206 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 339 orang. Pada Tahun 2006 jumlah usaha kecil sebanyak 465 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 523 orang dan usaha menengah sebanyak 210 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 357 orang. Pada Tahun 2007 jumlah usaha kecil sebanyak 512 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 564 orang dan usaha menengah berjumlah 216 unit dengan penyerapan tenaga kerja 364 orang. Pada Tahun 2008 jumlah usaha kecil sebanyak 521 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 581 orang dan usaha menengah berjumlah 233 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 383 orang. 2.7. Infrastruktur Wilayah Infrastruktur wilayah meliputi prasarana dan sarana transportasi, ketenagalistrikan, energi, pos, telekomunikasi dan informatika, sumber daya air, serta perumahan, pelayanan air minum, dan penyehatan lingkungan memiliki peranan penting dalam perekonomian dan kesejahteraan masyarakat yakni memberikan jaminan keterjangkauan bagi pelayananan publik, membangkitkan dunia usaha, investasi masyarakat dan mengembangkan sumbersumber produksi daerah. Kondisi umum infrastruktur tersebut digambarkan sebagai berikut : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 44 - 2.7.1. Prasarana dan sarana Sistem Transportasi. Sistem transportasi secara umum dibagi menjadi sistem transportasi darat, laut dan udara, dimana prasarana dan sarana transportasi tersebut meliputi perhubungan darat dan ASDP, perhubungan laut dan perhubungan udara. 2.7.1.1. Transportasi Darat Transportasi darat yang terdiri dari jalan, jembatan dan pelabuhan penyeberangan/dermaga (ASDP) dan keselamatan lalulintas merupakan prasarana angkutan darat yang penting guna memperlancar kegiatan-kegiatan perekonomian. Pada Tahun 2006 Provinsi NTT telah memiliki jalan sepanjang 16.754,76 km yang terdiri dari jalan jalan nasional (7,60 %), jalan provinsi (10,37 %), dan jalan kabupaten (76,79 %) dan non status (5,24 %) yang tersebar disetiap kabupaten/kota sebagaimana ditunjukan pada Tabel 2.56., sedangkan berdasarkan data Ditjen Prasarana Wilayah, Dept. Kimpraswil tahun 2006 prosentase kondisi jalan di provinsi NTT berdasarkan status jalan menunjukkan prosentase ditunjukkan pada tabel 2.57., sedangkan jumlah jembatan yang dapat dilewati kendaraan di provinsi NTT sepanjang 2.550 m dengan jembatan konstruksi/beton 712 m sisanya bambu, kayu dan dianggap tidak ada jembatan 1.752 m.(Sumber : BPS, Podes 2003, diolah Pusdata Dep.PU) Tabel 2.56 Panjang Jalan (KM) Menurut Status Se Provinsi NTT Tahun 2006 No Kabupaten/ Status Jalan Nasional Provinsi Kabupaten Non Status Total Panjang 1 Sumba Barat 134.31 194.84 831,18 1.160.33 2 Sumba Timur 35.97 432.72 1.101,40 114,56 1.570.09 3 Kupang 56.83 404.82 1.169,19 146,15 1.630.84 4 TTS 108.29 307.34 1.157,90 80,51 1.573.53 5 TTU 45.99 150.34 800,30 74,04 996.63 6 Belu 91.90 156.12 678,43 87,68 926.35 7 Alor 104.20 68.00 832,03 - 1.004.23 8 Lembata 0.00 52.45 608,80 52,45 661.25 9 Flores Timur 100.16 176.89 577,38 38,48 854.43 10 Sikka 97.88 109.90 748,73 61,77 956.51 11 Ende 130.79 160.30 824,50 76,00 1.115.59 12 Ngada 107.08 347.16 1.218,05 1.672.29 13 Manggarai* 214.40 283.22 1.695,38 115,17 2.193.00 14 Rote Ndao - 84.71 - 30,75 84.71 15 Kota Kupang 45.32 10.40 623.54 - 279.26 Panjang Jalan (Km) 1.273,02 1.737,37 12.866,81 877,56 16.754.76 Sumber data: Provinsi NTT Dalam Angka Tahun 2007 *) Termasuk Manggarai Barat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 45 - Tabel 2.57 Kondisi Jalan Menurut Status Provinsi NTT Berdasarkan Status Jalan Tahun 2006 STATUS JALAN Kondisi Jalan (km) BAIK SEDANG RUSAK RINGAN RUSAK BERAT Total KM % KM % KM % KM % (Km) Nasional 403,28 32% 555,28 43,6% 271,88 21,4% 42,58 3,3% 1.273,02 Provinsi 108,615 4,4% 413,049 16,6% 700,524 28,1% 1.271,163 51,0% 1.737,37 Kabupaten 1.485,900 12,7% 3.233,660 27,7% 4.438,720 38,0% 2.529,500 21,6% 12.866,81 Non Status 877.56 Total 16.754.76 Sumber : Ditjen Prasarana Wilayah, Dept. Kimpraswil Berdasarkan data pada Tabel 2.56. dan Tabel 2.57. diatas, perbandingan antara panjang jalan dengan luas wilayah NTT 0,36 km/km2 dengan kondisi jalan 60 % dalam kondisi rusak (berat dan ringan). Khususnya jalan yang menjadi kewenangan provinsi disamping prosentase panjang jalan hanya 11% dari total jalan, prosentase kondisi kerusakannya menunjukkan yang tertinggi daibanding jalan nasional dan kabupaten. Hal ini perlu mendapat perhatian untuk menunjang kegiatan ekonomi dan membuka keterisolasian daerah terpencil. Jumlah kendaraan bermotor pada Tahun 2006 tercatat sebanyak 109.723 unit dengan komposisi jenis kendaraan terdiri atas : roda dua 92.730 unit dan kendaraan roda empat 16.993 unit. Jumlah kendaraan tersebut dipastikan setiap tahun akan bertambah sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat akan alat transportasi, sehingga perlu peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) melalui angkutan penyeberangan ferry yang beroperasi pada beberapa dermaga sangat berpengaruh terhadap jumlah penumpang. Pada Tahun 2006 penumpang yang naik diseluruh dermaga sebanyak 3.064.937 penumpang. Dari sejumlah itu, 1.244.173 diantaranya naik dari pelabuhan Bolok/Kupang. Sedangkan dari 3.310.566 yang turun, 1.397.935 turun dipelabuhan yang sama. (Sumber data: Provinsi NTT Dalam Angka 2007). Dari data diatas peranan ASDP dalam melayani kebutuhan masyarakat sangat penting mengingat provinsi NTT merupakan daerah kepulauan yang memerlukan transportasi yang cukup. 2.7.1.2. Transportasi Laut Sebagai wilayah kepulauan peranan transportasi laut sangat penting dan cukup potensial untuk dikembangkan. Di NTT terdapat lebih dari 42 pulau yang terpencil yang memerlukan sarana dan prasarana angkutan / perhubungan laut yang memadai. Data arus kunjungan kapal laut di pelabuhan laut di NTT sampai dengan Tahun 2006 sebanyak 1.778.674 kunjungan dan terbanyak di Kabupaten Flores Timur . Pada tahun tersebut penumpang yang naik dipelabuhan laut sebanyak 2.398.977 penumpang, turun sebanyak 2.231.355 penumpang. Volume bongkar muat barang dan hewan pada setiap pelabuhan laut paling menonjol di Tenau Kupang, walaupun khusus untuk muat barang terbanyak di Atapupu (3.049.382 ton). Barang yang dibongkar pada tahun 2006 di Kupang sebanyak 753.384 ton, sedangkan yang dimuat 702.367 ton. Hewan yang dibongkar 775.990 ekor, sementara yang dimuat 723.458 ekor, kegiatan pelayanan sistem transportasi laut dilayani oleh pelabuhan lokal, regional dan nasional yang tersebar disetiap kabupaten di NTT seperti pada tabel berikut : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 46 - Tabel 2.58 Pelabuhan Laut Di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008 No. Kabupaten / kota Pelabuhan Lokal Regional Nasional 1 Kupang Raijua, biu Seba 2 Kota kupang Namosain Tenau (int.) 3 TTS Boking, kolana 4 TTU Wini 5 Belu Atapupu 6 Lembata Lewoleba Balauring 7 Flores timur Waiwerang Larantuka Mananga Waiwadan 8 Sikka Wuring Maumere 9 Ende Maurole Ende / ippi 10 Ngada Aimere 11 Nagekeo Maumbawa Marapokot 12 Manggarai Mborong Reo 13 Manggarai Barat Nangalili Komodo Labuan bajo 14 Sumba barat Rua 15 Sumba barat daya Waikelo 16 Sumba tengah 17 Sumba timur Mbaing Waingapu 18 Rote ndao Batutua, papela Ba'a Ndao, oelaba 19 Alor Kabir pettoko Baranusa Kalabahi Robek Maritaing Sumber Data: Dinas Perhubungan dalam Angka tahun 2007 Dari tabel terlihat penyebaran pelabuhan baik lokal, regional dan nasional cukup tersebar disetiap kabupaten di NTT, namun perlu peningkatan kualitas prasarana pendukung khususnya pelabuhan lokal yang merupakan jumlah terbesar dari pelabuhan yang telah ada. 2.7.1.3. Transportasi Udara Keadaan NTT yang terdiri dari pulau-pulau tidak saja membutuhkan angkutan laut tetapi juga perlu ditunjang oleh kegiatan angkutan udara. Hampir semua kabupaten/kota di NTT telah memiliki pelabuhan udara (lihat tabel.), Jumlah pesawat yang datang pada Tahun 2006 tercatat sebanyak 9.788 unit, mengalami peningkatan sebesar 61,15% dibanding Tahun 2005. Sedangkan jumlah pesawat yang berangkat tercatat 9.739 unit pada Tahun 2006, meningkat 58,36% dari Tahun 2005. Penumpang yang datang meningkat dari 258.319 orang pada Tahun 2005 menjadi 354.068 orang pada Tahun 2006. Penumpang yang berangkat pada Tahun 2006 meningkat sekitar 40,93% dari tahun sebelumnya. Volume bongkar muat barang melalui pelabuhan udara di NTT Tahun 2006 mengalami peningkatan sebanyak 7.167,24 ton volume bongkar barang, atau meningkat sekitar 48,64% dari tahun sebelumnya. Sementara volume muat barang pada tahun yang sama sebesar 5.672,76 ton, atau meningkat 37,2%. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 47 - Tabel 2.59 Persebaran Pelabuhan Udara Di Provinsi Nusa Tenggara Timur No. Kab / kota Nama bandara Kondisi 1 Kota kupang El tari Baik 2 Pulau sabu Terdamu Baik 3 Rote ndao Lekunik Baik 4 Kabupaten belu Haliwen Baik 5 Kabupaten alor Mali Baik 6 Kabupaten lembata Wunopito Baik 7 Flores timur Gewayantana Baik 8 Kabupaten sikka Wai oti Baik 9 Kabupaten ende H.h. Aroeboesman Baik 10 Kabupaten ngada So'a Baik 11 Kab. Manggarai Satartacik Baik 12 Kab.manggarai barat Komodo Baik 13 Kab.sumba barat Tambolaka Baik 14 Kab. Sumba timur Mau hau Baik 15 Mbay –nagekeo Surabaya ii Tidak oprsional Sumber Data: Dinas Perhubungan dalam Angka tahun 2007 Jumlah pelabuhan udara di NTT termasuk cukup besar dibanding provinsi lainnya di Indonesia dan tersebar hampir disetiap kabupaten di NTT, namun prasarana dan sarana penunjang perlu ditingkatkan dengan memperhatikan jumlah penumpang dan kegiatan bongkar muat barang seperti data diatas. 2.7.2. Pembangunan Perumahan Perumahan yang sehat dan layak huni merupakan kebutuhan dasar manusia yang sebenarnya menjadi tanggung jawab masyarakat itu sendiri, namun saat ini sebagian masyarakat dihadapkan pada keterbatasan kemampuan untuk memiliki perumahan yang sehat dan layak huni seperti luas ruang setiap jiwa, lantai yang masih menggunakan tanah serta letak perumahan yang tidak aman karena berada dilereng-lereng perbukitan. Pembangunan rumah ditinjau terhadap kuantitas rumah dan kualitas rumah yakni dari status kepemilikan rumah, luas rumah, jenis lantai rumah yang dominan maupun fasilitas pendukung lainnya. Data Persentase kuantitas yakni status kemilikan rumah ditunjukan pada Tabel 2.60, sedangkan kualitas menurut fasilitas ditunjukkan pada tabel 2.61. berikut : Tabel 2. 60 Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Status Tempat Tinggal Tahun 2001 – 2006 Status Kepemilikan Tahun 2001 2004 2005 2006 Milik Sendiri % 88.28 88.39 88.00 87.14 Kontrak % 1.73 1.92 1.97 1.94 Sewa % 1.47 1.58 1.69 1.54 Rumah Dinas % 1.83 2.02 1.94 1.56 Bebas Sewa % 1.36 1.58 1.79 1.57 Lainnya % 5.33 4.51 4.61 6.24 Sumber Data: NTT Dalam Angka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 48 - Tabel 2. 61 Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Perumahan yang Dimilikinya Tahun 2000 – 2006 Fasilitas Perumahan Tahun 2000 2006 Atap Layak (%) 60.96 70.63 Dinding Permanen (%) 33.34 38.44 Lantai Bukan Tanah (%) 50.03 52.08 Luas Lantai > 20 m2 (%) 91.60 93.79 Penerangan Listrik (%) 35.45 38.81 Sumber Data: NTT Dalam Angka 2007 Persentase kepemilikan rumah dapat dilihat pada tabel diatas. Status rumah milik sendiri cenderung berkurang pada kurun waktu Tahun 2001 hingga Tahun 2006. Hal tersebut memperlihatkan tingkat pertumbuhan penduduk tidak seimbang dengan tingkat penyediaan rumah milik, sedangkan kualitas rumah ditinjau berdasarkan fasilitas perumahan yang dimiliki. Secara kuantitas persentase kepemilikan fasilitas perumahan, yaitu atap layak, dinding permanent, lantai bukan tanah, luas lantai diatas 20 m2, dan penerangan listrik mengalami peningkatan dari tahun 2000 sampai tahun 2006.. Berdasarkan data-data diatas maka diperlukan kebijakan yang dapat membantu masyarakat dalam penyediaan rumah baik jumlah maupun perumahan yang layak huni. 2.7.3. Pembangunan Permukiman Pembangunan permukiman ditinjau dari aspek ketersediaan sarana dan prasarana permukiman, yaitu air minum dan sanitasi. 2.7.3.1. Pembangunan Air Minum Indikator hasil penyediaan air minum berdasarkan perkembangan persentase rumah tangga pengguna sumber air minum. Perkembangan persentase rumah tangga pengguna sumber air minum dapat dilihat pada Tabel 2.62. Tahun 2006 sumber air minum penduduk didominasi dari mata air, sumur/perigi dan leding. Perkembangan persentase rumah tangga pengguna air dalam kemasan, pompa air, air leding, sumur/perigi menunjukkan pertambahan sejak Tahun 2002 hingga Tahun 2006. Sedangkan persentase rumah tangga pengguna mata air, sungai dan air hujan, serta sumber air lainnya cenderung berkurang. Hal ini memperlihatkan bahwa penggunaan sumber air minum yang berasal dari alam/lingkungan mulai beralih ke sumber air minum buatan. Tabel 2.62 Persentase Rumah Tangga Pengguna Sumber Air Minum Tahun 2002 – 2006 Sumber Air Minum Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 Air Dalam Kemasan 0.060 0.095 0.136 0.770 0.731 Leding 14.850 17.081 18.154 19.530 22.337 Pompa Air 0.656 0.918 0.907 0.450 0.991 Sumur/Perigi 28.417 26.280 28.381 18.280 30.592 Mata Air 46.336 46.880 45.624 21.570 36.878 Sungai 6.068 5.230 4.643 6.830 5.671 Air Hujan 3.029 2.479 1.774 2.910 2.595 Lainnya 0.584 1.038 0.381 29.660 0.205 Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 49 - Dari data pada tabel diatas, menunjukkan bahwa pengunaan air minum masyarakat dari air kemasan leding, pompa dan sumur meningkat dari tahun 2002 sampai 2006, sedangkan penggunaan mata air sungai dan air hujan menurun, kecenderungan tersebut perlu diantisipasi dengan penyediaan sarana dan prasarana terutama fasilitas air minum leding pada pemukiman. 2.7.3.2. Pembangunan Sanitasi Pembangunan sanitasi dapat ditinjau dari keberadaan sarana dasar penampungan limbah rumah tangga, persampahan dan drainase. Persentase rumah tangga yang memiliki sarana sanitasi dasar tiga tahun dari 2004 – 2006 yakni jumlah rumah tangga yang memiliki jamban/ WC mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 jumlah jamban/WC pada Rumah Tangga sebesar 31,26% dan meningkat menjadi 42,45% pada tahun 2006. Sedangkan rumah tangga dengan kepemilikan tempat sampah pada tahun 2004 sebesar 12,39% meningkat menjadi 23,96% pada tahun 2006. Dari data tersebut terlihat bahwa walaupun mengalami peningkatan akan tetapi prosentase jumlah kepemilikan masih rendah yakni kurang dari setengah jumlah rumah belum memiliki jamban/WC. 2.7.4. Pembangunan Sumberdaya Air 2.7.4.1. Pembangunan Irigasi. Pembangunan irigasi di Nusa Tenggara Timur sangat terkait dengan spesifikasi daerah yang berkepulauan dan struktur tanah dan geolegi yang sangat variatif. Dengan konfigari, topografi berbukit dan bergunung penyebaran daerah irigasi bersifat memancar dalam luasan yang kecil dan bersifat tadah hujan. Areal potensial lahan basah untuk pengembangan lahan irigasi seluas 310.093 Ha, dengan tingkat fungsional 40,7 % atau seluas 126.168 Ha. Sebaran dan jumlah daerah irigasi (DI) sebanyak 1.229 Daerah (data tahun 2005) sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut ; Tabel 2. 63 Jumlah Daerah Irigasi Menurut Kewenangan tahun 2005 Kewenangan Jumlah DI Luas Potensial Luas Fungsional ( ha ) ( ha ) Pusat 52 133,929 31,356 Provinsi 36 49,326 27,589 Kabupaten 1,141 126,838 67,223 Total 1,229 310,093 126,168 Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Dengan memperhatikan data pada tabel diatas, Daerah irigasi yang menjadi kewenangan provinsi hanya 2,9 % dari 1.229 daerah irigasi sesuai data 2005 dengan tingkat fungsional 55,6% . Peranan pemerintah provinsi dalam pengembangan dan pembangunan irigasi di NTT sangat diperlukan untuk menunjang perkembangan ekonomi daerah. 2.7.4.2. Sarana Prasarana Sumber daya Air Untuk mengatasi kekurangan air, kekeringan dan konservasi lahan tanah maka pemerintah provinsi NTT mengupayakan Pembangunan jebakan /tampungan air atau disebut embung yang terdiri dari embung kecil, embung irigasi dan waduk untuk menampung air hujan sekaligus sebagai pengendali banjir, peningkatan jumlah air tanah, yang merupakan kebutuhan untuk penyediaan air lahan basah, lahan kering, penduduk kota dan desa. Ketersediaan embung yang dibangun sampai dengan tahun 2005 sebanyak 358 buah embung yang terdiri atas embung kecil sebanyak 334 buah dan embung irigasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 50 - sebanyak 24 buah. Kabupaten Kupang memiliki jumlah embung terbanyak 87 buah, menyusul Kabupaten TTS ada 61 embung dan Kabupaten TTU sebanyak 60 embung. Rincian menurut kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada Tabel 2.64. dibawah ini. Tabel. 2.64 Sebaran Per Kabupaten Pembangunan Embung Kecil dan Embung Irigasi di Propinsi Nusa Tenggara Timur s/d Tahun Anggaran 2005 NO. KABUPATEN EMBUNG KECIL EMBUNG IRIGASI TOTAL APBN APBD BLN JUMLAH APBN/ BLN Jumlah (Buah) Jumlah (Buah) Jumlah (Buah) Jumlah (Buah) Jumlah (Buah) Jumlah (unit) 1 Kota Kupang - 7 1 8 - 8 2 Kupang 76 7 - 83 4 87 3 TTS 45 11 5 61 - 61 4 TTU 49 9 - 58 2 60 5 Belu 26 - - 26 1 27 6 Rote Ndao - - - - 10 10 7 Alor 4 - - 4 2 6 13 Lembata 10 - - 10 - 10 12 Flores Timur 12 - - 12 - 12 9 Sikka 13 - - 13 2 15 8 Ende 12 - - 12 - 12 10 Ngada 18 - - 18 - 18 11 Manggarai 3 - - 3 - 3 12 Mangrai Barat - - - - - - 13 Flores Timur 12 - - 12 - 12 14 Lembata 10 - - 10 - 10 15 Sumba Barat 10 - - 10 1 11 16 Sumba Timur 16 - - 16 2 18 Jumlah 294 34 6 334 24 358 Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Pengembangan pengelolaan air tanah untuk kegiatan pertanian di Provinsi NTT sampai tahun 2005 berjumlah 940 titik, yang terdiri dari sumur bor sebanyak 365 titik, sumur gali sebanyak 84 titik dan sumur patek sebanyak 491 titik. Luas areal lahan potensial yang dapat menggunakan sumber air tanah seluas 74.432 Ha. Pengelolaan sumberdaya air di wilayah Provinsi NTT hampir 95,17% digunakan untuk keperluan irigasi yaitu 1.979.717x10³ m3, sedangkan 100.549,52 x10³ m3 atau 4,83% dimanfaatkan untuk kebutuhan dasar penduduk (minum, mandi dan cuci), perkotaan, perdesaan dan peternakan. Hasil evaluasi menunjukan bahwa kebutuhan air Provinsi NTT sebesar 600 juta m³/bulan, ketersediaan air per bulan hanya mencapai 260 juta m³, sehingga terjadi kekurangan air per bulan 354 juta m³. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 51 - 2.7.5. Pembangunan Pos dan Telekomunikasi Pembangunan Pos dan Telekomunikasi mencakup jangkauan baik pelayanan jasa telekomunikasi ataupun informasi. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk memperlancar pelayanan-pelayanan berkenaan semakin meningkatnya permintaan akan jasa komunikasi. Salah satunya dengan memperbanyak jumlah kantor pos. Tahun 2006 jumlah kantor pos di NTT sebanyak 15 buah, kantor pos tambahan 6 buah, kantor pos pembantu 58 buah dan pos desa 41 buah. Surat yang paling banyak dikirim adalah jenis surat biasa sebanyak 1.790.581 lembar, 1.375.556 lembar surat kilat, dan 100.666 lembar surat tercatat. Kabupaten Rote Ndao adalah daerah yang paling sedikit pelayanan jasa pengiriman surat yaitu sebanyak 18.019 lembar surat untuk semua jenis surat. Tabel 2.65 Jumlah Pelanggan Telepon (PSTN) Pemerintah dan Swasta di setiap Kabupaten 2005-2006 Kabupaten / Kota Pelanggan Pemerintah Pelanggan Swasta Telepon Umum 2005 2006 2005 2006 2005 2006 01 Sumba Barat 299 309 2.203 2.192 49 45 02 Sumba Timur 286 292 1.456 1.445 56 58 03 Kupang - - - - - - 04 TTS 194 196 1.784 1.758 37 30 05 TTU 150 175 994 1.301 20 20 06 Belu 375 398 2.272 2.636 73 57 07 Alor 198 231 637 1.252 37 50 08 Lembata 247 270 433 432 11 13 09 Flores Timur 300 344 1.089 1.757 47 47 10 Sikka 489 455 2.120 2.089 73 77 11 Ende 511 538 2.755 2.714 78 77 12 Ngada 128 186 757 1.411 26 24 13 Manggarai 456 459 1.696 2.287 60 61 14 Manggarai Barat 167 209 581 652 21 23 15 Rote Ndao 27 28 336 342 10 9 16 Kota Kupang 2.348 2.457 17.504 17.438 380 349 Jumlah 6.175 6.547 36.617 39.706 978 941 Sumber Data: Dinas Perhubungan dalam Angka tahun 2007 Dari data diatas menunjukan jumlah pelanggan telepon yang dikelolah PT. Telkom (PSTN) mengalami peningkatan yakni instansi pemerintah sebesar 6 % dan swasta 8 % sementara telepon umum mengalami penurunan sebanyak 3,78%. Peningkatan jumlah pelanggan dan penurunan jumlah telepon umum tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan telekomunikasi saat ini yang sangat pesat dengan berkembangnya telepon seluler baik oleh PT. Telkom maupun penyedia layanan dari operator swasta . 2.7.6. Pembangunan Kelistrikan Pembangunan energi kelistrikan merupakan prasarana yang penting untuk menunjang kegiatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Secara umum ketersediaan tenaga listrik masih dilayani oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara) sementara kebutuhan energi listrik untuk rumah tangga, industri, perkantoran, perhotelan dan lain-lain belum seluruhnya dapat dilayani, hal ini terlihat dari daya yang dibangkitkan dan jumlah pelanggan yang terlayani pada tabel berikut: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 52 - Tabel 2.66 Jumlah daya, pemakaian dan pelanggan PLN tahun 2005 - 2006 URAIAN Tahun 2005 2006 Daya di bangkitkan 291.433.622 Kwh 312.658.557 Kwh Pemakaian 261.536.818 Kwh 282.485.903 Kwh Susut Transmisi 21.396.486 Kwh 23.349.223 Kwh Pelanggan 216.898 221.548 Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Dari data diatas terlihat bahwa penyediaan tenaga listrik di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami peningkatan, namun belum mampu memenuhi kebutuhan yang terus bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk dan jumlah rumah tangga dan lain-lain. Jumlah rumah tangga yang dialiri listrik tahun 2006 sebanyak 362.004 rumah tangga, dimana 336.896 rumah tangga oleh PLN dan 25108 menggunakan aliran listrik non PLN, sedangkan 570.759 (61 %) rumah tangga belum terlayani aliran listrik. Disamping itu banyaknya daya yang mengalami susut transmisi dan distribusi masih sangat tinggi. Hal tersebut perlu mendapat perhatian dengan meningkatkan daya dan mengurangi susut akibat sistem transmisi serta pencarian energi alternatif dengan memanfaatkan potensi daerah. 2.7.7. Sumber Daya Mineral Sumber daya mineral logam yang telah diketahui potensinya antara lain : tembaga, mangan dan besi. sedangkan timbal, emas, seng, perak, nikel dan timbah hanya merupakan indikasi dan sebagai mineral ikutan. Potensi sumberdaya yang telah diketahui dan terindikasi secara keseluruhan terlihat pada tabel berikut. Tabel 2.67 Potensi Sumberdaya Mineral Logam Provinsi NTT Komoditi Sumberdaya ( ton ) Keterangan Besi 676.000 Mengandung Mangan Pasir Besi 100.175.359 Plaser Tembaga 48.000 Kadar Cu = 4,7%. Mangan 330.063 Plaser dan sedimenter Timbal, emas Indikasi tipe urat Nikel Indikasi laterisasi Timah Indikasi Plaser Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 53 - Tabel 2. 68 Potensi Sumberdaya Mineral Industri Provinsi NTT Komoditi Sumberdaya ( ton ) Komoditi Sumberdaya ( ton ) Batu Gamping 25.061.000.000 Tanah Urug 2.340.000 Toseki 29.120.000 Granit 284.297.000 Andesit 12.691.250.000 Zeolit 6.167.160 Sirtu 7.598.100 Batu Silika 210 Gipsum 2.006.250 Tras 4.637.725 Kaolin 26.150.000 Fosfat 165.600.000 Pasir Kwarsa 92.016.250 Marmer 1.464.100.000 Lempung 1.360.101.000 Dolomit 165.894.320 Batu Hias 20.000 Bentonit 27.582 Batuapung 383.000 Perlit 46.000.000 Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Berdasarkan data pada tabel diatas, maka potensi tersebut perlu ditindak lanjuti dengan penelitian dan pengembangan untuk kesejahteraan masyarakat, seperti pemetaan dan digitasi serta peningkatan status indikasi dengan penyedian sarana dan prasarana pertambangan 2.7.8. Pembangunan Meteorologi dan Klimatologi Pelayanan informasi iklim dan cuaca bagi kehidupan dan pembangunan menunjukan kemajuan. Dengan situasi dan kondisi geografis informasi klimat dan cuaca telah diimbangi dengan persebaran sarana stasiun/pos meteorologi dan klimatologi di 20 wilayah kabupaten kota se provinsi NTT yang ditunjukkan pada tabel berikut. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 54 - Tabel 2.69 POS/STASIUN PRAKIRAN CUACA DI WILAYAH PROV. NTT NO. KOTA / KABUPATEN JUMLAH NAMA STASIUN/POS 1 KOTA KUPANG 2 LASIANA , PENFUI 2 KAB. KUPANG 6 NAIBONAT, OEKABITI, CAMPLONG ,LELOGAMA NAIKLIU ,SABU 3 ROTE NDAO 6 BA'A, OLAFULIHAA ,PAPELA, BUSALANGGA, DAHEHOLU, BATUTUA, 4 TIMOR TENGAH 9 SOE, OELBUBUK, PANITE, OEBELO ,NULE, NIKI‐NIKI ,OINLASI ,OE'EKAM ,AYOTUPAS 5 TIMOR TENGAH 8 KEFAMENANU, OENENU, EBAN, SAP'AN ,LURASIK, KAUBELE ,WINI, PONU. 6 BELU 8 ATAMBUA ,NENUK, WEDOMU, BOAS, BETUN , WEMASA ,BIUDUKFOHO, BESIKAMA 7 ALOR 5 KALABAHI ,MORU, APUI, MARATAING ,KABIR 8 LEMBATA 5 LEWOLEBA ,WAIPUKANG ,HADAKEWA, KALIKASA ,WAIRIANG 9 FLORES TIMUR 7 LARANTUKA ,WAIKLIBANG ,BORU ,MENANGA ,RITAEBANG, WAIWERANG, WAIWADAN. 10 SIKKA 7 MAUMERE ,LEDALERO ,PAGA, MAGEPANDA, LELA HABIWETAK ,OGOLIDI. 11 ENDE 6 PAUPANDA ,WATUNESO ,BOKASAPE ,DETUSOKO, NANGANIO ,WARUKASU. 12 NAGEKEO 3 MAUPONGGO, DANGA, BOAWAE 13 NGADA 5 BAJAWA ,MATALOKO ,WAEPENA, AIMERE, RIUNG 14 MANGGARAI 5 RUTENG, REO ,ITENG, PAGAL ,MANO, 15 MANGGARAI TIMUR 4 LENGKO ELAR, BENTENG JAWA ,MANO, BORONG 16 MANGGARAI BARAT 4 LABUAN BAJO ,WERANG, RANGGU ,COMPANG 17 SUMBA BARAT 3 WAIKABUBAK, BARABEDANG, KABUKARUDI 18 SUMBA BARAT DAYA 3 WAITABULA ,KARUNI, WAIMANGURA 19 SUMBA TENGAH 2 LENDIWACU, WAIMAMONGU 20 SUMBA TIMUR 8 WAINGAPU ,MELOLO ,NGALIU, KANANGGAR, MALAHAR ,LINDIWATU ,LAMBANAPU, NGGONGI TOTAL 106 Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Bantuan informasi dan analisis cuaca telah dirasakan manfaatnya bagi aktivitas lalulintas pelayaran dan udara, pengurangan resiko usaha pertanian dan yang terutama terhadap aspek korban bencana alam, berupa pengurangan resiko kecelakaan lalu lintas udara dan pelayaran. Namun mengingat luasnya wilayah dan persebaran daerah kepulauan maka kebutuhan akan sarana pos dan stasiun masih diperlukan sehingga dapat memberikan pantauan febnomena alam yang unik akibat posisi transisi dan posisi silang dua benua dan lautan dari propinsi NTT. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 55 - 2.8. Tataruang dan Lingkungan Hidup Informasi iklim dan cuaca sangat vital bagi kehidupan dan pembangunan. Dalam bidang pertanian, informasi iklim dan cuaca yang handal memungkinkan penentuan waktu tanam dan panen yang tepat bagi tanaman pertanian. Dalam bidang perhubungan, informasi ini juga penting pengaturan lalulintas penerbangan dan pelayaran, ntuk menghindarkan kecelakaan transportasi. Dan dalam banyak hal, informasi iklim dan cuaca membantu manusia dalam mengantisipasi berbagai bencana alam yang berhubungan dengan cuaca. Oleh karena itu, pembangunan sistem informasi cuaca menjadi sangat penting dalam pembangunan. Sistem informasi cuaca/iklim meliputi komponen-komponen perangkat keras dan perangkat lunak. Komponen perangkat keras dimaksud meliputi infrakstruktur pengamat cuaca, berupa stasiun-stasiun pengamat cuaca, yang dilengkapi peralatan dan teknologi yang memadai. Oleh karena keragaman iklim antar wilayah di provinsi NTT sangat tinggi, maka pembangunan stasiun pengamat cuaca hendaknya disesuaikan dengan sebaran wilayah dengan iklim/cuaca yang berbeda. Komponen perangkat lunak meliputi sumberdaya manusia di bidang cuaca/iklim dan teknologi analisis data iklim/cuaca untuk kepentingan pembangunan. Berdasarkan analisis kondisi eksisting, capaian pembangunan dalam bidang meteorologi dan klimatologi belum optimal. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh jumlah stasiun pengamat cuaca yang tersedia, data iklim wilayah yang belum memadai, dan tingkat akurasi prediksi kondisi cuaca wilayah yang juga belum memadai. Pada saat ini, di seluruh wilayah provinsi NTT terdapat cukup banyak stasiun pengamat cuaca (Tabel 2.70), tetapi banyak di antaranya yang sudah tidak berfungsi. Kontinuitas pencatatan dan pelaporan juga terhambat oleh keterbatasan petugas pencatat. Tabel 2.70 Pos/stasiun prakiran cuaca di wilayah Provinsi NTT KOTA / KABUPATEN NAMA STASIUN/POS KOTA KUPANG (2) LASIANA , PENFUI KAB. KUPANG (6) NAIBONAT, OEKABITI, CAMPLONG ,LELOGAMA NAIKLIU ,SABU ROTE NDAO (6) BA'A, OLAFULIHAA ,PAPELA, BUSALANGGA, DAHEHOLU, BATUTUA, TIMOR TENGAH SELATAN (9) SOE, OELBUBUK, PANITE, OEBELO ,NULE, NIKINIKI ,OINLASI ,OE'EKAM ,AYOTUPAS TIMOR TENGAH UTARA (8) KEFAMENANU, OENENU, EBAN, SAP'AN ,LURASIK, KAUBELE ,WINI, PONU. BELU (8) ATAMBUA ,NENUK, WEDOMU, BOAS, BETUN , WEMASA ,BIUDUKFOHO, BESIKAMA ALOR (5) KALABAHI ,MORU, APUI, MARATAING ,KABIR LEMBATA (5) LEWOLEBA ,WAIPUKANG ,HADAKEWA, KALIKASA ,WAIRIANG FLORES TIMUR (7) LARANTUKA ,WAIKLIBANG ,BORU ,MENANGA ,RITAEBANG, WAIWERANG, WAIWADAN. SIKKA (7) MAUMERE ,LEDALERO ,PAGA, MAGEPANDA, LELA HABIWETAK ,OGOLIDI. ENDE (6) PAUPANDA ,WATUNESO ,BOKASAPE ,DETUSOKO, NANGANIO ,WARUKASU. NAGEKEO (3) MAUPONGGO, DANGA, BOAWAE NGADA (5) BAJAWA ,MATALOKO ,WAEPENA, AIMERE, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 56 - KOTA / KABUPATEN NAMA STASIUN/POS RIUNG MANGGARAI (5) RUTENG, REO ,ITENG, PAGAL ,MANO, MANGGARAI TIMUR(4) LENGKO ELAR, BENTENG JAWA ,MANO, BORONG MANGGARAI BARAT(4) LABUAN BAJO ,WERANG, RANGGU ,COMPANG SUMBA BARAT(3) WAIKABUBAK, BARABEDANG, KABUKARUDI SUMBA BARAT DAYA(3) WAITABULA ,KARUNI, WAIMANGURA SUMBA TENGAH(2) LENDIWACU, WAIMAMONGU SUMBA TIMUR (8) WAINGAPU ,MELOLO ,NGALIU, KANANGGAR, MALAHAR ,LINDIWATU ,LAMBANAPU, NGGONGI Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 2.8.1.1. Pola Pemanfaatan Ruang Pola pemanfaatan ruang yang terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budi daya, yang ditinjau berdasarkan lahan pengairan dan lahan bukan sawah dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel : 2.71 Persentase Perkembangan Luas Lahan Pengairan dan Lahan Bukan Sawah Tahun 2004 – 2006 JENIS LAHAN % DARI LUAS LAHAN 2,004 2,005 2,006 Irigasi teknis 0.309 0.297 0.340 Irigasi setengah teknis 0.817 0.565 0.852 Irigasi sederhana/desa 0.801 1.231 1.304 Tadah hujan 1.225 1.526 1.114 Irigasi pasang surut 0.000 0.000 0.000 Irigasi lainnya 0.541 0.006 0.007 Pekarangan untuk bangunan dan halaman sekitarnya 4.181 4.255 4.530 Lahan tegal / kebun 8.618 8.852 11.038 Lahan ladang / huma 6.208 6.726 7.031 Lahan penggembalaan/ padang rumput 17.266 19.064 14.951 Rawa-rawa yang tidak ditanami padi 0.059 0.245 0.251 Tambak coastal 0.039 0.030 0.032 Kolam tebat/ empang 0.028 0.026 0.037 Lahan sementara tidak diusahakan 16.455 15.507 16.661 Perkebunan 7.379 7.510 7.045 Hutan negara 12.217 10.519 13.523 Hutan rakyat 8.797 7.849 10.352 Tanah kering lainnya 15.061 15.791 10.932 Sumber: Provinsi NTT Dalam Angka Tahun 2007 Kawasan budidaya adalah jenis lahan irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana/ desa, irigasi tadah hujan, irigasi pasang surut, irigasi lainnya, pekarangan untuk bangunan dan halaman sekitarnya, lahan tegal/ kebun, lahan ladang/ huma, lahan penggembalaan/ padang rumput, tambak coastal, kolam tebat/ empang, perkebunan dan lahan sementara tidak diusahakan, yang perentase luasannya 64,94% pada Tahun 2006. Sedangkan lahan lainnya termasuk dalam kawasan lindung, yang memiliki luas 35,06%. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 57 - Pemanfaatan jenis lahan yang berada diatas 10% dari total luas wilayah adalah untuk lahan sementara yang tidak diusahakan (16,661%), lahan penggembalaan/ padang rumput (14,951%), lahan hutan Negara (13,523%), lahan tegal/ kebun (11,038%), tanah kering lainnya (10,932%) dan hutan rakyat (10,352%). Perubahan jenis lahan dari Tahun 2004 – 2006 yang berada diatas 1% dari total luas wilayah adalah tanah kering lainnya yang berkurang sebanyak 4,130%, lahan penggembalaan/ padang rumput yang berkurang sebanyak 2,315%, lahan tegal/ kebun yang bertambah sebanyak 2,420%, hutan rakyat yang bertambah sebanyak 1,555% dan hutan negara yang bertambah sebanyak 1,306%. 2.8.2. Lingkungan Hidup. Luas lahan kritis di Provinsi NTT cenderung terus meningkat setiap tahun dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan dengan usaha perbaikan kondisi lahan terdegradasi. Sampai dengan saat ini luas lahan yang kritis sebanyak 2.109.496,77 Ha yang terdiri dari lahan kritis dalam kawasan hutan sebanyak 661.680,74 Ha atau 31,37% dari luas lahan yang kritis dan lahan kritis di luar kawasan hutan sebanyak 1.447.816,02 atau 68,63% dari luas lahan yang kritis. Berdasarkan luas kawasan hutan (1.876.729,33 Ha), maka terdapat 35 % dari luas lahan dalam kawasan hutan yang mengalami kritis dan 1.213.648,59 Ha tergolong tidak kritis (65 % dari luasan lahan dalam kawasan hutan). Hasil perhitungan beberapa parameter pendugaan erosi seperti faktor erosivitas hujan (R), faktor erodibilitas tanah (K), faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) dan faktor pengelolaan lahan (CP) tiap-tiap kabupaten di NTT pada tahun 2006 menunjukkan hasil sebagai berikut : erosi sangat ringan 1.919.280 Ha (40,85 %), erosi ringan seluas 5.209 Ha (0,11 %), erosi sedang 1.898.964 Ha (39,78 %), erosi berat 901.709 Ha (19,19 %) dan erosi sangat berat 2.205 Ha (0,04 %). Kawasan konservasi di Provinsi NTT tersebar di 20 Kabupaten/Kota yang terdiri atas kawasan taman nasional, kawasan cagar alam, kawasan suaka margasatwa dan kawasan taman. Gambaran lebih jelas tentang kawasan konservasi dapat dilihat pada Tabel 2.72. berikut : Tabel 2.72 Jenis dan Luas Kawasan Konservasi di Provinsi NTT Jenis Nama Lokasi Luas (Ha) Wilayah Kabupaten Taman Nasional Komodo 2.321 Km2 Manggarai Barat Kelimutu 5.340 Ende Lawanggi-Wanggameti 42.567,59 Sumba Barat Daya Manupeu-Tanadaru ND Sumba Barat Cagar Alam Maubesi 3.246 Belu Guning Mutis 12.000 TTS Watuata 4.898,8 Ngada Wolo Tadho 4.016,8 Ngada Laut 17 Pulau Riung 2.000 Ngada Kimang Boleng I 250 Ende Kimang Boleng II 455 Ende Waewuul 1.484,44 Manggarai Barat Suaka Margasatwa Harlu 2.000 Rote Ndao Kateri 3.299,2 Belu Ale Aisio 5.918 TTS Taman Buru Dataran Bena 11.000 TTS Hutan Rakyat Prof. Herman Yohanes 1.900 Kupang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 58 - Jenis Nama Lokasi Luas (Ha) Wilayah Kabupaten Wisata Alam Camplong 696.6 Kupang Wisata Alam Menipo 2.499,5 Kupang Wisata Tuti Adagae 5.537,88 Alor Wisata Pulau Batang 550 Alor Wisata Laut Pulau Rusa 550 Alor Wisata Kimang Boleng 250 Ende Wisata Baumata 87 Kota Kupang Laut Teluk Maumere 62.450 Sikka Wisata Laut Teluk Kupang 50.000 Kupang dan Kota Kupang Buru Pulau Ndana 1.562 Rote Ndao Sumber : Balai Konservasi SDA NTT, 2005 . 2.9. Kondisi Perempuan, Anak dan Remaja 2.9.1.Situasi Perempuan Dalam bidang politik, keterlibatan kaum perempuan pada sektor ini terlihat pada hasil pemilu tahun 2004, jumlah anggota DPRD Provinsi NTT perempuan sebanyak 6 orang (10,9% dari 55 anggota DPRD Provinsi NTT) yakni dari partai Golkar sebanyak 3 orang, PDIP sebanyak 1 orang, PDS sebanyak 1 orang dan PPDI sebanyak 1 orang. Keberadaan perempuan di lembaga legislatif belum memenuhi harapan sesuai tuntutan regulasi yang mengharuskan 30% perempuan. Oleh karena itu, pola rekruitmen dan kaderisasi perampuan belum banyak dilakukan oleh partai politik. Keterlibatan kaum perempuan pada birokrasi pemerintah menunjukkan bahwa sampai dengan maret 2007, jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon di lingkup pemerintah Provinsi NTT sebanyak 246 orang (25,67% dari 958 PNS yang menduduki jabatan eselon) yang terdiri dari eselon IV sebanyak 205 orang, eselon III sebanyak 35 orang dan eselon II sebanyak 6 orang. Kondisi tersebut di atas memberikan indikasi bahwa distribusi jabatan dalam birokrasi mempunyai trend naik untuk mencapai angka 30% sesuai tuntutan regulasi pada tahun-tahun mendatang. Kondisi perempuan dalam lingkup birokrasi sesuai data di atas tentunya menjadi hal yang menggembirakan bagi kaum perempuan, namun di sektor publik yang lain justru posisi perempuan belum menguntungkan. Di sektor penegak hukum, data tahun 2005 menunjukan bahwa, jumlah hakim laki-laki sebanyak 88,6%, sedangkan jumlah jaksa perempuan sebanyak 11,4%. Jumlah polisi laki-laki di NTT lebih besar, yakni 98,1% sedangkan perempuan hanya 1,9%, begitu juga penyidik lebih banyak didominasi oleh laki-laki 95,4% dan perempuan 4,6%. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sektor pekerjaan yang membutuhkan kualifikasi khusus lebih diminati oleh laki-laki ketimbang perempuan. Menurut lapangan pekerjaan utama, jumlah perempuan 15 tahun ke atas yang bekerja pada tahun 2005 sebanyak 903.247 orang (44,31% dari 2.038.575 orang). Perempuan yang bekerja pada sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan sebanyak 705.976 orang, yang bekerja di sektor pertambangan dan penggalian sebanyak 14.138 orang, yang bekerja di sektor industri pengolahan sebanyak 93.270 orang, yang bekerja di sektor perdagangan besar dan eceran serta rumah makan sebanyak 41.803, yang bekerja pada sektor angkutan, pergudangan dan komunikasi sebanyak 3.149 orang, yang bekerja di sektor keuangan, asuransi, usaha persewaan dan bangunan sebanyak 5.053 orang dan yang bekerja di sektor jasa kemasyarakatan sebanyak 39.876 orang. Dengan demikian, sektor tradisional lebih banyak diisi oleh perempuan dibandingkan dengan sektor formal. Berdasarkan tingkat pendidikan perempuan yang berumur 15 tahun ke atas yang sedang bekerja dapat diketahui bahwa dari 903.247 tenaga kerja perempuan yang ada pada tahun 2005, yang tidak/belum pernah sekolah sebanyak 79.583 orang (8,81%), yang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 59 - tidak/belum tamat SD sebanyak 182.043 orang (20,15%), tamat SD sebanyak 473.408 orang (52,41%), tamat SLTP/MTs/Sederajad sebanyak 91.138 orang (10,09%), tamat SMA sebanyak 38.417 orang (4,25%), tamat SMK/Kejuruan sebanyak 19.823 orang (2,19%) dan tamat Diploma/Universitas sebanyak 18.835 orang (2,08%). Pada tahun 2005 pengangguran terbuka sebanyak 5,46% yang terdiri dari Laki-laki sebanyak 3,57% dan kaum perempuan sebanyak 1,89%. Angka pengangguran pada tahun 2006 sebanyak 3,65% yang terdiri dari kaum laki-laki sebanyak 2,92% dan kaum perempuan sebanyak 0,73%. Pada tahun 2007 angka pengangguran terbuka sebanyak 3,72% yang terdiri dari kam laki-laki sebanyak 2,33% dan kaum perempuan sebanyak 1,39%. Jumlah pencari kerja perempuan sesuai klasifikasi pendidikan yang terdaftar di lingkungan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT sampai dengan bulan Maret 2008 tercatat terbesar pada jenjang pendidikan SD sebesar 8,25% dibandingkan dengan laki-laki sebesar 7,62%. Ini berarti bahwa 0,65% lebih besar dari kaum laki-laki. Selanjutnya, untuk jenjang pendidikan SLTP tercatat kaum perempuan sebesar 4,86% sedangkan lakilaki sebesar 4,64% atau 0,22% lebih besar dari kaum laki-laki. Selain itu, pada jenjang pendidikan D1 / D2 tercatat kaum perempuan sebesar 86,64 persen sedangkan laki-laki hanya mencapai 46,42 persen atau selisih 40,42% lebih besar dari laki-laki serta jenjang pendidikan D3/AK/SM tercatat kaum perempuan sebesar 18,93% sedangkan laki-laki hanya mencapai 15,92% atau selisih 3,01% lebih besar dari laki-laki. Kualifikasi pendidikan dan lapangan kerja tersebut di atas memperlihatkan rendahnya tingkat pendidikan perempuan dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi sehingga berdampak pada akses mereka terhadap jenis pekerjaan. Kasus kekerasan terhadap perempuan selama periode 2003 – 2005 sebanyak 1.307 kasus. Berdasarkan jenis kekerasannya, kekerasan penganiayaan menempati urutan pertama yakni sebanyak 341 kasus. Menyusul kasus perkosaan sebanyak 291 kasus, kasus kekerasan di dalam rumah tangga 274 kasus dan kasus percabulan sebanyak 186 kasus. Kasus kekerasan lainnya sebanyak 215 kasus. Pada tahun 2006, kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat yakni sebanyak 1.613 kasus. Gambaran faktual tersebut di atas menunjukkan perempuan masih menjadi obyek kekerasan dan wilayah hukum belum benar-benar memberikan perlindungan terhadap perempuan. Kasus trafficking terhadap perempuan di Provinsi NTT dari tahun ke tahun masih terus terjadi. Pada tahun 2004 jumlah kasus trafiking sebanyak 72 kasus. Pada tahun 2005 telah terjadi 63 kasus. Tahun 2006, terdapat 12 kasus dan pada tahun 2007 kasus traffiking bertambah menjadi 566 kasus. Eksploitasi terhadap perempuan masih menjadi trend, sehingga penegakan hukum terhadap praktek-praktek seperti itu belum maksimal dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam mencegah terjadinya kasus trafiking. Selain itu, wanita rawan sosial ekonomi menurut data tahun 2005 tercatat sebanyak 149.461 orang dan pada tahun 2007 turun menjadi 65.685 orang atau mengalami penurunan sebanyak 83.776 orang. Kondisi ini dapat ditemui kasusnya tertinggi di Kabupaten Kupang dan terendah di Kabupaten Rote Ndao. Trend penurunan yang signifikan tersebut terus diupayakan secara optimal. Selain permasalahan pembangunan dibidang pemberdayaan perempuan tersebut diatas Indeks Pembangunan Gender (IPG) menunjukan adanya perbaikan terhadap pembangunan dibidang pemberdayaan perempuan. Tahun 2005 IPG Provinsi NTT sebesar 59,6% berada pada peringkat 20 tingkat nasional. Angka ini meningkat menjadi 61,3% atau peringkat ke 17 nasional pada tahun 2006. Rincian IPG menurut kabupaten/kota tahun 2006 sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 60 - Tabel. 2.73 Indeks Pembangunan Gender (IPG) Provinsi NTT Tahun 2006 No Provinsi/ Kab./Kota Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rata-rata Lama Sekolah % Angkatan Kerja IPG Peringkat L P L P L P L P (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 1 Sumba Barat 61,9 65,7 78,0 70,9 5,9 4,7 54,69 45,31 58,0 295 2 Sumba Barat 59,5 63,3 86,3 78,2 5,8 5,3 58,70 41,30 59,8 252 3 Kupang 62,7 66,6 86,9 81,9 6,1 5,8 65,52 34,48 60,2 240 4 Timor Tengah Selatan 64,4 68,3 83,8 78,6 6,3 5,4 65,29 34,71 52,3 417 5 Timor Tengah Utara 65,0 68,9 81,0 77,4 6,2 5,4 56,05 43,95 60,1 241 6 Belu 62,7 66,6 81,8 77,2 6,2 5,7 62,25 37,75 58,3 289 7 Alor 63,7 67,6 95,9 88,6 7,8 7,0 58,49 41,51 64,4 133 8 Lembata 64,2 68,1 93,5 87,2 7,0 5,8 53,29 46,71 63,2 164 9 Flores Timur 65,0 68,9 88,2 79,0 7,0 6,0 57,06 42,94 63,9 144 10 Sikka 65,9 69,8 90,7 89,5 6,3 5,7 55,88 44,12 57,9 302 11 Ende 62,1 66,0 94,9 90,4 7,2 6,3 49,46 50,54 64,0 142 12 Ngada 64,8 68,4 96,8 92,3 6,7 6,4 54,12 45,88 66,0 99 13 Manggarai 64,6 68,5 94,6 88,2 7,2 6,0 54,22 45,78 63,5 153 14 Rate Ndao 64,5 68,4 89,4 85,6 6,5 5,8 58,44 41,56 60,4 231 15 Manggarai Barat 63,7 67,6 92,1 86,2 6,5 6,2 57,26 42,74 60,0 248 16 Sumba Barat Daya 60,8 64,5 76,9 69,9 5,6 4,6 55,31 44,69 57,4 320 17 Sumba Tengah 60,3 64,0 76,6 69,7 5,4 4,5 55,51 44,49 57,9 301 18 Nagekeo 61,2 64,9 95,4 90,9 6,6 6,1 54,74 45,26 62,3 187 19 Kota Kupang 69,2 73,1 98,6 96,8 10,8 9,9 60,43 39,57 71,0 20 Nusa Tenggara Timur 63,5 67,4 87,8 83,0 6,8 6,0 57,87 42,13 61,3 17 Sumber: Indeks Pembangunan Gender Nasional 2006. 2.9.2. Kondisi Anak Kasus kekerasan terhadap anak selama tahun 2003-2005 menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kasus kekerasan terhadap anak laki-laki. Menurut jenisnya kasus kekerasan dalam rumah tangga selama tahun 2003 – 2005 tercatat sebanyak 37 kasus. Dari kasus tersebut yang dialami oleh kaum perempuan sebanyak 26 kasus (70,3%) dan laki-laki sebanyak 11 kasus (29,7%). Kasus perkosaan terhadap anak perempuan selama 2003 – 2005 sebanyak 203 kasus. Kasus penganiayaan terhadap anak perempuan sebanyak 44 kasus (55,7%) dan anak lakilaki sebanyak 35 kasus (44,3%). Kasus percabulan terhadap anak perempuan sebanyak 188 kasus (93,5%) dan anak laki-laki sebanyak 13 kasus (6,5%). Kasus kekerasan lainnya tercatat sebanyak 83 kasus, perempuan sebanyak 52 kasus (62,7%) dan laki-laki sebanyak 31 kasus (37,3%). Pada tahun tahun 2006, kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan yakni 624 kasus. Permasalahan sosial anak di NTT selain kasus kekerasan, masalah anak jalanan menjadi persoalan krusial. Data tahun 2005 memperlihatkan jumlah anak jalanan sebanyak 104.658, namun demikian jumlah ini mengalami penurunan sebesar 15.864, sehingga pada tahun 2007 jumlah anak jalan sebanyak 88.794. Dengan demikian, perlindungan terhadap anak masih lemah, begitu juga perhatian anak jalanan maupun pekerja anak perlu mendapatkan perhatian yang serius. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 61 - 2.9.3. Pemuda Data kependudukan memperlihatkan kelompok umur produktif menempati komposisi yang cukup besar dari total penduduk NTT. Dengan demikian, kelompok pemuda ada dalam komposisi tersebut, sehingga harus dilihat sebagai modal pembangunan. Dalam hubungan ini, peranserta pemuda dalam pembangunan termanifestasi melalui organisasi kepemudaan dalam rangka pengembangan potensi diri di kalangan pemuda. Kiprah pemuda melalui organisasi kepemudaan berupa KNPI, HMI, PMKRI, GMKI, GMNI, Pemuda Muhammadiyah, IMM, Karang Taruna, AMPI, Pemuda GMIT, Mudika, dan lain-lain. Dalam tataran lokal maupun nasional, pemuda NTT cukup memberikan warna yang positif dalam pembangunan. Dibidang olah raga misalnya pemuda provinsi NTT telah banyak memberikan prestasi yang cukup menggembirakan terutama dicabang olah raga tinju, atletik, kempo, pencak silat dan angkat berat. Selain prestasi yang telah dicapai tersebut masih terdapat sejumlah permasalahan sosial yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah, misalnya kasus HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terus mengalami peningkatan sejak tahun 2004 – 2007. Pada tahun 2004 terdapat 15 kasus HIV/AIDS dan yang ditangani sebanyak 15 kasus. Pada tahun 2005 terdapat 110 kasus dan yang ditangani sebanyak 107 kasus (97,30%). Pada tahun 2006 terdapat 123 kasus dan yang ditangani sebanyak 123 kasus. Pada tahun 2007 tedapat 317 kasus dan yang baru ditangani sebanyak 156 kasus (49,21%). Berdasarkan kelompok umur, jumlah pengidap HIV/AID’s terbanyak terdapat pada kelompok umur produktif yakni umur 25 – 39 tahun. Umur 25 – 29 tahun sebanyak 15%, umur 30 – 34 sebanyak 23% dan umur 35 – 39 sebanyak 37%. Ini berarti, bahwa pemuda sangat rentan terhadap penyebaran virus HIV. 2.10. Administrasi, Pemerintahan , Politik, Hukum dan HAM 2.10.1. Wilayah Administrasi Perkembangan wilayah administrasi menunjukan perubahan signifikan yaitu dari 16 Kabupaten/Kota Tahun 2003 menjadi 20 kabupaten/kota pada tahun 2007, demikian juga pada satuan administrasi kecamatan meningkat dari 192 kecamatan tahun 2003 menjadi 271 kecamatan pada tahun 2007, sedangkan untuk satuan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan meningkat dari 2.531 di tahun 2003 menjadi 2.836 desa/kelurahan di tahun 2008. Satuan pemerintahan ini melayani penduduk NTT sebanyak 4.355.121 jiwa (tahun 2007) yang menempati ruang pada 566 pulau besar dan kecil pulau tersebar. (Yaitu 42 pulau dihuni/bernama dan 524 pulau tidak / belum bernama). 2.10.2. Pemerintahan Daerah 2.10.2.1. Kelembagaan Pengembangan paradigma pemerintahan daerah sesuai amanat Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan yang mendasar dalam sistem kewenangan dan dengan sendirinya berakibat pula terhadap seluruh sistem pemerintahan daerah. Artinya perlu adanya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah secara keseluruhan mulai dari aspek kelembagaan, kepegawaian, sarana dan prasarana, pemerintahan daerah, kecamatan sampai pada Kelurahan/Desa. Di dalamnya termasuk alokasi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Pembenahan kembali struktur dan fungsi pemerintahan daerah juga dipengaruhi oleh unsurunsur global; seperti nilai-nilai dan gagasan-gagasan etis yang universal, wawasan nasional. Pada tataran ini terjadi benturan budaya antara budaya nasionalisme dan budaya cara hidup global (John Nasbitt dan Patricia Aburdini, Megatrend 2000). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 62 - Dalam kondisi seperti ini, pemerintah daerah dituntut untuk melakukan penataan kembali struktur dan fungsinya sesuai dengan aspirasi yang berkembang pada saat ini, baik dari segi kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia, keuangan, sarana dan prasarana. Pembenahan struktur ini juga harus memperhitungkan tuntutan global yang sedang bergelinding, yaitu perspektif good governance. Persoalan yang muncul adalah bagaimanakah menjelmakan good governance dalam pembenahan struktur kelembagaan dan aparatur Pemerintah Propinsi NTT, sehingga dapat menjawab tuntutan reformasi birokrasi pemerintahan dan meningkatkan efisiensi pelayanan publik di NTT. Berdasarkan konstelasi perubahan organisasi pemerintahan daerah, keadaan organisasi pemerintahan daerah Provinsi NTT dapat dikatakan berada dalam ”tahap transisional”, dimana keberadaan pola organisasi masih bersumber pada kewenangan provinsi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom dan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Padahal perkembangan terakhir pola organisasi perlu menyesuaikan dengan postur organisasi perangkat daerah sesuai Peraturan Pemerintah Nomor. 8 Tahun 2003 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Karena itu, bentuk dan susunan organisasi perangkat daerah pemerintah Provinsi NTT saat ini belum mengikuti perkembangan terakhir dan masih berjangkar pada kewenangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 25 Tahun 2000 versi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, yaitu: kewenangan bersifat lintas kabupaten; kewenangan bidang tertentu yang berjumlah delapan (8) kewenangan dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/ kota. Dari kewenangan yang diturunkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor. 25 Tahun 2000, kemudian dijabarkan dalam 108 sub-kewenangan dan 667 jenis urusan. Masingmasing SKPD kemudian dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) dengan luasan organisasinya antara lain dua sekretariat, 4 asisten, 13 Biro, 17 Dinas, 13 Badan, 2 kantor, 38 UPTD dan RSUD Prof. DR. W. Z. Yohanes Kupang. Jumlah Jabatan seluruh Perangkat Daerah, sebagai berikut Eselon I-b sebanyak 1 Jabatan, Eselon II-a sebanyak 34 jabatan, Eselon II-b sebanyak 14 jabatan, Eselon III-a sebanyak 259 jabatan, Eselon III-b 5 jabatan, Eselon IV-a sebanyak 884 jabatan dan Eselon IV-b sebanyak 15 jabatan. Kelembagaan organisasi pemerintahan yang baik sebetulnya tergambar dari struktur organisasinya yang ”miskin struktur namun kaya fungsi”. Struktur organisasi sebagaimana tersebut, jika diperbandingkan dengan kondisi jumlah PNS pada level Provinsi NTT sebanyak 6.226 orang dan jumlah jabatan struktural sebanyak 1.212, menunjukan bahwa struktur organisasi pemerintah Provinsi NTT masih mempunyai struktur yang cukup besar. Untuk meningkatkan kinerja organisasi pemerintah provinsi NTT, maka sedang dilakukan penataan berdasarkan arahan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pembangunan pemerintahan berkaitan dengan upaya konsolidasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang paling menonjol sepanjang 2004-2008 adalah penataan daerah otonom baru (desentralisasi politik) dan peningkatan kemampuan fiskal daerah (desentralisasi fiskal). Sepanjang 2000 -2008 di NTT terjadi dua gelombang pemekaran daerah, yaitu Gelombang Pertama (Kabupaten Lembata, Rote Ndao dan Lembata); Gelombang Kedua terjadi penetapan (Kabupaten Sumba Barat Daya melalui UU No. 16 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Sumba Barat Daya di Provinsi NTT; Kabupaten Sumba Tengah melalui UU No.36 tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Sumba Tengah di Provinsi NTT; Kabupaten Nagekeo melalui UU No. 2 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Nagekeo di Provinsi NTT dan Kabupaten Manggarai Timur melalui UU No. 36 Tahun 2007 tanggal 10 Agustus 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur di Provinsi NTT). Menyusul beberapa usulan pemekaran yang telah diajukan, antara lain pemekaran Kabupaten Sabu yang telah sampai pembahasannya di Depdagri dan DPR serta pemekaran Kabupaten Belu dan Sikka menjadi Kota Madya. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 63 - Spirit pemekaran daerah yang demikian menggelora tidak ditunjang dengan penguatan kelembagaan, kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana, pemerintahan daerah. Demikian pula dengan pembenahan terhadap aspek perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Persoalan tersebut berkonsekuensi terhadap otonomi daerah yang diterima sebagai rakhmat bagi daerah, berubah menjadi racun yang membahayakan masyarakat. Indikasi yang terlihat antara lain : Pertama, bergesernya egoisme sektoral menjadi fanatisme daerah. Egoisme sektoral terjadi karena pembangunan bertumpu pada asas dekonsentrasi dan bersifat sektoral. Pasca otonomi daerah, banyak Bupati/Walikota seolah-olah menjadi “raja-raja kecil”, yang bebas dari intervensi pemerintah pusat maupun propinsi. Berakibat fanatisme daerah mencuat ke permukaan. Isu putra daerah muncul dalam setiap pemilihan kepala daerah. Demikian juga isu asset daerah merupakan politik baru dalam meperjuangkan hak-hak masyarakat lokal. Kedua, ada tendensi masing-masing daerah mementingkan daerahnya sendiri dan bahkan bersaing satu sama lain dalam berbagai hal, terutama mengumpulkan PAD. Otonomi diidentikkan dengan automoney. Artinya, otonomi diterjemahkan semata-mata dari meningkatnya pangsa PAD terhadap APBD. Ketiga, terkait dengan masalah timing dan political will. Era Otonomi Daerah dicanangkan pada saat pemerintah pusat mulai goyah basis kredibilitas dan legitimasinya. Apalagi saat ini ada tendensi kuat defisit APBN semakin membesar, yang pada gilirannya mengurangi kemampuan pembiayaan dana perimbangan kepada daerah. Keseriusan pemerintah pusat melaksanakan otda benar-benar diuji saat ini. Masalah lain di sisi pendapatan adalah ketidakpastian bantuan dari pusat. Terlambatnya persetujuan anggaran cenderung mengakibatkan manjemen sumber daya yang tidak efisien dan tertundanya pelaksanaan program dan proyek. Persetujuan alokasi dana tidak turun tepat waktu karena sebagian alokasi anggaran turun mendekati akhir tahun fiskal. Keempat, dalam tahap awal otda, masih terasa adanya grey-area kewenangan antara pusat, propinsi, kabupaten/kota. Ini terjadi karena belum tuntasnya penyerahan sarana/prasarana maupun pengalihan dari pegawai pusat ke daerah. Muncul pula ketidakpuasan atas pembagian sumber daya keuangan, terutama terhadap dana bagi hasil SDA. Ini tercermin dari belum puasnya Aceh, Riau, Kaltim dan Papua terhadap pola bagi hasil yang sudah diatur dalam UU. Isu disintegrasi muncul akibat daerah merasa belum dipenuhinya aspirasi daerah. Kelima, tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan pelayanan publik. Dengan mendekatkan pelayanan pemerintah daerah terhadap rakyatnya diharapkan pelayanan publik lebih efektif dan efisien. Studi di 177 Kabupaten/Kota pada Tahun 2002 menunjukkan semakin meningkatnya KKN di semua sektor dan semua tingkat pemerintahan. Studi ini menemukan bahwa KKN paling sering terjadi di DPRD, diikuti Bupati/Walikota, dinas pendidikan, dinas kesehatan, kecamatan dan desa. Bidang korupsi yang terbanyak adalah tender pengadaan barang/proyek publik, diikuti oleh perekrutan pegawai di semua bidang. Keenam, lemahnya koordinasi antar sektor (Matsui & Kuntjoro, 2003). Ini terlihat dalam praktek perencanaan pembangunan. Sistem perencanaan pembangunan indonesia yang meliputi pendekatan top down dan bottom up, diharapkan menjamin adanya keseimbangan antara prioritas nasional dengan apresiasi lokal dalam perencanaan pembangunan daerah. Namun, kenyataannya telah gagal dalam mengakomodasi aspirasi lokal karena sebagian besar proposal proyek yang diajukan berdasarkan aspirasi lokal telah tersingkir dalam rapat koordinasi yang menempatkan proposal yang diajukan tingkatan pemerintahan yang lebih atas tanpa meperhatikan proposal yang diajukan oleh pemerintahan yang lebih rendah (Asui & Alisjahbana, 2003). Akibatnya, proposal akhir yang masuk ke pusat biasanya didominasi oleh proyek yang diajukan oleh level pemerintahan yang lebih tinggi. Walaupun terdapat mekanisme koordinasi formal (proses bottom up), namun perencanaan pembangunan daerah sebenarnya berada dalam kontrol pemerintah pusat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 64 - 2.10.2.2. Aparatur Tuntutan reformasi administrasi publik telah membawa pemikiran terhadap mereformasi birokratisasi dalam rangka mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi birokrasi. Kebijakan yang paling menonjol yaitu mencakup kebijakan penataan aparatur birokrasi, kelembagaan dan standardisasi pelayanan publik. Jumlah PNS provinsi pada birokrasi pemerintahan daerah sampai dengan Tahun 2007 berjumlah 6.226 yang terdistribusi pada jenjang jabatan struktural, jabatan fungsional dan unsur pelaksana. Berdasarkan tingkat pendidikan, jumlah PNS yang berpendidikan SD sebanyak 2,68%, berpendidikan SMP sebanyak 3,23%, berpendidikan SMA sebanyak 47,32%, berpendidikan Diploma sebanyak 10,31%, berpendidikan Sarjana sebanyak 32,44%, berpendidikan Magister sebanyak 3,97% dan berpendidikan Doktoral sebanyak 0,086 %. Berhadapan dengan kondisi kapasitas aparatur dengan tingkat pendidikan yang lebih besar berpendidikan SMA ke bawah dan sejalan dengan tuntutan akuntabilitas birokratisasi maka pengembangan kapasitas aparatur daerah menjadi perhatian serius. Sampai dengan Tahun 2007 pemerintah telah mengadakan peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur melalui peningkatan pendidikan lanjutan. Jumlah PNS yang mengikuti pendidikan lanjut sebanyak 439 orang yang terdiri dari D III sebanyak 90 orang, D IV sebanyak 12 orang, S1 sebanyak 208 orang, S2 sebanyak 121 orang dan S3 sebanyak 8 orang. Selanjutnya untuk meningkatkan kapasitas dan profesionalisme birokrasi, selama Tahun 2004 – 2007 pemerintah telah melakukan pendidikan dan pelatihan baik struktural, fungsional maupun manajemen umum sebanyak 2.896 PNS. Pendidikan dan pelatihan Struktural sebanyak 1.630 PNS, Fungsional sebanyak 768 PNS dan Manajemen sebanyak 49 PNS. Di lain pihak, tercatat tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap pelayan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan merujuk pada pemikiran yang telah dipaparkan, maka ternyata penataan personil/aparatur pada kelembagaan Propinsi NTT masih belum menampakkan tercapainya target pelayanan publik yang semakin mantap, sebagaimana terlihat dalam halhal sebagai berikut: 1) Belum memadainya personil dalam jumlah dan kualifikasi yang sesuai dengan urusan pemerintahan yang dilaksanakan 2) Belum tersusunnya standar kompetensi yang jelas untuk menduduki suatu jabatan disamping pemenuhan persyaratan administratif; 3) Belum tersusunnya manpower planning, career planning dan career development yang jelas dikaitkan dengan visi dan misi yang ingin dicapai pemerintah provinsi dimasa depan 4) Belum adanya perbedaan yang jelas antara pejabat politik dan pejabat karir agar tercipta netralitas PNS, terbebas dari kooptasi dan patronasi politik dan mengedepankan profesionalisme 5) Belum adanya kejelasan posisi dan peran Sekretaris Daerah sebagai Top Career Service 6) Belum tersusunnya mekanisme mutasi PNS baik horizontal maupun vertikal unturk mendukung peran PNS sebagai alat perekat nasional. 7) Belum jelasnya tolok ukur penilaian kemampuan, integritas dan konstituensi aparatur dengan menggunakan sistem fit and proper test. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa dalam penataan aparatur pemerintahan Provinsi NTT, belum digunakan kriteria dan standar yang rasional dan obyektif, sehingga dapat mempromosi aparatur secara profesional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 65 - 2.10.3. Pembangunan Politik Sejalan dengan tuntutan reformasi di bidang politik, kemajuan pembangunan di bidang ini menunjukan hasil yang cukup menggembirakan melalui proses demokratisasi. Pelaksanaan demokratisasi yang paling signifikan adalah proses pemilihan umum ( Pemilu) yang terjadi sepanjang 2004-2008. Pemilu sebagai salah satu instrumen demokratisasi dapat dijadikan indikator terhadap kemajuan demokrasi. Sepanjang Tahun 2004 terjadi Pemilu legislatif yang meliputi pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, pada periode ini untuk pertama kali telah dilakukan Pemilihan Presiden secara langsung. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu sebetulnya telah merepresentase beberapa indikator pembangunan bidang politik, yaitu Institusionalisasi partai politik, Peningkatan partisipasi politik, Suksesi pemerintahan dan kepemimpinan nasional/daerah, Legitimasi representase politik, Perwujudan penghargaan hak-hak warga negara dan Pematangan lembaga penyelenggara pemilu. Salah satu indikator tingkat partisipasi masyarakat dalam politik adalah keterlibatan dalam pemilihan umum. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam pemilhan umum anggota legislatif dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada tahun 2004 di Provinsi NTT sebagaimana telihat pada tabel di bawah ini. Pada tabel berikut terlihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum anggota DPR sebesar 90.04 persen ( 2.215.300) atau hanya sebesar 9.96 persen (245.119) yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan berbagai alasan. Sedangkan untuk DPRD Provinsi NTT, tingkat partisipasi masyarakat sebesar 90.09 persen ( 2.216.605) dan yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 9.91 persen (243.814). Data ini menunjukan bahwa tingkat partisipasi masyarakat NTT dalam pemilu sangat tinggi. Jumlah anggota DPRD Provinsi NTT hasil pemilihan umum Tahun 2004 sebanysak 55 orang. Bila dilihat dari komposisinya, maka sebanyak 21 kursi (38,2 %) berasal dari partai Golkar, 12 kursi ( 21,8%) dari PDIP, 4 kursi (7,3%) dari PKB, 4 kursi (7,3%) dari PDS, 4 kursi (7,3%) dari PPDI, 2 kursi (3,6%) dari PKPI, 2 kursi (3,6%) dari Partai Demokrat, 2 kursi (3,6%) dari Partai Persatuan, 1 kursi (0,8%) dari PNBK, 1 kursi (0,8%) dari PPD, 1 kursi (0,8%) dari PPDK dan 1 kursi (0,8%) dari PPP. Tabel. 2.74 Tingkat Partisipasi Rakyat Dalam Pemilu 2004 Pemilu Jumlah Pemilih Terdaftar Jumlah Pemilih Yang enggunakan Hak Suara Selisih DPR 2,460,419 2,215,300 245,119 DPD 2,460,419 2,222,124 238,295 DPRD NTT 2,460,419 2,216,605 243,814 PRESIDEN PUTARAN I 2,527,429 2,084,540 442,889 PRESIDEN PUTARAN II 2,540,224 2,162,000 378,224 Sumber: KPU Provinsi NTT. 2008 Kendatipun demikian, di tingkat civil society, partisipasi politik seringkali ditandai oleh tiga fenomena, yaitu: Pertama, sangat mengutamakan berbagai bentuk demonstrasi dan pawai yang melibatkan masa dalam jumlah yang relatif besar dari pada memakai berbagai bentuk forum publik lainnya yang melibatkan dialog, seperti pertemuan (public meeting), dengar pendapat publik (public hearing) dan semacamnya. Kedua, menonjolnya penggunaan pendekatan yang berbasiskan pada konfrontasi dan konflik, seringkali dengan melibatkan kekerasan di dalamnya. Ketiga, tiadanya ruang yang memadai bagi negosiasi dan kompromi untukmenghasilkan konsensus. Akibatnya, walaupun di atas permukaan sampai batas-batas tertentu, gejala itu dapat dilihat sebagai partisipasi publik, dalam kenyataan ikhwal ini hanya mengakibatkan proses-proses politik yang kurang produktif, dan cukup sering juga berakibat pada makin meningkatnya ketidakpercayaan di antara kedua belah pihak. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 66 - Deskripsi tersebut secara jelas menampakkan wajah sosial-politik di NTT, yang dapat dilukiskan sebagai transisi demokrasi atau lebih tegas dikatakan bahwa sistem politik yang berkecenderungan menganut model oligarkhi sebagaimana diperkenalkan Polybius (Scmichd, 1980:44). Dikatakan oligarkhi karena sistem politik ini masih dikuasai dan didominasi sekelompok orang yang nekad merebut dan mempertahankan kekuasaan untuk dan atas nama kepentingan umum. Jumlah anggota DPRD di tingkat kabupaten/kota bervariasi sesuai dengan jumlah penduduk. Rincian menurut kabupaten adalah sebagai berikut: Sumba Barat 35 orang, Sumba Timur 25 orang, Kupang 35 orang, Timor Tengah Selatan 35 orang, Timor Tengah Utara 30 orang, Belu 35 orang, Alor 25 orang, Lembata 20 orang, Flores Timur 30 orang, Sikka 30 orang, Ende 30 orang, Ngada 30 orang, Manggarai 40 orang, Rote Ndao 25 orang, Manggarai Barat 25 orang dan Kota Kupang 30 orang, Kabupaten Nagekeo 25 orang, Manggarai Timur 27 orang, Sumba Tengah 20 orang, Sumba Barat Daya 30 orang. Total keseluruhan jumlah anggota DPRD di kabupaten/kota sebanyak 582 orang. Penyelenggaraan demokratisasi di daerah juga berlangsung dalam perhelatan pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) sesuai amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sampai Tahun 2007 telah berlangsung pilkada di beberapa Kabupaten/Kota dan Provinsi, yaitu Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Ngada, Manggarai, Manggarai Barat, Flores Timur, TTU, Lembata, Kota Kupang, dan yang terakhir adalah Pilkada di Gubernur dan Wakil Gubernur. Untuk Tahun 2008 sampai Desember, dijadwalkan Pilkada untuk 9 Kabupaten masing-masing Kabupaten Sikka (sudah), Kabupaten Sumba Tengah (sudah) , Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Timor Tengah Selatan, Belu, Nagekeo, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur. Komitmen luhur untuk membangun kepemerintahan yang baik dibarengi setidaknya oleh faktor sistem hukum yang dirakit, kelembagaan pemerintahan, manajemen pemerintahan, profesionalisme aparatur pemerintah, dan kesiapan masyarakat/stakeholder. Dalam kenyataannya di Indonesia (khususnya Pilkada di NTT), komitmen tersebut sering tersandung pada sederetan masalah/tantangan, antara lain: Pertama, monopoli mekanisme pengajuan pasangan calon kepala daerah & wakil kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadikan Pilkada sangat potensial sebagai ajang money politics; Partai politik lebih leluasa menjadikan dirinya sebagai “kendaraan” bagi mereka yang berminat ke bursa pencalonan dengan menyediakan sejumlah dana tertentu. Kedua, ketentuan UU.32/2004 Pasal 59 ayat (5)g menyebutkan bahwa PNS, anggota TNI dan kepolisian yang menduduki jabatan negeri (jabatan structural dan fungsional) yang mengajukan diri sebagai calon, cukup dengan mengundurkan diri dari jabatannya, dalam prakteknya tidak memperkuat institusi partai politik. Para birokrat tinggi yang mempunyai sumberdaya yang kuat hanya menggunakan partai politik sebagai kendaraan untuk mendapatkan kekuasaan politik, tanpa adanya keinginan/keharusan menjadi anggota partai politik tersebut. Ketiga, Singkatnya jarak waktu antara pengunduran diri (non-aktif) bagi mereka yang sedang menjabat kepala daerah/wakil kepala daerah/sekretaris daerah yang kemudian mencalonkan diri menyebabkan bahwa calon yang pernah berkuasa masih mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk mengendalikan aparat pemerintah untuk kepentingan politiknya, sehingga tidak menjamin netralitas PNS. Keempat, rendahnya partisipasi warga negara dalam pilkada berhubungan dengan banyaknya warga negara yang tidak tercantum dalam daftar pemilih atau tidak memperoleh kartu pemilih. Masalah penyusunan data pemilih merupakan salah satu yang paling semrawut dan sering mengundang protes dalam pilkada. Sesuai PP.6/2005, pelaksanaan pemutakhiran data pemilih merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah daerah yang dilakukan unit kerja yang melaksanakan urusan pendaftaran penduduk (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil). Permasalahan tersebut sering muncul karena: 1) kurangnya koordinasi antara Dinas Kependudukan & Catatan Sipil dengan KPUD. 2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 67 - Kurangnya keterlibatan RT/RW dalam proses pendaftaran pemilih; 3) Kartu pemilih terlambat atau tidak disampaikan sama sekali; 4) atas dasar pertimbangan politik disinyalir ada petugas pendaftaran pemilih sengaja tidak mendaftarkan atau menyampaikan kartu pemilih kepada warga tertentu. Kelima, kendatipun pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak menjamin bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih akan langsung lebih tanggap terhadap rakyat yang menjadi konstituen dengan merealisasikan program-program yang dijanjikannya ketika kampanye. 2.10.4. Hukum dan HAM Pemerintah telah berupaya menegakan pelaksanaan Hukum dan HAM. Berbagai instrumen pembangunan dan pembaharuan hukum di masyarakat belum berfungsi secara optimal. Berbagai permasalahan yang terkait seperti sistem hukum daerah yang belum terarah untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial di NTT, ada kemajuan koordinasi antara aparat penegak hukum dalam penanganan masalah-masalah hukum dan pelanggaran HAM, tetapi rendahnya kesadaran hukum masyarakat dan terbatasnya akses masyarakat dalam proses pembentukan produk hukum daerah. Selama periode 2004 – 2006, pembangunan bidang Hukum dan HAM diarahkan untuk menciptakan supremasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sehingga terwujudnya kepastian hukum, rasa adil, penyelenggaraan negara yang bersih dan bewibawa, kesadaran masyarakat yang tinggi dan pengakuan serta penghargaan terhadap HAM. Bertolak dari pemikiran tersebut maka terdapat tiga hal yang perlu mendapat perhatian yakni peningkatan kualitas materi hukum yang transparan dan adil, perlindungan hukum dan HAM serta penciptaan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Pertama, dalam rangka peningkatan kualitas materi hukum yang transparan dan adil, maka ada dua kegiatan pokok yang telah dilakukan, yaitu peningkatan kapasitas legal drafting kepada 250 aparatur pemerintahan berkaitan dengan pembuatan perda dan berkaitan dengan peran legislasi, pemerintah provinsi dan DPRD telah melakukan revisi dan penyusunan Ranperda dan penetapan Perda. Perda merupakan suatu bentuk kebijakan publik yang mencerminkan kemampuan daerah mengatur diri sendiri (self-regulating) yang menjadi landasan yang mengikat pemerintah dan masyarakat dalam memecahkan masalah dalam bidang kewenangan yang didesentralisasikan kepada daerah. Umumnya perda sebagai suatu bentuk legal dari kebijakan publik bersifat mengatur, mengarahkan, melarang atau membolehkan dan memberi insentif yang kesemuanya bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat maupun pengusaha dalam pembangunan daerah. Produk hukum daerah tidak hanya tertuang dalam Ranperda/Perda, tetapi juga Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat operasional. Produk hukum yang dihasilkan daerah umumnya mencakup bidang ekonomi sosial-budaya, politik, kamtibmas/ tramtibmas dan lingkungan hidup. Selama 2004-2006 telah dihasilkan 35 Ranperda di tingkat Provinsi dan 24 di antaranya ditetapkan sebagai Perda. Dalam rangka penyempurnaan materi hukum yang disesuaikan dengan perkembangan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, maka dilakukan kaji ulang terhadap 8 Perda. Dalam kedudukan provinsi sebagai pembina otonomi daerah, telah pula dilakukan pengawasan represif terhadap 1.060 Ranperda/Perda maupun keputusan dan peraturan kepala daerah kota dan kabupaten. Dalam analisis dan penelitian yang dilakukan, 90 perda ditolak. Artinya, dalam setiap tahun terdapat beban bagi Pemerintah Provinsi untuk mengkaji dan menelaah sebanyak 353,33 Ranperda/Perda. Peran pemerintah provinsi dalam proses legislasi daerah sangat berat dan menjadi filter yang menentukan kualitas Ranperda dan Perda kabupaten/kota. Pada tataran implementasi sesuai kewenangan dilaksanakan melalui upaya peningkatan sumberdaya aparatur bidang hukum, peningkatan kualitas materi hukum dan penegakan terhadap produk hukum daerah. Dan pada aras penegak hukum yaitu melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 68 - upaya peningkatan pengetahuan dan kapasitas PPNS. Pada tahun 2002 - 2006 30 PPNS dilatih pada tingkat provinsi dan 36 PPNS pada tingkat kabupaten. Untuk PPNS provinsi terdapat 40 PPNS yang dilatih pada tahun 2007. Keberadaan sumberdaya aparatur bidang hukum belum cukup signifikan untuk membantu pemerintah daerah dalam menyusun suatu regulasi yang menjadi kebutuhan masyarakat. Pelaksanaan legal drafting pada Tahun 2007 untuk 50 orang diprediksikan akan terjadi peningkatan kualitas produk hukum daerah di banding Tahun 2006 yang belum diprogramkan, meskipun peningkatan tersebut belum cukup berarti, namun telah berdampak pada kualitas materi hukum daerah berupa Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur. Sejak otonomi daerah diberlakukan secara konsisten dengan pemberlakuan perda tanpa melalui proses pengesahan, artinya sejak perda ditetapkan maka dapat langsung diberlakukan, dan dalam pelaksanaannya dievaluasi oleh pemerintah pusat untuk perda Provinsi. Kedua, perlindungan hukum dan HAM. Intervensi perlindungan hukum dan HAM belum dilakukan secara cukup berarti, padahal kasus pelanggaran hukum dan HAM menunjukkan eskalasi yang mencemaskan. Beberapa indikator makro tentang hukum dan HAM dapat menjadi contoh tentang urgensinya penegakan hukum dan HAM, yaitu makin maraknya kasus pelanggaran HAM di NTT. Data statistik tentang kasus pelanggaran HAM dan kejahatan menunjukkan angka yang memprihatinkan, seperti tingginya anak balita terlantar, anak terlantar, lansia terlantar, anak korban kekerasan, perempuan rawan masalah sosial ekonomi, tindak kekerasan terhadap perempuan. Tabel 2.75 Data Indikatif Pelanggaran HAM No Kasus Jumlah 1. Anak balita terlantar 13.492 2. Anak terlantar 88.794 3. Lansia terlantar 46.021 4. Anak kurban kekerasan 624 5. Perempuan rawan sosial ekonomi 65.685 6. Perempuan korban kekerasan 1.613 7. Anak nakal 5.337 8. Anak jalanan 6.850 Sumber: NTT Dalam Angka 2006 Upaya pengakuan, penghargaan dan pemenuhan hak azasi kepada setiap warga negara masih harus mendapat perhatian yang serius. Upaya ini dilakukan melalui intervensi kebijakan perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagaimana Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM; Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga; Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kasus kejahatan atau pelanggaran hukum makin berkembang secara kuantitatif dan kualitatif. terdapat lima kasus yang paling menonjol yang terjadi di NTT, yaitu kasus pembunuhan, kesusilaan pencurian, penganiayaan, dan pelanggaran ketertiban umum. Jumlah pelanggaran hukum juga meningkat dari 1.914 kasus tahun 2005 menjadi 2.361 kasus Tahun 2006. Salah satu penyebab meningkatnya tingkat kriminalitas adalah rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat, sehingga perlu diupayakan pembelajaran hukum bagi masyarakat yang dilakukan dengan proses bimbingan, sosialisasi dan penyuluhan hukum. Pemerintah Provinsi NTT sepanjang tahun 2004-2006 melakukan kegiatan sosialisasi undang-undang kepada para pejabat pemerintah maupun masyarakat melalui sosialisasi produk hukum secara langsung maupun melalui media massa. Sosialisasi atau penyuluhan hukum secara terpadu dilakukan di 19 kabupaten/kota dengan materi produk hukum daerah dan pusat. Sementara itu, sosialisasi/ penyuluhan hukum Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 69 - secara tidak langsung dilakukan melalui RRI (48 kali); lewat media cetak (36 kali) pada tiga koran daerah; dan lewat TVRI. Tabel 2.76 Lima Kasus Kejahatan Terbesar di NTT No. Kasus Jumlah 1. Pembunuhan 422 2. Pencurian 350 3. Penganiayaan 322 4. Kesusilaan 297 5. Pelanggaran ketertiban umum 260 Sumber: NTT Dalam Angka 2006 Untuk meningkatkan pengawasan publik berkaitan dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, maka Pemerintah Provinsi mendorong dan memfasilitasi berdirinya Komisi Ombudsman Nasional di Kupang yang wilayah kerja mencakup NTT dan NTB. Ketiga, penciptaan pemerintahan yang bersih dari KKN harus menjadi perhatian utama, terutama dalam konteks penyalahgunaan kekuasaan (power abuse) dalam penggunaan keuangan negara. Sepanjang 2004-2006 terdapat 462 kasus temuan Banwas. Kasus Korupsi sebagaimana yang ditemukan oleh PIAR tersebar pada semua kabupaten/kota di NTT dan yang terbanyak adalah di Flores Timur (11) kasus. Hal ini juga mewakili kasus korupsi yang menjadi persoalan nasional yang menurut Transparency Internasional, Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir masih dikategorikan sebagai negara terkorup dalam pengukuran Indeks Persepsi Korupsi. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia adalah 2,2 (122/123) pada tahun 2004; 2,2 (143/158) tahun 2005; 2,4 (130/163) pada tahun 2006; dan 2,3 (143/178) tahun 2007. 2.11. Kemiskinan. Kondisi kemiskinan di Provinsi NTT terus mengalami penurunan. Sampai dengan bulan Maret tahun 2008 jumlah penduduk miskin di NTT sebanyak 1.098.300 jiwa (25,65%). Apabila dibandingkan dengan perkembangan jumlah penduduk miskin di NTT selama tiga tahun terakhir(2006-2008), maka telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin dari 29,34% pada tahun 2006 menjadi 27,51% pada tahun 2007, kemudian pada tahun 2008 menurun menjadi 25,65%. (Berita Resmi Statistik No.03/07 Th. XI/Juli 2008). Tabel 2.77 Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di NTT dan Nasional 2004 -2006. 2004 2005 2006 Nasional 16.66 16.69 17.75 NTT 27.86 28.19 29.34 Sumber: NTT Dalam Angka 2004-2006 Berdasarkan data BPS tahun 2007, maka kabupaten dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di NTT adalah Sumba Tengah (43,05%) kemudian diikuti oleh Sumba Barat Daya (42,96%) dan Sumba Barat (42,745). Rician menurut kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 70 - Tabel 2.78 Persentase Penduduk Miskin Kabupaten/Kota di NTT Tahun 2005-2007 No Kabupaten/ Kota Jumlah (000) Persentase 2005 2006 2007 2005 2006 2007 1 Sumba Barat 168,4 184,6 43,5 42,77 45,18 42,74 2 Sumba Timur 82,3 90,2 82,8 41,15 41,62 39,08 3 Kupang 111,8 122,6 111,6 33,54 33,84 31,32 4 TTS 149,7 164,1 147,5 37,64 39,93 37,43 5 TTU 69,5 68,0 60,4 31,53 32,65 30,12 6 Belu 72,1 79,0 83,9 20,74 20,09 21,02 7 Alor 49,9 54,7 48,2 29,87 30,99 28,49 8 Lembata 34,4 37,7 33,5 35,79 36,97 34,45 9 Flores Timur 33,9 37,2 31,2 15,86 16,54 14,38 10 Sikka 54,4 59,6 50,5 19,91 21,69 19,15 11 Ende 47,4 53,2 46,0 20,09 22,43 20,33 12 Ngada 38,2 41,9 21,8 15,99 16,78 17,28 13 Manggarai 155,4 167,2 150,5 31,89 33,87 31,41 14 Rote Ndao 28,0 30,7 30,1 27,43 27,83 28,26 15 Manggarai Barat 53,7 58,9 53,5 29,28 30,19 27,96 16 Sumba Barat Daya 53,3 42,96 17 Sumba Tengah 76,1 43,05 18 Nagekeo 18,9 16,05 19 Kota Kupang 22,1 24,2 20,3 8,38 8,71 7,50 Nusa Tenggara Timur 1171,2 1273,9 1163,6 28,19 29,34 27,51 Sumber: NTT Dalam Angka 2005-2007 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 71 - Salah satu faktor yang mendeterminasi tingginya tingkat kemiskinan di NTT adalah tingginya angka pengangguran tersembunyi yang mencapai > 70 % tenaga kerja, dengan tingkat produktivitas yang sangat rendah, yaitu setara dengan 200.000,- sampai 350.000 rupiah per bulan per tenaga kerja. 2.12. Batas Wilayah Administrasi dan Perbatasan Negara 2.12.1. Batas Wilayah Antar Kabupaten/Kota Batas wilayah administrasi pemerintahan antar Kabupaten/Kota se Provinsi NTT pada umumnya belum memiliki batas wilayah administrasi pemerintahan yang jelas dan tegas, sehingga dalam tataran tertentu menjadi kendala dalam upaya mengimplementasikan spirit otonomi daerah secara elegant di daerah masing-masing. Ketidakjelasan batas wilayah ini sering juga menimbulkan konflik di masyarakat terutama pada daerah perbatasan dimaksud. Permasalahan batas wilayah administrasi pemerintahan antar Kabupaten/Kota dan sengketa batas desa di wilayah Provinsi NTT dari tahun 2004 hingga akhir Tahun 2007 sebagai berikut: 2.12.1.1. Permasalahan Batas Wilayah Administrasi antara Kabupaten Kupang dengan Kota Kupang; Secara empirik, sengketa batas wilayah antara Kabupaten Kupang dengan Kota Kupang terdapat pada 3 (tiga) segmen yaitu: Segmen Nasipanaf, Segmen Hutan Loti dan Segmen Usapi Sonbai. Untuk mengatasai masalah perbatasan ini pemerintah provinsi telah melakukan fasilitasi penyelesaian sengketa batas wilayah melalui beberapa kegiatan antara lain, memfasilitasi pelacakan kembali batas wilayah administrasi antar kedua pemerintahan yang dimulai pada bulan Februari Tahun 2004 sampai dengan Mei 2004, pemasangan pilar pada segmen-segmen yang tidak bermasalah sebanyak 455 buah pilar batas wilayah administrasi pemerintahan. Hasilnya Perkembangan hingga akhir Tahun 2007, menunjukkan bahwa penyelesaian batas daerah antara Kabupaten Kupang dan Kota Kupang menunjukkan kemajuan yang berarti yakni memasuki tahapan persiapan penandatanganan kesepakatan batas antara Bupati Kupang dan Walikota Kupang pada peta batas daerah dan Berita Acara penentuan titik-titik batas. 2.12.1.2. Permasalahan Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan antara Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan Kabupaten Belu; Sengketa terjadi pada dua segmen yaitu: segmen Lotas dan Nonopaku. Untuk penyelesaian masalah perbatasan ini pemerintah provinsi terus berupaya memediasi kedua unsur pemerintah kabupaten dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, serta melakukan penelitian lapangan dan kajian secara komprehensif terhadap kondisi riil di lapangan, dokumen dan bukti yuridis lainnya sehingga hasil akhir penyelesaian nantinya dapat diterima kedua belah pihak tanpa menimbulkan gejolak sosial dalam masyarakat; 2.12.1.3. Permasalahan Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan antara Kabupaten Manggarai dengan Kabupaten Ngada Sengketa batas wilayah ini terutama terjadi pada daerah Buntal. Pemerintah provinsi telah memfasilitasi pelacakan batas antara Pemerintah Kabupaten Ngada dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai pada segmen yang disengketakan. Dan telah dilakukan penandatanganan berita acara kesepakatan bersama penyelesaian masalah batas wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Manggarai dengan Kabupaten Ngada yang mengacu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 72 - pada Peta Topografi Tahun 1916 pada tanggal 9 Juni 2006 bertempat di Kupang dan tindaklanjut dari berita acara dimaksud telah dilakukan peninjauan lapangan serta sosialisasi pemindahan pilar batas yang setelah diidentifikasi berada pada posisi yang salah. Pemerintah provinsi sedang menghimpun dan mengkaji semua dokumen tentang penyelesaian batas antara kedua Kabupaten yang dilakukan pada masa lalu serta aspirasi yang berkembang dikalangan masyarakat saat ini guna dijadikan referensi bagi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat untuk pengambilan kebijakan secara adil dan tuntas. 2.12.2. Kondisi Pulau-Pulau Terdepan/Terluar Provinsi NTT memiliki 5 (lima) pulau terluar/terdepan dari 92 pulau di Indonesia yang ditetapkan sesuai Kepres No. 78 Tahun 2005 yaitu Pulau Alor, Pulau Ndana (Sabu), Pulau Ndana (Rote), Pulau Batek (Kupang) dan Pulau Mangudu. (Selatan Sumba). Pada kelima pulau tersebut, ada yang telah memiliki infrastruktur secara baik, seperti Pulau Alor, namun ada pula yang belum memilki infrastruktur. Pulau Ndana, Dana dan Manggudu serta Pulau Batek merupakan pulau-pulau kosong yang menjadi titik batas koordinat luar wilayah Indonesia yang membutuhkan simbol-simbol negara sebagai pengamanan dan pengendalian batas negara. 2.12.3. Perbatasan Negara. 2.12.3.1. Posisi Perbatasan Pembangunan wilayah perbatasan harus didasari oleh persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang hidup di wilayah perbatasan. Kondisi wilayah perbatasan dengan Timor Leste dengan luas wilayah perbatasan 489,94 ha, Darat – 149,1 km, Pantai – 52 km. Desa darat dan pantai – 34 desa / 4 desa dengan jumlah penduduk 44.598 jiwa. . Meskipun pilar tapal batas demarkasi sesuai kesepakatan tahun 2004 belum seluruhnya terpasang namun batas permanen dengan Timor Leste yang diakui oleh masyarakat Belu terletak di sungai Malibaka. Secara umum daerah perbatasan ditandai oleh aliran sungai yang terbentang dari Kecamatan Tasifeto Barat terutama di desa Buik dan Lurudik dengan panjang sungai 50 Km, Kecamatan Tasifeto Timur di desa Baukama sampai Malibaka dengan panjang sungai 138 Km. Secara geografis, sekitar 55,01 % wilayah perbatasan berada pada kemiringan yang relatif terjal hingga sangat terjal. Seluas 59,73 % wilayah perbatasan berada pada ketinggian 250 hingga 750 meter di atas permukaan laut (dpl). Demikian juga dengan daerah-daerah yang berada pada ketinggian 750 hingga 1000 meter dpl sebagian besar berada di wilayah perbatasan. Ada 28 desa di Belu yang terletak di wilayah perbatasan dengan jumlah penduduk 44.598 jiwa di Belu dan 16.233 jiwa di TTU. Mayoritas penduduk di wilayah perbatasan adalah laki-laki (74%) sedangkan 26% sisanya adalah perempuan. Sebanyak 92% sudah berkeluarga dengan pekerjaan pokok sebagai petani dan peternak. Sejumlah 14 % dari penduduk daerah pebatasan memiliki tanah di negara tetangga untuk menanam tanaman untuk memenuhi kebutuhan pokok. Sebanyak 29 % penduduk ini memasuki wilayah negara tetangga untuk mengolah lahan dan sebnyak 79% penduduk yang berkunjung ke Timor Leste (berkebun dan mengunjungi tetangga tidak memiliki Paspor. Mereka umumnya menggunakan bahasa daerah (Dawan), bahasa Indonesia dan bahasa negara tetangga (bahasa Tetun – Portu). Jika dicermati kondisi di wilayah perbatasan terdapat beberapa hal yang menjadi pokok masalah. Meskipun sudah ada perjanjian kerjasama tingkat nasional berupa MOU tentang Pos Lintas Batas (PLB) antara Pemerintah RI dengan Negara Timor Leste pada tanggal 11 Juli 2003. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 73 - Sejauh ini terdapat masalah krusial seperti : • Belum ada perjanjian kerjasama di tingkat daerah. • Hubungan antar masyarakat belum kondusif sehingga masih sering terjadi gangguan kamtibmas berupa pencurian, perdagangan gelap, penyelundupan, kepemilikan senjata api ilegal, dll. • Perdagangan langsung dari Surabaya ke Dilli menyebabkan tidak berfungsinya pasar tradisional yang telah dibangun • Masih adanya perdagangan gelap (ilegal) lewat ”jalan tikus” serta penyelundupan barang dan manusia • Investasi baru berupa transportasi darat / jasa angkutan darat dengan nilai investasi yang kecil. • Fenomena migrasi dari kegiatan perdagangan ilegal (ilegal bisnis dan ilegal trading) menimbulkan kerawanan sosial dan ekonomi. Perlu peningkatan perekonomian di perbatasan serta pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur perekonomian. • Orientasi hubungan kedua negara yang selama ini lebih menonjolkan aspek keamanan perlu diimbangi dengan peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam bidang sosial ekonomi terdapat beberapa permasalahan pokok yang dihadapi oleh masyarakat di daerah perbatasan seperti pendidikan, pertanian, kesehatan, perekonomian, infrastruktur, transportasi dan kependudukan, yang dapat dirinci sebagai berikut : 1. Masalah pendidikan : a. Tidak ada SMP dan SMA di daerah perbatasan baik di Belu maupun di TTU. Sehingga anak-anak usia sekolah tidak memiliki akses untuk bersekolah. b. Orang tua harus mengeluarkan biaya tambahan transpor bagi anak-anak yang sekolahnya jauh dari desa. c. Gedung dan fasilitas sekolah tidak memadai d. Belum ada SD kecil untuk eks pengungsi e. Angka putus sekolah sesudah SD tinggi 2. Masalah Pertanian : a. Petani kurang mengetahui cara bercocok tanam di lahan kering. b. Terbatasnya lahan pertanian bagi warga ex pengungsi c. Iklim yang kering/kekeringan karena curah hujan kurang d. Rendahnya harga jual produk/hasil pertanian e. Tidak ada pendampingan dari penyuluh pertanian f. Tingginya harga pupuk / insektisida 3. Masalah perekonomian a. Tingginya harga kebutuhan pokok sehari-hari b. Tidak ada pasar desa, pasar terdekat terletak di Motaain c. Terbatasnya peluang / lapangan kerja d. Banyaknya keluarga miskin 4. Masalah pembangunan infrastruktur : a. Kerusakan jalan dan jembatan b. Kurangnya fasilitas umum (pasar, dll) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 74 - 5. Masalah kesehatan a. Belum ada Puskesmas Rawat Inap b. Persediaan obat terbatas c. Tenaga medis / dokter kurang 6. Masalah kependudukan a. Masih banyak warga eks pengungsi yang belum tertampung b. Kurangnya perumahan layak huni bagi eks pengungsi Selama ini pemerintah telah melaksanakan pembangunan untuk wilayah perbatasan. Beberapa upaya yang sudah dilakukan antara lain: 1). Peningkatan frekwensi, sarana & kualitas layanan perhubungan (yang sementara dan akan dibangun dan dikembangkan) antara lain: a. Transportasi Darat; seperti Pembangunan terminal antar negara di Motaain; Pembangunan SPBU di sekitar Pos Perbatasan Terpadu Motaain (penetapan tarif dollar); dan Pembangunan jembatan timbang. b. Transportasi Laut; seperti Pengembangan dermaga di Atapupu dan dermaga ferri; Pengembangan PPI di Atapupu; Pembangunan dermaga pelabuhan laut Motadikin; dan Peningkatan keamanan Selat Ombai. c. Transportasi Udara; seperti Peningkatan status Bandara Haliwen (perintis ke internasional) yang dapat membuka jalur penerbangan internasional dengan rute : Darwin – Comoro – Atambua - Kupang atau sebaliknya; Pembangunan terminal Bandara Haliwen serta pengadaan software penunjang 2) Pengembangan Infrastruktur di daerah perbatasan yang meliputi; prasarana sumber daya air dan irigasi meliputi; sumber daya air,kebutuhan akan air bersih di perbatasan; Pengembangan jaringan irigasi: Haekesak, Maubusa; Holeki, Haleleki; Taeksoruk, atubesi dan Kabenase; Pembangunan embung irigasi; Pembangunan embung-embung kecil; Pembangunan bendungan kali Talau yang dapat memenuhi kebutuhan air bagi 4 kecamatan; Pembangunan sarana & prasarana pemukiman di baru bagi masyarakat Kecamatan Tasifeto Timur dan Tasifeto Barat; Pembangunan telkom, fasilitas internet dan stasiun relay TV di kawasan perbatasan; Pembangunan kelistrikan; Pembangunan dan peningkatan fungsi pos pelintas batas; Pelayanan perbankan; Penanganan pasar perbatasan; Pembangunan Rumah Sakit Penyanggah Perbatasan; Pembangunan SMK bertaraf internasional. 3) Pembembentukan Kawasan Khusus Perdagangan Bebas di perbatasan Belu dengan Timor Leste untuk aksesibilitas ekonomi yang saling menguntungkan antar Kabupaten Belu dengan Timor Leste, Pemerintah Kabupaten Belu mengusulkan untuk menetapkan dan meningkatkan status Motaain, Turiskain dan Motamasin sebagai KOTA MODEL PUSAT KEGIATAN PERDAGANGAN BEBAS; Pemberian fasilitas bebas pajak, bea dan visa khusus bagi barang dan pengunjung ke kawasan khusus; MOU tentang Pos Lintas Batas(PLB) antar Pemerintah RI dng Timor Leste tanggal 11 Juli 2003 agar segera diberlakukan dan atau ditaati semua pihak; Peningkatan fungsi PLB melalui pembangunan sarana dan prasarana di Kawasan Khusus Perdagangan Bebas / di wilayah perbatasan. Untuk menunjang kegiatan perdagangan barang dan jasa, pemerintah berupaya meningkatkan pelayanan seperti; 1) Peningkatan kualitas pelayanan untuk transaksi perdagangan, lewat: 2) Mengakses perdagangan ke Kawasan Khusus Perdagangan Bebas; 3) Pembangunan pasar/grosir induk untuk mensuplai barang-barangdan mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 75 - perdagangan di perbatasan; 4) Menetapkan Pas Lintas Batas; 5) Pembangunan pelabuhan Atapupu sebagai pelabuhan transito. Selain hal tersebut di atas, pembangunan perbatasan juga diarahkan pada peningkatan kelembagaan dan infrastruktur yang dibutuhkan oleh tata kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan. Berbagai pembangunan sarana dan Prasarana serta pertahanan dan keamanan di wilayah diperbatasan yang telah dilakukan di kawasan perbatasan adalah sebagai berikut : a. Aspek Hukum Internasional: 1. Pembangunan pos perbatasan - 3 unit, di Motaain, Motamasin & Metamauk 2. Pembangunan pos imigrasi di 7 pintu masuk 3. Pembangunan Pos Karantina 4. Pembangunan Pos Bea Cukai 5. Pemasangan Pilar batas sebagai titik koordinat ikat 6. Pengkajian intensif Batas Wilayah 7. Pemasangan lampu suar & Rumah jaga di Pulau Batek b. Aspek Pertahanan dan Keamanan, Penempatan pasukan pada pulau terluar c. Aspek Pengembangan Wilayah: 1. Permukiman dan Prasarana Wilayah: mencakup Pembangunan permukiman di desa wilayah perbatasan di Kabupaten belu 2. Peningkatan mutu jalan kawasan batas Kabupaten Kupang-Citrana, TTU ke Batas Distrik Ambenu dan Batas Belu Ke arah Distrik Bobonaro 3. Pembangunanan Prasarana Irigasi perbatasan 4. Perekonomian ,berupa Pembangunan pasar di daerah perbatasan yaitu di kabupaten Belu (Motaain, Motamasin & Turiskain); dalam rencana TTU (Napan) & Kupang (Naikliu) d. Sarana Layanan Sosial Kemasyarakatan Sosial: 1. Pembangunan Rumah Sakit perbatasan di Betun-kabupaten Belu. 2. Penanganan warga baru dari Timor Timur dalam bentuk : Bantuan sosial berupa bantuan jaminan hidup/ bekal hidup, yang diberikan langsung kepada warga, Penanganan Korban bencana sosial atau bantuan keserasian sosial pada 8 Kabupaten/ Kota di Provinsi NTT untuk 4.550 kepala keluarga. 3. Program Bantuan Pembangunan Rumah di Daratan Timor , sebanyak 5.000 unit, tersebar di 45 Desa di Timor Barat 4. Pembangunan daerah transmigrasi untuk warga eks pengungsi Timor Timur (warga baru). e. Aspek Koordinasi dan Regulasi Pengelolaan Perbatasan Negara sebagai kerjasama dua Negara RI dan RDTL meliputi : 1. Kerjasama transportasi lRencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 1 - BAB II Gambaran Umum Kondisi Daerah Pemerintah Nusa Tenggara Timur pada Periode 2004 – 2008 memberikan perhatian pada pembangunan bidang Ekonomi, Sumber Daya Manusia serta Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui Tiga Pilar Pemerataan. Pilihan terhadap bidang ini sebagai tanggapan atas kondisi dan tuntutan yang sedang terjadi di masyarakat pada waktu itu. Berbagai upaya mengoptimalkan kekuatan dan peluang dihadapkan dengan tantangan serta ancaman memberikan gambaran situasi dan kondisi untuk memasuki pembangunan selanjutnya. Pada periode ini juga dimulainya pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Nusa Tenggara Timur Tahun 2005-2025 untuk Tahap Pertama Tahun 2005-2008. Untuk itu pembahasan berikut selain merefleksikan posisi dan kondisi aktual provinsi dalam konteks kewilayahan beserta seluruh unsur potensi, juga menampilkan hasilhasil penyelenggaraan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi, kabupaten, pemerintah pusat, badan-badan PBB, beserta komponen masyarakat dan swasta yang meliputi lembaga swadaya masyarakat/LSM lokal dan internasional serta lembaga-lembaga internasional pemerintah dan masyarakat internasional lainnya. Secara terpilah sulit dilakukan analisis terhadap peran dan kontribusi menurut sumber-sumber pembiayaan/belanja setiap organisasi dan struktur pemerintahan oleh karena itu capaian yang ditampilkan merupakan akumulasi-integrasi kegiatan yang merujuk pada programprogram dalam dokumen PROPEDA Tahun 2004-2008 (Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004) memberikan indikator-indikator target yang mengarah kepada derajad pembangunan daerah. Ukuran pencapaian tersebut sebagai bentuk indikator makro yang komposit meliputi ekonomi, kesejahteraan dan sumber daya manusia serta pembangunan hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi menunjukan capaian tingkat pertumbuhan rata tahunan pada periode 2004 – 2008 sebesar 5,16 %, dan untuk sumber daya manusia dilihat dari perubahan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mengalami kenaikan dari 61,5 di tahun 2003 menjadi 64,8 pada tahun 2007, pada tingkat kesejahteraan mencatat adanya penurunan angka tingkat pengangguran terbuka dari 5,46 memasuki tahun 2004 turun menjadi 3,72 % di tahun 2007. Hal yang sama juga tercermin dari angka proporsi penduduk miskin yang masih 27,51 % tahun 2007, tingkat pendapatan masyarakat menurut PDRB sebesar 3,6 juta rupiah/kapita atau sepertiga nasional. Dibidang pendidikan angka buta aksara penduduk berusia diatas 15 tahun sebesar 377.710 orang di tahun 2005, mengalami penurunan menjadi 250.720 orang atau 33,6 % atau 8,26 % dari proporsi penduduk pada tahun 2007. Pembangunan di bidang kesehatan masyarakat walaupun diakui sebagai hak azasi dan investasi yang paling fundamental dari pembangunan sumber daya manusia namun hasilnya belum merefleksikan pengakuan ini. Umur Harapan Hidup 64,4 (2004) menjadi 65,1 (2006). Gizi buruk dan gizi kurang 39% (2005) menjadi 33,6% (2008). Angka Kematian Bayi 62/1000 kelahiran hidup (2006) menjadi 57/1000 kelahiran hidup (2007), Angka Kematian Ibu 554/100.000 kelahiran hidup (2004) menjadi 306/100.000 kelahiran hidup (2007). Pembangunan bidang hukum dan HAM juga menunjukan perubahan positif yang diindikasikan dengan perubahan jumlah kasus pelanggaran hukum dalam berbagai bentuk dan penurunan angka frekwensi kriminal atau crime clock dari 1,36 jam tahun 2004 menjadi 1,48 jam tahun 2007. Dalam kaitan dengan pelaksanaan pengawasan oleh aparat pengawasan terhadap penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan menunjukan pengurangan temuan antara tahun 2004 dan 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 2 - 2.1. Bentangan Alam. 2.1.1. Geografis Wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah kepulauan, dengan luas daratan + 47.350 Km2 dan luas perairan laut + 200.000 Km2, yang membentang sepanjang 160 Km dari Utara (Pulau Palue di laut Flores) sampai Selatan (Pulau Ndana) di Laut Timor dan sepanjang 400 km dari bagian barat di Pulau Komodo yang berbatasan dengan Selat Sape, Nusa Tenggara Barat, sampai Alor di bagian Timur, berbatasan dengan Timor Leste di Selat Ombai. Secara astronomis, wilayah ini terletak di antara 80-120 Lintang Selatan dan 1180-1250 Bujur Timur. Wilayah ini meliputi 566 pulau. Di antaranya, 44 pulau yang berpenghuni dan 508 pulau yang telah bernama. Provinsi Nusa Tenggara Timur terletak di bagian Tenggara Indonesia, dan berbatasan langsung dengan dua negara tetangga, Australia dan Timor Leste. 2.1.2. Geomorfologi Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur termasuk dalam kawasan Circum Mediteranea. Pulau Flores tergolong relatif labil, akibat patahan-patahan sering terjadi. Pulau –pulau Flores, Alor, Komodo, Solor, Lembata dan pulau – pulau sekitarnya terbentuk secara vulkanik. Sementara pulau-pulau Sumba, Sabu, Rote, Semau, Timor, dan pulau sekitarnya terbentuk melalu proses pengangkatan. Proses geologis demikian menyebabkan jalur pulau–pulau yang terletak pada jalur vulkanik memiliki sejumlah gunung berapi dan memiliki potensi kejadian gempa bumi yang lebih tinggi. Proses pengangkatan yang kemudian membentuk gugusan pulau-pulau Timor, Sumba, Rote, Sabu dan lain-lain, terjadi karena benturan busur kepulauan “Paleo Timor” dengan kerak samudera dan membentuk batuan, berkomposisi basa dan ultra basa. Pengangkatan tersebut terjadi akibat pegeseran, imbrikasi dan duplikasi serta intrusi plutonik pada orogenesa Neogen, sebagaimana diperlihatkan oleh sedimen Miosen – Pliosen yang diendapkan di atas komplek orogen, memperlihatkan lingkungan semakin dangkal ke arah atas, dari batial hingga laut dangkal. Topografi wilayah sebagian besar berbukit hingga bergunung-gunung, dengan kemiringan lahan >40%. Wilayah-wilayah yang datar hingga landai, dengan kemiringan <8% relatif terbatas.Sebagian besar kawasan produksi berada pada lahan-lahan dengan kemiringan 8-40%. Akibat potensi erosi sangat tinggi dan menyebabkan laju degradasi sumberdaya lahan tinggi. Tidaklah heran jika sebaran pemukiman yang mengisi ruang yang terbatas menjadi salah satu tantangan pembangunan yang beresiko kepada lingkungan mobilisasi menghalang pembangunan program untuk layanan umum, ekonomi harga tinggi (tidak saja dalam berpulau pelbagai kondisi grografis. Kondisi topografis Nusa Tenggara Timur sebagian besar berbukit-bukit dan bergunung. Kawasan yang tergolong datar hingga landai menyebar secara sporadis pada gugusan-gugusan yang sempit, di antara lekukan perbukitan atau memanjang mengikuti garis pantai. Lahan dengan kemiringan <40, yang cocok untuk kawasan budidaya mencapai 64.54%, sebagian besar di antaranya (38,07% dari total luas lahan) memiliki kemiringan 15 – 40 persen. Sisanya, 35,46% merupakan lahan dengan kemiringan >40%, dan tidak dapat dikelola sebagai areal budidaya. Kondisi geomorfologis/bentang alam yang demikian menimbulkan potensi erosi yang sangat tinngi. Akibatnya, laju degradasi sumberdaya lahan yang tinggi. Wilayah provinsi NTT juga diketahui memiliki potensi bahan tambang yang beragam. Sejumlah bahan mineral penting yang keberadaannya sudah diidentifikasi adalah meliputi: Pasir Besi (Fe), Mangan (Mn), Emas (Au), Flourspor (Fs), Barit (Ba), Belerang (S), Posfat (Po), Zeolit (Z), Batupermata (Bp), Pasir Kwarsa (Pkws), Pasir (Ps), Gipsum (Gps), Batumarmer (Mr), Batugamping (Bgp), Granit (Gr), Andesit (An), Basalt (Bsl), Pasirbatu (Pa), Batuapung (Pu), Tanah Diatomea (Td) Lempung/Clay (Lp). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 3 - Dari aspek vulkanik dan kegempaan, NTT memiliki 11 gunung berapi aktif (vulkanik) dengan ketinggian antara 600 – 2.200 meter di atas permukaan laut. Gunung api tersebut menyebar dari pulau Flores hingga Lembata. Semuanya pernah erupsi, yang berlangsung dalam kurun waktu tahun 1881 sampai 2007. Hingga saat ini sebagian di antaranya masih aktif, satu diantaranya yang saat ini sedang aktif yaitu gunung Egon di kabupaten Sikka. 2.1.3. Iklim dan Hidrologi Konfigurasi geografis NTT sebagai provinsi kepulauan dan letaknya pada posisi silang di antara dua benua yaitu Asia dan Australia, dan di antara dua samudra yaitu Hindia dan Pasifik, menentukan karakteristik iklim di wilayah ini. Wilayah provinsi NTT secara umum termasuk ke dalam tipe iklim tropis, dengan variasi suhu dan penyinaran matahari yang rendah. Rata-rata suhu minimum dan maksimum, masing-masing, 24 dan 320C, dengan panjang hari ±12 jam. Pola umum iklim wilayah ini adalah pola musim hujan musim kemarau. Musim hujan berlangsung antara November dan Maret, dan musim kemarau antara April dan Oktober. Pola iklim demikian dikendalikan oleh pola angin moonsoon dari Tenggara yang relatif kering dan dari arah Barat Laut, yang membawa banyak uap air. Konfigurasi kepulauan dan topografi wilayah juga merupakan pengendali iklim lokal yang berpengaruh terhadap karakteristik iklim lokal. Akibatnya, keragaman iklim antar wilayah di daerah ini juga sangat besar. Dari aspek curah hujan, rata-rata curah hujan tahunan bervariasi antara 850 mm di daerah-daerah seperti Sabu, Maumere, dan Waingapu, hingga lebih dari 2500 mm di Ruteng, Kuwus, dan Lelogama. Secara umum, iklim wilayah NTT termasuk ke dalam kategori iklim semi-arid, dengan periode hujan yang hanya berlangsung 3-4 bulan, dan periode kering 8-9 bulan. Kondisi iklim demikian mendeterminasi pola pertanian tradisional NTT yang hanya mengusahakan tanaman semusim, yang ditanam dalam periode musim hujan. Keadaan demikian juga mempengaruhi produktivitas tenaga kerja pertanian, yang tergolong sangat rendah (jumlah jam kerja <5 jam/minggu), akibat dari waktu kerja bertani yang hanya berlangsung 3-4 bulan dalam setahun. Persoalan cura hujan di NTT juga diperparah oleh pengaruh iklim global, terutama fenomena elnino dan lanina, serta fenomena perubahan iklim global yang kurang menguntungkan. Dampak dari pengaruh iklim global dimaksud antara lain adalah waktu onset dan offset musim hujan yang sulit diprediksi, dan fenomena kondisi musim kemarau dan musim hujan yang ekstrim. Akibatnya adalah antara lain: kekeringan, gagal tanam, gagal panen, banjir, dan gangguan hama dan penyakit tanaman yang serius. Gambaran kondisi hidrologi wilayah provinsi NTT dapat dilihat dari potensi air permukaan dan air tanah. Secara umum, potensi hidrologi di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur, terutama air permukaan, tergolong kecil. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya eksploitasi sumber air permukaan untuk kepentingan pembangunan. Daerah Aliran Sungai (DAS) dibentuk dari beberapa sungai dan danau. Di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur terdapat 27 DAS dengan luas keseluruhan 1.527.900 Ha. Sungai yang terpanjang di wilayah Nusa Tenggara Timur adalah Sungai Benenai (100 Km), yang mencakup Kabupaten TTS, TTU dan Belu dengan DAS seluas : 4500km di Kabupaten Belu. DAS terluas adalah DAS Benenai, seluas 329.841 Ha. 2.1.4. Tanah dan Lahan Iklim dan topografi merupakan dua di antara faktor pembentuk tanah yang penting. Kondisi topografi wilayah yang berbukit dan bergunung-gunung, dan iklim yang relatif kering menyebabkan jenis tanah dominan adalah tanah-tanah muda, seperti dari ordo entisol, alfisol dan inceptisol. Jenis-jenis tanah lain yang luas dan sebarannya cukup signifikan adalah vertisol dan molisol. Secara umum, tanah-tanah ini memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi dan kandungan hara pada level rendah sampai sedang. Tekstur tanah bervariasi dari berat, pada tanah-tanah vertisols, sampai ringan pada tanah-tanah entisol dan alfisol. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 4 - Persoalan penting yang berhubungan dengan tanah adalah kedalaman solum. Sebagian besar tanah di wilayah ini memiliki solum yang sangat dangkal (<30 cm). Solum tanah yang dangkal menyebabkan kapasitas retensi air tanah terbatas. Akibatnya tanaman yang tumbuh pada tanah semacam ini sangat rentan terhadap kondisi kurang hujan. Dengan demikian, kendala utama pengelolaan lahan untuk produksi pertanian adalah ketersediaan air. 2.2. Kependudukan dan Keluarga Berencana 2.2.1. Jumlah penduduk Jumlah penduduk provinsi NTT pada tahun 2006 berjumlah 4.355.121 jiwa. Pada tahun 2007 jumlah penduduk tersebut meningkat menjadi 4.448.873 jiwa atau bertambah sebanyak 93.752 jiwa. Rincian jumlah penduduk menurut kabupaten /kota sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini: Tabel. 2.1 Jumlah Penduduk, Luas Daerah, dan Kepadatan Penduduk Provinsi NTT Menurut Kabupaten / Kota Tahun 2007 No Provinsi/ Kab./Kota Jumlah Penduduk Luas Daerah Kepadatan Penduduk (km2) Persentase Penduduk Kabupaten Terhadap Penduduk NTT (1) (2) (3) (4) (5) 1 Sumba Barat 104.383 737,42 141,55 2,35 2 Sumba Timur 223.116 7.000,50 31,87 5,02 3 Kupang 373.663 5.898,26 63,35 8,58 4 Timor Tengah Selatan 415.660 3.947,00 105,31 9,34 5 Timor Tengah Utara 211.350 2.669,66 79,17 4,75 6 Belu 418.004 2.445,57 170,92 9,40 7 Alor 178.964 2.864,60 62,47 4,02 8 Lembata 104.440 1.266,38 82,47 2,35 9 Flores Timur 229.918 1.812,85 126,83 5,17 10 Sikka 277.627 1.731,92 160,30 6,24 11 Ende 238.040 2.046,62 116,31 5,35 12 Ngada 131.465 1.620,92 81,11 2,96 13 Manggarai 504.163 4.188,90 120,36 11,33 14 Rate Ndao 112.553 1.280,00 87,93 2,53 15 Manggarai Barat 201.129 2.947,50 68,24 4,52 16 Sumba Barat Daya 255.961 1.445,32 136,94 5,75 17 Sumba Tengah 58.964 1.869,18 40,80 1,33 18 Nagekeo 123.174 1.416,96 86,93 2,77 19 Manggarai Timur *) - - - - 20 Kota Kupang 286.299 160,34 1.785,57 6,44 Nusa Tenggara Timur Tahun 2007 4.448.873 47.349,90 93,96 100,00 Nusa Tenggara Timur Tahun 2006 4.355.121 47.349,90 91,98 100,00 Sumber: Diolah dari hasil Proyeksi Penduduk BPS 2005-2015 *) = Data masih bergabung dengan kabupaten induk. Komposisi penduduk NTT tahun 2007 berdasarkan jenis kelamin memperlihatkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki dengan perbandingan rata-rata persentase antara populasi perempuan (2.235.265 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 5 - jiwa ) dan laki-laki (2.213.608) yaitu 50,24% : 49,76%. Komposisi penduduk NTT menurut umur, memperlihatkan presentase penduduk usia 15-64 tahun paling besar jumlahnya yaitu 57,15% (2.542.948 jiwa), dan diikuti persentase anak-anak (0-14 tahun) sebesar 37,84% (1.683.679 jiwa), sedangkan penduduk usia 65 tahun ke atas paling kecil yakni 4,99% (222.246 jiwa) dari total penduduk NTT. Dengan demikian, permasalahan aktual yang dihadapi ke depan adalah jumlah usia penduduk produktif dan lapangan kerja yang tersedia tidak seimbang, sehingga menimbulkan banyaknya pengganguran. 2.2.2. Pertumbuhan Pertumbuhan penduduk pada suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor: 1). Migrasi, 2). Kelahiran, dan 3). Kematian. Ketiga faktor tersebut telah mempengaruhi jumlah penduduk di provinsi NTT. Rerata tingkat pertumbuhan penduduk di provinsi NTT antara tahun 2000- 2002 adalah 1,96 % per tahun, kemudian mengalami penurunan rerata pada tahun 2003 – 2005 menjadi 1,86% per tahun. Pada tahun 2007 telah terjadi penambahan jumlah penduduk sebanyak 93.735 jiwa dari tahun 2006 (4.355.121 jiwa), sehingga jumlah penduduk tahun 2007 menjadi 4.448.873 jiwa atau telah terjadi pertumbuhan sebesar 1,82%. Pertumbuhan penduduk ini masih dikategorikan sedang, karena berdasarkan pengelompokannya pertumbuhan penduduk dibawah 1% adalah rendah, antara 1%-2% adalah sedang dan diatas 2% adalah tinggi. 2.2.3. Kepadatan Penduduk Tingkat kepadatan penduduk merupakan gambaran dari perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah. Tabel 2.1. diatas menunjukan bahwa pada tahun 2006 tingkat kepadatan penduduk di provinsi NTT sebesar 91,98/km2. Pada tahun 2007 tingkat kepadatan penduduk meningkat menjadi 93,96/km2. Tingkat kepadatan penduduk pada tahun 2007 ini menggambarkan bahwa rerata jumlah penduduk yang mendiami setiap kilometer persegi sebesar 92 orang. Apabila dilihat menurut kabupaten/kota, maka rerata tingkat kepadatan penduduk tertinggi berada di Kota Kupang yaitu 1.785,57 orang/km2, kemudian diikuti oleh Kabupaten Belu dan Kabupaten Sikka masing-masing sebesar 170,92/km2 dan 160,30/km2, sedangkan Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Alor merupakan kabupaten dengan tingkat kepadatan penduduk terendah yaitu 31,87/km2, 40,80/km2 dan 62,47/km2. 2.2.4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Salah satu indikator utama yang dipakai dalam mengukur keberhasilan pembangunan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan indikator komposit dari pembangunan bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang dihitung berdasarkan angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, angka melek huruf dan pengeluaran riil per kapita. Sampai dengan tahun 2005 IPM di provinsi NTT adalah 62,7, jumlah ini terus meningkat menjadi 63,6 pada tahun 2006 dan 64,8 pada tahun 2007. Sementara itu pada tahun yang sama rataan IPM tingkat Nasional adalah 69,6 untuk tahun 2005 dan 70,1 untuk tahun 2006. Dengan demikian maka apabila dibandingkan dengan rataan nasional maka pada tahun 2005 dan 2007 Provinsi NTT tetap bertahan pada posisi 31. Rincian IPM menurut kabupaten/kota di NTT sebagaimana terlihat pada tabel 2.2. dibawah ini: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 6 - Tabel 2 2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut kabupaten / kota Tahun 2005-2007 Sumber: NTT Dalam Angka-BPS 2007 2.2.5. Keluarga Berencana Tingkat Kelahiran di Provinsi Nusa Tenggara Timur atau Total Fertility Rate (TFR) menunjukan fluktuasi sejak tahun 1979, yaitu dari 5,7 pada tahun 1979 turun menjadi 3,6 pada tahun 1997, namun pada tahun 2000 sampai dengan Tahun 2007 TFR menjadi 4,2 melebihi angka rata-rata Nasional 2,6. (hasil SDKI 2007). Dengan demikian, permasalahan kependudukan dan Keluarga Berencana di NTT adalah tingginya tingkat kelahiran. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor langsung dan tidak langsung antara lain, rendahnya pemakaian alat kontrasepsi (34%), tingginya pasangan usia subur yang belum terlayani (16,7%), menurunnya akses informasi dan kampanye program keluarga berencana selama dekade terakhir, kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan reproduksi, disisi lain terjadinya migrasi masuk yang cukup besar seperti masalah warga Timor Timur dan pengaruh aktivitas usaha ekonomi dari daerah lainnya. Potensi pembangunan kependudukan dan Keluarga Berencana (KB) di Provinsi Nusa Tenggara Timur ditunjukan dengan jumlah penduduk yang cukup besar yaitu pada tahun 2006, sebesar 4.355.121 jiwa dengan kepadatan penduduk 91,98 jiwa/km2 dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,82%, jumlah peserta KB aktif 353.113, Pasangan Usia Subur (PUS) 695.858. Tahun 2007 jumlah penduduk menjadi 4.448.873 jiwa , kepadatan penduduk sebesar 93,96 jiwa/km2. Jumlah peserta KB aktif 373.509, PUS berjumlah 704.422. Untuk menangani peserta KB ini, tersedia klinik KB di NTT sebanyak 317 yang menyebar di seluruh Kabupaten/Kota.. Penyebaran klinik KB terbanyak di Kabupaten Sikka dan paling sedikit di Kabupaten Lembata dan Rote Ndao. Pelayanan PUS melalui fasilitas kontrasepsi, maka jumlah akseptor yang menggunakan IUD pada tahun 2005 sebanyak 62.102 dan mengalami penurunan pada tahun 2006 sebanyak 61.743. Penggunaan PIL pada tahun 2005 tercatat No Kabupaten/Kota JUMLAH 2005 2006 2007 (1) (2) (3) (4) (5) 1 Sumba Barat 58,7 59,8 60,1 2 Sumba Timur 58,7 59,6 60,0 3 Kupang 61,2 62,0 63,1 4 TTS 61,8 62,7 63,6 5 TTU 62,4 63,1 64,0 6 Belu 60,5 61,2 61,7 7 Alor 64,5 65,4 66,9 8 Lembata 64,4 65,1 65,6 9 Flores Timur 63,8 64,7 66,4 10 Sikka 63,9 64,6 65,9 11 Ende 63,9 64,6 65,0 12 Ngada 65,5 66,0 63,3 13 Manggarai 64,5 65,2 65,7 14 Rote Ndao 61,4 62,1 64,3 15 Manggarai Barat 62,4 63,2 63,5 16 Sumba Barat Daya - - 58,9 17 Sumba Tenggah - - 58,4 18 Nagekeo - - 64,6 19 Manggarai Timur - - - 20 Kota Kupang 73,9 74,5 74,7 NTT 62,7 63,6 64,8 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 7 - 71.217 dan pada tahun 2006 turun menjadi 70.335. Pemakaian kondom justru mengalami peningkatan dari 1522 pada tahun 2005 naik menjadi 2122 pada tahun 2006. Kecenderungan penurunan penggunaan alat kontrasepsi oleh PUS berdampak pada TFR masih tergolong tinggi yakni sebesar 4,2 pada tahun 2007. 2.3. Pembangunan Pendidikan Pembangunan bidang pendidikan periode 2003 – 2008 mengalami peningkatan yang cukup berarti, hal ini ditandai dengan umumnya layanan pendidikan dasar telah dinikmati oleh sebagian besar rakyat NTT. Namun demikian, hanya dengan mengandalkan terpenuhinya layanan pendidikan dasar, kualitas dan daya saing sumber daya manusia Nusa Tenggara Timur belum memadai, karena masih tingginya dominasi tenaga kerja yang berpendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD) yang mencapai 69,59 %. Keadaan ini tentunya tidak dapat menjawab berbagai kebutuhan dan daya saing yang terjadi pada lingkup regional, nasional maupun internasional. Dengan demikian, layanan pendidikan di NTT belum mampu merespon kebutuhan dan tuntutan pasar kerja. Pembangunan bidang pendidikan memiliki dua indikator utama yakni indikator perkembangan pembangunan pendidikan dan indikator keberhasilan pembangunan pendidikan. Indikator perkembangan pembangunan pendidikan dapat ditunjukkan melalui : akses penduduk usia sekolah terhadap lembaga pendidikan, kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak, tingkat pengeluaran pemerintah untuk anggaran pendidikan serta rasio sarana belajar pendidikan (Rasio Siswa-kelas, Rasio siswa-Guru dan Rasio Gurukelas). Indikator keberhasilan pembangunan bidang pendidikan dapat dilihat dari : Angka Partisipasi Murni, Angka Partisipasi Kasar, Proporsi penduduk Usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, Tingkat Kelulusan Siswa dan Angka Buta Huruf. 2.3.1. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak usia 2 tahun sampai enam tahun dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. PAUD dibedakan dalam tiga bentuk yaitu formal, non formal dan informal. PAUD formal berbentuk taman kanak-kanak atau bentuk lain. Pada jalur non formal, PAUD berbentuk kelompok bermain, taman penitipan anak, atau bentuk lain, dan jalur informal seperti yang dislenggarakan di tempat-tempat ibadah atau perorangan. Indikator perkembangan penyelenggaraan PAUD diukur melalui : akses penduduk usia sekolah ke lembaga pendidikan, kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak, tingkat pengeluaran pemerintah untuk anggaran pendidikan serta rasio sarana belajar pendidikan. Sedangkan, indikator keberhasilan penyelenggaraan PAUD diukur melalui Angka Partisipasi Kasar (APK). Akses penduduk/masyarakat terhadap lembaga PAUD dinilai masih kurang, hal ini terbukti dengan keberadaan lembaga PAUD masih berpusat di wilayah perkotaan, sehingga partisipasi masyarakat terhadap PAUD, terbatas pada masyarakat kota. Di samping itu, keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan PAUD masih rendah. Hal ini terbukti dari jumlah PAUD pada tahun 2007 baru mencapai 967 kelompok belajar, yang terdiri dari kelompok bermain 693 PAUD, tempat penitipan anak 12 TPA, Posyandu terintegrasi PUD 32 kelompok dan Satuan Kelompok PAUD lainnya 230 unit. Akibat keterbatasan jumlah PAUD, jumlah anak usia dini yang mengikuti kegiatan belajar di lembaga pendidikan usia dini baru mencapai 0,19 % di tahun 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 8 - Indikator keberhasilan penyelenggaraan PAUD yang diukur melalui indikator Angka Partisipasi Kasar, memperlihatkan peningkatan di mana pada tahun 2003 APK PAUD sebesar 8,75 % meningkat menjadi 18,63 % pada tahun 2007. Tabel 2.3 APK Pendidikan Anak Usia Dini No Komponen 2003 2004 2005 2006 2007*) 1. Penduduk Usia 4-6 Tahun 243.966 256.026 265.950 270.017 274.877 2. Jml siswa TK/PAUD 21.334 31.323 37.543 43.765 51.205 3. APK TK (%) 8,75 12,23 14,12 16,21 18,63 Sumber : Dinas P dan K Provinsi 2007 Data tabel di atas memperlihatkan bahwa, jumlah anak usia dini di Provinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 jumlah anak usia dini (4–6 tahun) 243.966 orang dan pada tahun 2007 jumlah anak usia dini 274.877 orang. Ini berarti dalam kurun waktu lima tahun, terjadi peningkatan rata-rata 3,03 %/tahun. Seiring dengan peningkatan jumlah anak usia dini, terjadi peningkatan pula pada jumlah siswa TK/PAUD rata-rata pertahun 25,06 % dan Angka Partisipasi Kasar rata-rata pertahun 2,47 %. 2.3.2. Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Pendidikan dasar sembilan tahun adalah jenjang pendidikan bagi anak usia 7–15 tahun, yang mencakup program pendidikan dasar (SD/MI/Pendidikan sederajat) bagi penduduk usia 7 – 12 dan program pendidikan menengah pertama (SMP/MTs/Pendidikan sederajat) bagi penduduk usia 13 – 15 tahun. Indikator perkembangan pembangunan pendidikan dasar sembilan tahun meliputi : akses penduduk usia sekolah terhadap lembaga pendidikan, kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak, tingkat pengeluaran pemerintah untuk anggaran pendidikan serta rasio sarana belajar pendidikan (Rasio Siswa-Kelas, Rasio Siswa-Guru dan Rasio Guru- Kelas). Sedangkan indikator keberhasilan pembangunan bidang pendidikan sembilan tahun meliputi : Angka Partisipasi Murni, Angka Partisipasi Kasar, Proporsi penduduk Usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, Tingkat Kelulusan Siswa dan Angka Buta Huruf. Akses penduduk usia sekolah 7–12 tahun (Pendidikan SD) dan usia sekolah 13–15 tahun (Pendidikan SMP/sederajat) terhadap lembaga pendidikan dasar sembilan tahun di NTT, dapat dilihat dari tingkat aksesibilitas yang diukur dari jarak orbitasi sarana pendidikan terhadap tempat tinggal siswa, lama tempuh perjalanan tanpa alat angkut. Untuk Sekolah Dasar, rata-rata jangkauan pada radius 2,5 – 5 km atau 1 jam waktu tempuh, dan tingkat SMP rata-rata jangkauan pada radius 6 – 8 km atau waktu tempuh 1,5 – 2 jam. Disamping jarak tempuh dan waktu tempuh, tingkat akseptabilitas dapat dilihat pula dari persebaran lembaga-lembaga pendidikan di tingkat desa. Untuk tingkat SD terdapat 4326 buah sekolah yang tersebar pada 2.738 desa/kelurahan. Ini berarti, setiap desa minimal memiliki satu buah sekolah dasar, yang berimplikasi pada mudahnya anak usia sekolah mengakses pendidikan dasar. Sedangkan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP/sederajat), peluang mengakses lembaga pendidikan pendidikan agak lebih sulit karena, jumlah sekolah SMP sebanyak 795, tersebar pada 2.738 desa/kelurahan. Hal ini berarti satu Sekolah Menengah Pertama, melayani anak usia sekolah 13 – 15 tahun pada kisaran 3 – 4 desa. Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak dapat diindikasikan dari jumlah penduduk usia sekolah yang bersekolah dan tidak bersekolah. Data tahun 2006 menunjukkan bahwa, penduduk usia 7 – 12 tahun yang sedang sekolah sebesar 93,99 %, sedang yang tidak sekolah sebesar 6,01 %. Ini menunjukkan tingkat partisipasi penduduk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 9 - menyekolahkan anak pada tingkat SD cukup tinggi. Sementara tingkat pendidikan SMP, partisipasi penduduk menyekolahkan anak, dapat dilihat dari angka putus sekolah yang pada tahun ajaran 2006/2007 sebanyak 446 orang Rasio ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang diindikasikan dengan Rasio Siswa-Kelas, Rasio Siswa-Guru dan Rasio Guru- Kelas. Untuk pendidikan SD, Rasio Siswa-Kelas adalah 1 : 39, dan untuk tingkat SMP adalah 1 : 37 , untuk rasio siswa-guru pada tingkat SD adalah 1 : 21, Tingkat SMP adalah 1 : 37. Data ini memperlihatkan bahwa, rasio guru, murid serta ruang kelas (sekolah) terpenuhi secara baik dan memenuhi standar nasional 1 : 40. Selanjutnya indikator keberhasilan pembangunan bidang pendidikan sembilan tahun, dilihat dari Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar, untuk Tingkat SD Tahun 2007, APM mencapai 90,80 %, APK sebesar 114 %, sedangkan pada tingkat SMP, APM sebesar 52,23 % sedangkan APK sebesar 67,46 %. Ini menunjukkan bahwa, keberhasilan pembangunan bidang pendidikan untuk tingkat pendidikan SD dianggap berhasil sedangkan, pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dinilai masih kurang. Tabel 2.4. APK, APM Tingkat Pendidikan Dasar Sembilan Tahun No Komponen 2003 2004 2005 2006 2007*) 1. APK SD/MI/SDLB 92,18 99,53 107,84 112,28 114,20 2. APM SD/MI/SDLB 69,14 72,26 76,24 79,78 90,80 3. APK SMP/MTs/SMPLB 48,29 49,67 59,39 59,72 67,46 4. APM SMP/MTs/SMPLB 32,02 32,71 39,36 46,24 52,23 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Tahun 2007 Tabel. 2.5. Presentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas menurut Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan Tahun 2005-2007 Tahun Tamat SD Tamat SMP Lakilaki Peremp uan L+P Laki- Laki Perem puan L+P 2005 32,13 34,51 33,32 11,23 10,46 10,85 2006 30,74 30,74 32,20 11,8 11,8 11,59 2007 30,15 33,98 32,11 11,48 11,14 11,30 Sumber : NTT dalam Angka Tahun, BPS- 2008 Proporsi penduduk 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan pada tahun 2007, untuk pendidikan SD sebesar 32,11% dan SMP 11,30%. Untuk menjamin peningkatan daya saing, proporsi penduduk berpendidikan paling tinggi SD harus dikurangi secara cepat. Sementara itu, proporsi penduduk berpendidikan SMP, harus terus ditingkatkan secara bertahap. Tabel. 2.6 Kelulusan Dan Prosentase Kelulusan Tingkat SD/MI Tahun pelajaran Jumlah peserta Jumlah tidak lulus % tidak lulus Jumlah lulus %lulus 2005/2006 70.206 4.002 5.70 66.204 94.30 2006/2007 73.427 3.524 4.80 69.903 95.00 2007/2008 90.531 1.017 1.12 89.514 98.88 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Tahun 2008 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 10 - Tabel 2.7 Kelulusan Dan Prosentase Kelulusan Tingkat SMP/Mts Tahun pelajaran Jumlah peserta Jumlah tidak lulus % tidak lulus Jumlah lulus %lulus 2005/2006 50.421 17.796 36.82 32.625 64.71 2006/2007 55.506 19.451 35.04 36.055 64.96 2007/2008 58.606 31.437 53.64 27.169 46.36 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Tahun 2008 Mengenai tingkat kelulusan siswa, data tahun ajaran 2005/2006 memperlihatkan bahwa, pada tingkat pendidikan SD, dari jumlah peserta sebanyak 70,206 yang lulus sebanyak 66,204 atau 94,30%. Sedangkan untuk tahun ajaran 2007/2008 dari jumlah peserta 90.531 yang lulus sebanyak 89.514 atau 98,88%. Jika dibandingkan antara tahun ajaran 2005/2006 dengan 2007/2008 secara kualitatif dan kuantitaif menunjukan peningkatan yang positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa, kemampuan siswa SD dalam menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar cukup memuaskan. Tantangan Pendidikan Dasar di tingkat sekolah menengah pertama adalah trend menurunnya tingkat kelulusan siswa pada 3 (tiga) tahun terakhir terutama pada tahun ajaran 2007/2008 yang tingkat kelulusan hanya 46,36 %. Disisi lain terjadi kecenderungan pertambahan peserta ujian di tingkat SMP yang mencapai pertumbuhan rata-rata 7,83 % per tahun untuk tiga tahun terakhir. 2.3.3. Pendidikan Menengah Indikator perkembangan pembangunan pendidikan, pada pendidikan menengah ditunjukkan melalui : akses penduduk usia sekolah terhadap lembaga pendidikan, kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak, tingkat pengeluaran pemerintah untuk anggaran pendidikan serta rasio sarana belajar pendidikan (Rasio Siswa-kelas, Rasio siswa- Guru dan Rasio Guru-kelas). Sedangkan indikator keberhasilan pembangunan bidang pendidikan dapat dilihat dari : Angka Partisipasi Murni, Angka Partisipasi Kasar, Proporsi penduduk Usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, Tingkat Kelulusan Siswa Indikator perkembangan pembangunan pendidikan untuk pendidikan menengah dilihat dari akses penduduk usia sekolah terhadap lembaga pendidikan, yang diindikasikan dari tingkat aksesibilitas berdasarkan jarak orbitasi sarana pendidikan terhadap tempat tinggal siswa dan lama tempuh perjalanan tanpa alat angkut menunjukkan bahwa, jarak tempuh mencapai 8 - 10 km. atau waktu tempuh 2 - 2,5 jam. Selain itu, akses penduduk usia sekolah terhadap lembaga pendidikan, dapat pula dilihat dari persebaran lembaga-lembaga pendidikan di tingkat desa/kelurahan. Data memperlihatkan bahwa jumlah Sekolah Menengah Umum (SMU) sebanyak 244 buah, sedangkan untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 120 buah, tersebar pada 2.738 desa. Dengan demikian, satu buah sekolah menengah umum melayani kurang lebih 11 desa/kelurahan dan satu buah sekolah menengah kejuruan melayani kurang lebih 23 desa/kelurahan. Keadaan ini memperlihatkan bahwa, akses penduduk usia sekolah terhadap lembaga pendidikan sekolah menengah, masih cukup sulit, terutama bagi masyarakat desa. Keadaan ini diperparah lagi dengan kenyataan yang memperlihatkan keberadaan lembaga pendidikan menengah, lebih terkosentrasi pada ibu kota kabupaten/kota. Indikator perkembangan pendidikan sekolah menengah, dapat pula dilihat dari kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak. Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak pada tingkat pendidikan menengah dapat diukur dari angka putus sekolah. Data tahun 2006 memperlihatkan bahwa, untuk sekolah menengah umum, jumlah anak putus sekolah sebanyak 1218 siswa sedang untuk sekolah menengah kejuruan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 11 - sebanyak 403 siswa. Dengan demikian, pada tahun ajaran 2006/2007, terdapat 1.621 atau 1,39 % siswa sekolah menengah yang putus sekolah (DO), dari jumlah siswa sebanyak 116.320 siswa. perkembangan pendidikan sekolah menengah di NTT dilihat dari angka putus sekolah, dinilai masih cukup baik. Selanjutnya, Tingkat penyediaan sarana belajar yang di indikasikan dengan rasio sarana belajar pendidikan (Rasio Siswa-kelas, Rasio Siswa-Guru dan Rasio Guru- Kelas) di tingkat pendidikan menengah umum maupun kejuruan memperlihatkan bahwa, Rasio Siswa-Kelas 1 : 34 dalam artian 1 kelas menampung 34 siswa sedang Rasio Siswa-Guru 1 : 30, Artinya 1 orang guru melayani 30 orang siswa. Indikator keberhasilan pembangunan pendidikan pada pendidikan sekolah menengah dilihat dari aspek angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK), memperlihatkan adanya peningkatan. Pada tahun 2003, Angka partisipasi murni sebesar 24,97 % dan pada tahun 2007 sebesar 34,67 %. Sedangkan angka partisipasi kasar, pada tahun 2003 sebesar 40,07 % dan pada tahun 2007 sebesar 48,19 %. Ini berarti, dalam kurun waktu lima tahun terjadi kenaikan 9,7 % untuk APM, sedangkan untuk APK terjadi kenaikan sebesar 8,12 %. Tabel 2.8 APK, APM Tingkat Pendidikan Menengah Atas Komponen 2003 2004 2005 2006 2007* Pddk usia 16-18 257.655 262.541 267.868 272.690 277.598 APK SMA/MA/SMK 40,07 40,60 40,26 42,66 48,19 APM SMA/MA/SMK 24,97 25,93 25,62 30,69 34,67 Jml siswa (APK) 103.233 106.592 107.843 116.320 133.768 Jml siswa 16-18 (APM) 64.344 68.071 68.616 83.698 96.253 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Tahun 2007 Tabel. 2.9 Presentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas menurut Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan Tahun 2005-2007 Tahun Tamat SMU Tamat SMU Kejuruan Laki- Laki Perem puan L+P Laki- Laki Perem puan L+P 2005 8,60 7,28 7,94 2,77 1,98 2,38 2006 9,23 9,23 8,67 3,05 3,04 2,61 2007 9,15 8,40 8,77 3,75 2,69 3,21 Sumber : BPS NTT dalam Angka Tahun 2008 Keberhasilan pembangunan dilihat dari proporsi penduduk Usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, untuk pendidikan menengah umum dan kejuruan mengalami peningkatan sebesar 1,66% yakni, dari 10,32% pada tahun 2005 menjadi 11,98% pada tahun 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 12 - Tabel 2.10 Kelulusan Dan Persentase Kelulusan Tingkat SMA/MA Tahun Pelajaran Jumlah Peserta Jumlah Tidak Lulus % Tidak Lulus Jumlah Lulus %Lulus 2005/2006 25.593 7.629 29.81 17.964 70.19 2006/2007 28.764 10.908 37.92 17.856 62.08 2007/2008 29.688 11.059 37.25 18.629 62.75 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Tahun 2008 Tabel. 2.11 Kelulusan Dan Persentase Kelulusan Tingkat SMK Tahun Pelajaran Jumlah Peserta Jumlah Tidak Lulus % Tidak Lulus Jumlah Lulus %Lulus 2005/2006 7.683 2.126 26.79 5.557 73.21 2006/2007 9.099 1.855 20.38 7.244 79.62 2007/2008 8.705 1.428 16.40 7.277 83.60 Sumber : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT Tahun 2008 Keberhasilan pembangunan bidang pendidikan dilihat dari indikator tingkat kelulusan Sekolah Menengah Umum, terjadi penurunan. Pada tahun 2005/2006 dengan jumlah peserta 25.593 siswa, yang lulus sebanyak 17.964 siswa atau 70.19% jika dibandingkan dengan tahun pelajaran 2007/2008 dari jumlah peserta 29.688 siswa yang lulus sebanyak 18.629 atau 62.75% dengan standar nilai ujian yakni 5,00%. secara kuantitas prosentase kelulusa mengalami penurunan, namun secara kualitas terjadi peningkatan mutu pendidikan yang ditandai dengan peningkatan standar nilai kelulusan. Selanjutnya untuk tingkat pendidikan sekolah menengah kejuruan, pada tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Pada tahun ajaran 2005/2006 jumlah peserta sebanyak 7.683 siswa yang lulus 5.557 siswa atau 73.21% jika dibandingkan dengan tahun ajaran 2007/2008 dengan jumlah peserta 8.705 siswa, yang lulus sebanyak 7.277 siswa atau 83.60%. dan tingkat pertumbuhan kelulusan antara tahun 2005/2006 sampai tahun 2007/2008 sebesar 28,32 % per tahun 2.3.4. Pendidikan Tinggi Persentase penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, kecuali Diploma I dan II. Pada tahun 2006, jumlah penduduk yang menamatkan Diploma I dan II sebesar 0,54% meningkat menjadi 0,67% pada tahun 2007. Sedangkan penduduk yang menamatkan Akademi/Diploma III pada tahun 2006 sebesar 0,60% meningkat menjadi 0,88% pada tahun 2007. Begitu pula dengan penduduk yang menamatkan Universitas/Diploma IV sampai Doktoral mengalami peningkatan dari 1,76% pada tahun 2006 menjadi 2,34% pada tahun 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 13 - 2.3.5. Pendidikan Luar Sekolah Perkembangan indikator Pendidikan Luar Sekolah dapat ditunjukan melalui Persentase Penduduk 10 Tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis Tahun 2005 adalah sebesar 86,68%, meningkat menjadi 88,53 % pada tahun 2007. sedangkan penduduk 10 Tahun ke atas yang tidak dapat membaca dan menulis sebesar 13,32 % pada tahun 2005 menurun menjadi 11,47 % pada tahun 2007. Keadaan ini memperlihatkan adanya penurunan angka buta huruf sebesar 1,85%. Proporsi penduduk perempuan yang tidak dapat membaca dan menulis pada tahun 2007 adalah sebesar 13,33 % lebih tinggi dari laki-laki yang sebesar 9,53%. Pendidikan luar sekolah juga melaksanakan program kecakapan hidup dan kesetaraan dalam rangka memberikan layanan pendidikan bagi anakanak putus sekolah (drop out) melalui pendidikan kesetaraan Paket A setara SD, B setara SMP dan C setara SMA. Tabel 2.12 Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Menurut Kemampuan Membaca dan Menulis Per Jenis Kelamin di Provinsi NTT Tahun 2005 – 2007 Sumber : NTT Dalam Angka 2007/2008 2.3.6. Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus lebih dikenal sebagai Pendidikan Luar Biasa. Kondisi penanganan pendidikan luar biasa pada tingkat sekolah dasar dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005, jumlah sekolah luar biasa (Negeri dan Swasta) sebanyak 15 sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 812 siswa dan jumlah guru sebanyak 130 orang guru. Pada tahun 2006 kondisi tersebut mengalami peningkatan yaitu jumlah sekolah sebanyak 18 sekolah, jumlah siswa sebanyak 972 siswa dan jumlah guru sebanyak 165 orang guru. 2.3.7. Manajemen Pendidikan Mutu Guru di Nusa Tenggara Timur jika dilihat dari kualifikasi pendidikan khususnya pada jenjang pendidikan dasar untuk tingkat SD/MI baru 2,81% yang memenuhi kualifikasi S1 sedangkan pada tingkat SMP/MTs baru mencapai 35,33 % dan untuk tingkat SMU/SMK/MA, telah mencapai 60,89 %. Tabel 2.13 Kualifikasi Pendidikan Guru SD Di NTT Tahun 2006 NO Ijasah Terkahir Guru Keguruan Non Keguruan Jumlah % 1 < SLTA 0 24 24 0,08 2 SLTA 19.113 3.417 22.530 70,93 3 Diploma 1 – 2 7.388 0 7.388 23,26 4 Diploma-3/SM 821 108 929 2,92 5 D.IV / S-1 806 88 894 2,81 Jumlah 28.128 3.637 31.765 100 Sumber : Dinas P dan K Provinsi NTT Tahun 2006 Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah Dapat membaca dan menulis Buta Huruf Dapat membaca dan menulis Buta huruf Dapat membaca dan menulis Buta huruf 2005 88,79 11,21 84,61 15,39 86,68 13,32 2006 90,10 9,90 85,90 14,10 87,76 12,04 2007 90,47 9,53 86,67 13,33 88,53 11,47 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 14 - Tabel 2.14 Kualifikasi Pendidikan Guru SMP/MTs Di NTT Tahun 2006 NO Ijasah Terkahir Guru Keguruan Non Keguruan Jumlah % 2 SLTA 1.276 81 1.357 12,37 3 Diploma 1 – 2 2.823 0 2.823 25,75 4 Diploma-3/SM 2.363 539 2.902 26,45 5 D.IV / S-1 3.342 534 3.876 35,33 6 S-2 12 0 12 0,11 Jumlah 9.816 1.154 10.970 100 Sumber : Dinas P dan K Provinsi NTT Tahun 2006 Tabel 2.15 Kualifikasi Pendidikan Guru SMU/SMK/MA Di NTT Tahun 2006 NO Ijasah Terkahir Guru Keguruan Non Keguruan Jumlah % 1 SLTA 312 15 327 3,73 2 Diploma 1 – 2 578 0 578 6,59 3 Diploma-3/SM 1.921 576 2.497 28,47 4 D.IV / S-1 4.637 704 5.341 60,89 5 S-2 0 28 28 0,32 6 Jumlah 7.448 1.323 8.771 100 Sumber : Dinas P dan K Provinsi NTT Tahun 2006 Untuk sertifikasi baru sebagian kecil guru-guru yang telah lulus sertifikasi. Peningkatan kemampuan akademik dan profesionalisme tenaga pendidik melalui peningkatan kualifikasi pendidikan dan sertifikasi merupakan salah satu faktor utama dalam peningkatan kualitas pendidikan. Kondisi sarana dan prasarana pendidikan juga masih sangat terbatas. Terbatasnya sarana dan prasarana penunjang pendidikan antara lain: laboratorium, perpustakaan, alat-alat peraga dan buku-buku juga mempengaruhi rendahnya kualitas pendidikan. Salah faktor utama dari manajemen pendidikan adalah data base pendidikan yang selama ini tidak terdata dengan baik dan sulit diakses. 2.3.8. Daya Saing Pendidikan Muara produk pendidikan tercermin dari indikator kemampuan daya saing dalam berbagai kondisi, seperti mutu dan kualitas kelulusan, tingkat serapan pasar tenaga kerja, daya saing lulusan antar wilayah dan kemampuan kreasi menciptakan lapangan kerja baru atau kemampuan usaha mandiri dengan pendekatan potensi lokal dan kearifan lokal. Hal ini juga berdampak pada tingkat penyediaan tenaga kerja terampil dari pendidikan formal Sekolah Menengah Kejuruan yang masih belum memenuhi permintaan pasar tenaga kerja. Pengembangan Sekolah Menegah Kejuruan perlu terus dikembangkan dengan melihat pada keunggulan dan potensi lokal daerah yang ada, serta kebutuhan pasar tenaga kerja lokal, nasional dan global. 2.4. Kesehatan Pembangunan bidang kesehatan telah membawa perubahan yang positif namun perkembangan derajat kesehatan sebagai tolok ukur dari keberhasilan bidang ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Berbagai persoalan seperti rendahnya kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), masih tingginya angka kesakitan (morbiditas) akibat penyakit-penyakit infeksi, rendahnya kualitas gizi masyarakat (37,80% bayi dan balita gizi buruk dan gizi kurang-2008), tingginya angka kematian ibu dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 15 - bayi. Persoalan kesehatan di masyarakat ini bertalian dengan lemahnya kinerja sistem kesehatan di daerah. Pada sisi input dapat ditemukan beberapa persoalan. Pertama, persoalan SDM kesehatan yaitu rasio tenaga kesehatan yang masih kecil baik terhadap jumlah penduduk maupun sarana/fasilitas, kualitas tenaga kesehatan yang tercermin dari spesifikasi tenaga kesehatan yang masih terbatas serta penyebaran yang tidak merata. Kedua, persoalan pembiayaan yaitu kecilnya kapasitas fiskal daerah. Ketiga, persoalan infrastruktur kesehatan yakni rasio sarana prasarana kesehatan terhadap penduduk yang masih kecil serta terbatasnya obat dan perbekalan kesehatan. Pada sisi proses, pemberdayaan masyarakat untuk menolong diri sendiri melalui upaya-upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) seperti penyelenggaraan Posyandu, Desa SiAga, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) masih kurang mendapat perhatian pemerintah, sehingga menciptakan ketergantungan masyarakat pada uluran tangan pemerintah dan pihak lain. Selain itu sub bidang manajemen kesehatan sangat bergantung kepada kemampuan manajerial, kapasitas regulasi, komitment dan arahan (stewardship) pimpinan dalam memecahkan persoalan-persoalan internal sistem kesehatan. Lemahnya sub bidang manajemen kesehatan secara kasat mata bisa dilihat pada sistem informasi kesehatan daerah (SIKDA) yang belum bisa digunakan secara optimal untuk perencanaan dan pengambilan keputusan yang berbasis data (evidance base). Kelemahan lain juga bisa dilihat pada ketidakseriusan dalam melakukan pengukuran keberhasilan program dan kegiatan sektor kesehatan melalui monitoring dan evaluasi yang objektif. Selanjutnya sebagai konsekuensi dari berbagai tantangan dan permasalahan internal sistem kesehatan tersebut diatas, maka sub bidang upaya pelayanan kesehatan sebagai ujung tombak dari sistem kesehatan dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan baik masyarakat maupun individual belum menggembirakan. Gambaran situasi masalah dan tantangan bidang kesehatan masyarakat 5 tahun ke depan dapat diuraikan secara garis besar sebagai berikut. 2.4.1 Masalah Kesehatan Masyarakat Pada sisi masyarakat, terdapat berbagai masalah kesehatan baik yang bersumber dari perilaku masyarakat sendiri maupun dari lingkungan tempat tinggalnya. 2.4.1.1. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rendahnya kesadaran masyarakat tentang pola hidup sehat adalah salah satu masalah mendasar dalam pembangunan bidang kesehatan di provinsi Nusa Tenggara Timur. Salah satu indikator komposit untuk mengukur perilaku hidup bersih dan sehat adalah rumah tangga sehat. Indeks rumah tangga sehat yang terdiri dari 10 indikator menggambarkan rumah tangga yang penghuninya berperilaku hidup bersih dan sehat, yang dari tahun ke tahun justru mengalami kemunduran sebagaimana terlihat dalam tabel 2.16.di bawah ini. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 16 - Tabel 2.16 Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat di Tingkat Rumah Tangga 2005-2007 Tahun Puskesmas Rumah Tangga Jumlah dipantau Ber PHBS * % 2007 284 175,901 75,698 43.03 2006 264 96,557 52,805 54.69 2005 242 160,146 78,878 49.25 2004 222 19,415 10,091 51.98 Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2007 Dari data tersaji terlihat tidak terjadi peningkatan kesadaran masyarakat yang ber- PHBS karena dari rumah tangga yang dipantai sejak 2004 hingga 2007 walaupun dari jumlah terpantau terjadi peningkatan namun persentase tidak terjadi margin yang besar antara 40% s.d 50% bahkan pada tahun 2007 terjadi penurunan menjadi 43.03 % setelah sempat mencapai 54% pada tahun 2006. 2.4.1.2. Morbiditas Dari tahun ke tahun selama 5 tahun terakhir profil kesehatan masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukan bahwa Angka Kesakitan Penduduk atau morbiditas masih didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi yang lama seperti ISPA , Malaria, diare, TBC, frambusia, filaria, lepra dan penyakit infeksi yang baru seperti HIV AIDS, DBD Dengue. Data angka kesakitan penduduk yang berasal dari masyarakat (community based data) menunjukkan penyakit infeksi masih merupakan yang terbanyak pada pasien rawat jalan di Puskesmas dan Rumah Sakit pada tahun 2007. Gambaran Pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di Puskesmas tahun 2007 disajikan pada Tabel 2.17. berikut ini. Tabel 2.17 Pola 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas pada Pasien Rawat Jalan Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2007 No. Golongan Sebab Sakit Jumlah Kunjungan % 1. ISPA 996.946 24,47 2. Malaria 781.568 20,75 3. Penyakit Kelainan 577.249 15,33 4. Penyakit pada Sistem Otot dan Jaringan 501.190 13,31 5. Penyakit Kulit dan Jaringan Sub Kutan 287.263 7,63 6. Penyakit Virus 190.355 5,05 7. Penyakit Infeksi pada Usus 189.685 5,04 8. Penyakit Rongga Mulut 88.607 2,35 9. Penyakit Infeksi Parasit dan Akibatnya 77.843 2,07 10. Sebab lain Kebidanan 75.156 2,00 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi NTT tahun 2007 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 17 - Beberapa penyakit menular yang perlu mendapatkan perhatian antara lain Malaria, Penyakit TB Paru, Penyakit HIV/AIDS, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit kusta, penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD31), penyakit potensial KLB/wabah seperti penyakit DBD, Rabies, penyakit filariasis, penyakit frambusia dan penyakit antraks dan situasi penyalahgunaan NAPZA. Jumlah kasus malaria klinis di NTT masih tinggi. Daerah endemis malaria masih meliputi beberapa kabupaten seperti Sumba Barat, Sikka, Ngada dan Manggarai Barat. Sedangkan kasus malaria terendah di Kabupaten TTU, Kota Kupang. Kasus TB Paru tertinggi berada di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur dan TTS, sedangkan kasus terendah di Kabupaten Lembata. HIV/AIDS sudah menjadi ancaman serius pada Kabupaten Belu, Kota Kupang, TTUdan Kabupaten Sikka. DBD mencakup Kota Kupang, Belu dan Sikka. Selain itu penyakit Rabies masih menjadi ancaman sepanjang pulau Flores dan Lembata. Beberapa penyakit menular berpotensi menimbulkan KLB maupun wabah. Frekuensi KLB tertinggi adalah Demam berdarah dengue, Diare, Campak, keracunan makanan, dan Malaria. Sedangkan CFR tertinggi adalah Rabies, Diare, Demam Berdarah dan HIV/AIDS. Berbagai jenis penyakit ini apabila tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan dampak lanjut berupa kehilangan ekonomi (economic loss) bagi generasi berikutnya. Angka kesakitan penyakit menular per kabupaten/kota pada tahun 2006 dapat dilihat dalam tabel 2.8 berikut ini. Tabel 2.18 Angka Kesakitan Penyakit Menular Menurut Kabupaten/Kota se NTT, tahun 2006 No. Kabupaten Malaria HIV AFP DBD Filariasia Rabies Diare Klinis (+) 1 2 3 4 8 9 10 11 12 13 1 Sumba Barat 96.026 26.760 0 4 0 6 0 - 2 Sumba Timur 31.084 11.999 0 1 0 0 0 610 3 Kab. Kupang 53.308 3.836 2 7 0 0 0 3.746 4 TTS 36.959 6.293 0 1 0 0 0 9.300 5 TTU 18.474 5.537 11 4 0 1 0 4.746 6 Belu 32.189 8.572 35 2 13 1 0 9.445 7 Alor 22.287 2.554 3 2 0 0 0 950 8 Lembata 22.524 6.187 2 0 0 0 314 513 9 Flotim 22.931 3.017 1 0 0 0 176 2.497 10 Sikka 95.986 14.813 9 2 32 104 678 4.854 11 Ende 70.238 5.761 0 0 4 0 289 622 12 Ngada 27.485 12.404 4 3 0 0 191 809 13 Manggarai 27.861 2.365 0 0 0 0 507 7.575 14 Rote Ndao 16.024 428 0 0 0 0 0 2.562 15 Kota Kupang 10.903 929 51 4 260 3 0 8.478 16 Mnggrai Barat 34.085 14.216 2 0 1 0 76 3.543 JUMLAH 618.364 125.671 120 30 310 115 2.231 60.250 Dari gambaran situasi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa penyakit infeksi masih merupakan masalah utama tingginya morbiditas masyarakat di Provinsi NTT. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 18 - 2.4.1.3. Status Gizi Masyarakat Gizi memiliki hubungan langsung dan mendasar dengan HDI (Human Development Indeks), sebab gizi merupakan elemen dasar pembentukan otak yang menjadi ukuran dalam menentukan kualitas SDM. Periode emas pembentukan otak individu dimulai pada saat awal kehamilan sampai dengan masa balita. Sehingga apabila pada periode ini pemenuhan gizi anak terganggu atau tidak tercukupi maka kelak akan menjadi beban bagi orang tua dan pemerintah baik secara sosial maupun ekonomis. Selain itu pemenuhan gizi merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Tabel 2.19. berikut ini memberikan gambaran ini. Tabel 2.19 Persentase Balita (0 – 59 bulan) Menurut Status Gizi di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005 – 2007 NO TAHUN GIZI BURUK GIZI KURANG JLH GIZI BURUK+GIZI KURANG GIZI NORMAL GIZI LEBIH (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1. 2005 12,00 27,00 39,00 60,30 0,70 2. 2006 10,30 26,50 36,80 62,50 0,70 3. 2007 7,10 30,70 37,80 61,60 0,60 Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2007 Tabel 2.20 Jumlah Balita Menurut Status Gizi Per Kabupaten/Kota se Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2006 No Kabupaten Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih (1) (2) (3) (4) (6) (7) 1 Sumba Barat 1.054 2.041 3.554 25 2 Sumba Timur 341 1.457 3.519 82 3 Kab. Kupang 242 1.180 2.086 10 4 TTS 165 579 909 0 5 TTU 277 1.064 1.318 8 6 Belu 125 906 2.213 11 7 Alor 359 897 1.449 26 8 Lembata 130 1.602 4.439 115 9 Flotim 126 910 1.616 15 10 Sikka 186 853 1.724 20 11 Ende 120 778 1.708 16 12 Ngada 57 554 1.978 78 13 Manggarai 5.581 8.879 25.227 301 14 Rote Ndao 985 2.983 6.375 20 15 Kota Kupang 150 624 1.710 33 16 Manggarai Barat 94 443 955 10 Jumlah (Provinsi) 9.992 25.750 60.780 770 Tahun 2005 8.030 62.094 170.952 1,267 Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota se Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2006 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 19 - Status gizi masyarakat dapat diukur melalui indikator-indikator, antara lain status gizi balita dan status gizi ibu hamil. Status gizi Balita Pada tahun 2005 sampai dengan 2007 memngalami penurunan, namun jika digabungkan dengan status Balita Gizi kurang nampak mengalami peningkatan, hal mana mengindikasikan situasi yang belum kondusif. Situasi rawan gizi tersebut pada umumnya merata diseluruhnya kabupaten, kecuali Manggarai. Dengan demikian harus menjadi perhatian para pemangku kepentingan di daerah. 2.4.1.4. Mortalitas 2.4.1.4.1 Kasus kematian Bayi Jumlah kasus kematian Bayi pada tahun 2004 sebanyak 1.347 kasus, tahun 2005 meningkat menjadi 1.383 kasus, tahun 2006 menurun menjadi 1.275 kasus, dan tahun 2007 menurun lagi menjadi 1.193 kasus. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 2.21. berikut ini : Tabel 2.21 Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita Tahun 2004 – 2007 di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Jumlah % lahir mati Jmlh bayi mati Jmlh balita Jmlh balita Lahir mati hidup Lahir mati Lahir hidup+ Lahir mati 2004 119.543 1.487 73.254 2,03 1.347 291.507 755 2005 112.580 1.559 94.921 1,64 1.383 383.821 707 2006 92.845 1.328 95.555 1,39 1.275 415.332 862 2007 92.930 1.412 94.342 1,50 1.193 395.673 348 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2007 Kalau dilihat Angka Kematian Bayi dan Balita menurut kabupaten/kota maka seperti pada tabel 2.22 berikut ini. Tabel 2.22 Jumlah Kematian Bayi dan Kematian Balita menurut Kabupaten Se Provinsi NTT, tahun 2004 - 2007 No. Kabupaten Jumlah Bayi MatI Jumlah Balita Mati 2004 2005 2006 2007 2004 2005 2006 2007 1 Sumba Barat - 76 76 92 120 120 120 36 2 Sumba Timur 27 27 30 95 30 30 23 23 3 Kab. Kupang 90 11 87 108 61 5 22 37 4 TTS 224 224 147 79 65 65 53 19 5 TTU 145 145 145 90 38 38 38 25 6 Belu 208 208 210 104 67 67 389 Na 7 Alor 21 21 21 33 30 30 30 13 8 Lembata 35 42 50 55 13 19 9 14 9 Flotim 137 40 30 35 13 26 20 27 10 Sikka 54 98 74 19 57 47 18 49 11 Ende 52 17 12 62 5 7 5 8 12 Ngada 71 71 20 79 19 19 6 Na 13 Manggarai 153 153 198 157 30 30 60 56 14 Rote Ndao 19 96 87 26 59 53 42 10 15 Kota Kupang 61 61 11 62 119 119 9 13 16 M. Barat 50 93 77 97 29 32 18 18 Jumlah Prov. 1.347 1.307 1.199 1.193 755 707 862 348 Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota se Provinsi NTT Tahun 2006 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 20 - 2.4.1.4.2 Tingkat Kematian Ibu Tingkat kematian ibu masih merupakan masalah yang dominan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus kematian ibu antara lain : faktor ekonomi, sosial, budaya, geografis, transportasi dan faktor kesehatan itu sendiri. Faktor-faktor tersebut secara implisit telah tampak dalam “ 4 Terlalu” (Terlalu muda, Terlalu tua, Terlalu rapat jarak kehamilan, dan Terlalu banyak anak) dan “3 Terlambat” (Terlambat ambil keputusan, Terlambat menjangkau fasilitas kesehatan dan Terlambat memperoleh pertolongan)”. Kasus kematian ibu tertinggi di TTS, Manggarai, Kab Kupang, dan Sumba Barat. Kasus kematian terendah di Kota Kupang, Rote Ndao, Lembata, dan TTU. Data selengkapnya untuk setiap kabupaten dapat dilihat pada Tabel 2.23. berikut : Tabel 2.23 Jumlah Kematian Ibu Maternal menurut Kabupaten Se Provinsi NTT, tahun 2007 No. Kabupaten Jumlah Lahir Jumlah Kematian Maternal Kematian Ibu Hamil Kematian Ibu Bersalin Kematian Ibu Nifas Jmlh 1 Sumba Barat 11.402 0 22 1 23 2 Sumba Timur 5.244 4 10 2 16 3 Kab. Kupang 7.124 4 5 16 25 4 TTS 4.087 2 36 9 47 5 TTU 5.694 1 5 2 8 6 Belu 8.086 6 7 2 15 7 Alor 3.780 3 8 0 11 8 Lembata 2.482 2 4 1 7 9 Flotim 2.474 6 7 1 14 10 Sikka 6.829 3 6 0 9 11 Ende 5.664 4 6 1 11 12 Ngada 5.755 6 3 3 12 13 Manggarai 11.030 4 18 4 26 14 Rote Ndao 3.069 1 3 2 6 15 Kota Kupang 6.496 0 5 0 5 16 Mggarai Barat 3.734 0 2 7 9 Jumlah Prov. 92.930 46 147 51 244 Tahun 2006 92.845 36 175 42 253 Tahun 2005 112.580 50 218 79 347 Tahun 2004 119.543 68 230 185 484 Sumber : Profil Kesehatan se Provinsi NTT 2007 2.4.1.5 Usia Harapan Hidup. Usia Harapan Hidup (UHH) penduduk NTT pada tahun 2004 sekitar 64,4 tahun, pada tahun 2005 meningkat menjadi 64,9 tahun dan pada tahun 2006 mencapai 65,1 tahun. Jika dibandingkan UHH penduduk lelaki dan perempuan tercatat UHH perempuan lebih panjang 67,2 tahun sedangkan lelaki 62,9 tahun. Jika dibandingkan UHH 2006 (65,1 tahun) dengan UHH pada tahun 2004 (64,4 tahun) pertanda ada perubahan sekitar 1,1%. Namun, jika UHH penduduk NTT dibandingkan dengan UHH penduduk Indonesia (2006) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 21 - sekitar 66,2 tahun, pertanda UHH penduduk NTT masih berada dibawah taraf nasional. Meskipun demikian dengan adanya kecenderungan meningkatnya UHH penduduk NTT, setidaknya telah mencerminkan ada perbaikan gizi dan peningkatan pelayanan kesehatan yang memungkinkan tendensi tersebut. 2.4.2. Sistem Kesehatan Daerah Sistem Kesehatan Nasional (SKN) mengisyaratkan Provinsi dan Kabupaten/Kota mengembangkan sistem kesehatan daerah yang terintegrasi kedalam sistem kesehatan nasional dengan memperhatikan karakteristik lokal di masing-masing daerah. Terdapat (6) enam sub sistem dalam sistem kesehatan nasional yang di dalam implementasi penyelenggaraan urusan pemerintahan diklasifikasikan sebagai sub bidang dari bidang kesehatan yang dilaksanakan secara konkuren antara Pusat, pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam sistem kesehatan nasional. Ke-enam sub bidang ini meliputi sub bidang pembiayaan, sub bidang SDM Kesehatan, sub bidang obat perbekalan kesehatan, sub bidang pemberdayaan masyarakat, sub bidang manajemen kesehatan dan sub bidang upaya kesehatan. Penataan bidang kesehatan ke dalam suatu kesatuan Sistem Kesehatan Daerah (SKD) belum dilakukan secara baik. Berbagai masalah dan tantangan yang terdapat pada masing-masing sub bidang secara langsung berpengaruh pada status kesehatan masyarakat. 2.4.2.1 Sub Bidang Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan berkaitan erat dengan kemampuan keuangan daerah untuk melaksanakan program pembangunan bidang kesehatan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Pembangunan kesehatan di provinsi NTT selama ini tidak hanya biayai oleh APBN, DAK dan APBD tetapi juga berasal dari sumber pembiayaan lain seperti kerjasama bilateral, multilateral dan badan PBB seperti UNICEFdan WHO. Adanya dukungan pembiayaan dari berbagai sumber tersebut mengindikasikan pentingnya peran koordinatif pemerintah daerah provinsi dalam mendayagunakan berbagai potensi pembiayaan ini terutama bersumber kerjasama luar negeri di tingkat provinsi. 2.4.2.2 Sub Bidang Sumber Daya Manusia Kesehatan Pada tahun 2007, jumlah tenaga kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan ( Puskesmas, Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan di Kabupaten/Kota dan Provinsi) di Provinsi NTT sebanyak 9.133 orang dengan rincian Medis sebanyak 764 orang, Perawat dan Bidan sebanyak 6.588 orang, Farmasi sebanyak 431 orang, gizi sebanyak 307 orang, teknisi medis sebanyak 329 orang, sanitasi 493 orang dan kesehatan masyarakat sebanyak 221 orang. Berdasarkan jumlah tenaga medis tersebut, maka rasio tenaga kesehatan di daerah per 100.000 penduduk sebesar 205 ini berarti bahwa setiap 100.000 penduduk dilayani oleh 205 tenaga kesehatan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 22 - Tabel: 2.24 Rasio Tenaga kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan Di provinsi Nusa Tenggara Timur, tahun 2007 Jenis Tenaga Kesehatan Jumlah Nakes Rasio Nakes NTT Rasio Nasional Dokter Umum 541 12,16 : 100.000 40 : 100.000 Dokter Spesial 69 1,55 : 100.000 6 : 100.000 Dokter Gigi 154 3,46 : 100.000 11 : 100.000 Perawat 3.865 86,88 : 100.000 117 : 100.000 Perawat Gigi NA 7,6 : 100.000 30 : 100.000 Bidan 2.723 61,21 : 100.000 100 : 100.000 Ahli Gizi 307 6,9 : 100.000 40 : 100.000 Sanitarian 493 11,1 : 100.000 40 : 100.000 Apoteker 69 1,55 : 100.000 10 : 100.000 Sarjana Kesehatan Masy 221 4,2 : 100.000 40 : 100.000 Asisten Apoteker 222 4,99 : 100.000 30 : 100.000 Keteknisan Medis 329 7,4 : 100.000 15 : 100.000 Keterapian Fisik NA 0,7 : 100.000 4 : 100.000 Sarjana Farmasi 34 0,4 : 100.000 D III Farmasi 106 2,04 : 100.000 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007. Sementara itu, berdasarkan rasio masing-masing jenis tenaga kesehatan per 100.000 penduduk menunjukkan bahwa rasio terbesar adalah tenaga keperawatan dan rasio bidan, sementara rasio jenis tenaga kesehatan lainnya masih sangat rendah. Berdasarkan persebarannya, pada tahun 2005 jumlah tenaga kesehatan di Provinsi NTT sebanyak 4.231 orang, yang terdiri dari Medis ( Dokter, Dokter Gigi, Dokter/Dokter Gigi Spesialis), 309 orang, Perawat dan Bidan 3.300 orang, Farmasi (Apoteker, Asisten Apoteker) 175 orang, Gizi ada 114 orang, Teknisi Medis 46 Orang, Sanitasi 237 orang dan Kesehatan Masyarakat 50 orang. Pada tahun 2007 jumlah tenaga kesehatan berdasarkan persebarannya di Provinsi NTT mengalami peningkatan menjadi 9.307 orang, terdiri dari Medis, 772 orang, Perawat dan Bidan 6.675 orang, Farmasi 441 orang, Gizi 312 orang, Teknisi Medis 337 Orang, Sanitasi 513 orang dan Kesehatan Masyarakat s 257 orang. Persebaran tenaga kesehatan menurut unit kerja pada tahun 2007 yakni yang bekerja pada Puskesmas (PUSTU dan POLINDES/ POSKESDES) sebanyak 6.111 orang (65,66%), yang bekerja di Rumah Sakit sebanyak 2.359 orang (25,35%), yang bekerja pada Institusi Diklat/Diknakes sebanyak 158 orang (1,70%), yang bekerja pada sarana kesehatan lain sebanyak 16 orang (0,17) dan yang bekerja pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebayak 663 orang (7,12%). Rincian jumlah persebaran tenaga kesehatan menurut unit kerja sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 23 - Tabel : 2.25 Persebaran Tenaga Kesehatan Di Provinsi NTT Menurut Unit Kerja tahun 2007 N o Unit Kerja TENAGA KESEHAAN Med is Perawt & Bidan Far - masi Gizi Tek nisi Med is Sani tasi Kesmas Jumlah Jml Jml Jml Jml Jml Jml Jml Abs % 1 Puskesmas (Pustu, Polindes / Poskesdes) 492 4.678 202 188 129 372 50 6.111 65,66 2. Rumah Sakit 234 1.696 134 53 173 37 32 2.359 25,35 3. Diklat/Diknakes 7 84 10 5 0 18 34 158 1,70 4. SarKes Lain 1 3 0 0 8 2 2 16 0,17 5. Dinkes Kab/Kota 38 214 95 66 27 84 139 663 7,12 Jumlah 772 6.675 441 312 337 513 257 9.307 100 Tahun 2006 432 5.301 374 271 95 424 77 6.974 100 Tahun 2005 309 3.300 175 114 46 237 50 4.231 100 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007 2.4.2.3 Sub Bidang Obat dan Perbekalan Obat dan perbekalan kesehatan adalah komoditas khusus yang memerlukan penanganan khusus. Berbeda dengan komoditas perdagangan lainnya, karena selain merupakan komoditas perdagangan, obat dan perbekalan kesehatan juga memiliki fungsi sosial. Karenanya permasalahan ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauannya perlu ditangani secara khusus, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara itu menyangkut kebijakan, bimbingan dan pengawasan perbekalan dan alat kesehatan serta kefarmasian secara keseluruhan belum ditangani secara optimal. Pada umumnya kondisi sarana pelayanan obat di Provinsi NTT masih terbatas, baik Apotek, Toko Obat, Gudang Obat, Pedagang Besar Farmasi dan Penyalur Alat Kesehatan. Pada umumnya sarana pelayanan obat yang ada masih menumpuk di perkotaan dan belum menjangkau wilayah-wilayah pedalaman. Hal ini tentu akan mempersulit masyarakat yang membutuhkan obat untuk menanggulangi penyakit yang dideritanya. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 24 - Tabel 2.26 Jumlah Sarana Kefarmasian (Apotek, Gudang Obat, Toko Obat, Penyalur Alat Kesehatan) menurut Kabupaten se Provinsi NTT, tahun 2006 No Kabupaten Jumlah Apotek Jumlah Gudang Obat Jumlah Toko Obat Pedagang Besar Farmasi Penyalur Alat Kesehatan 1 2 3 4 5 6 7 1 Sumba Barat 2 1 - - - 2 Sumba Timur 4 1 15 - - 3 Kab. Kupang - 1 - - - 4 TTS 1 1 1 - - 5 TTU 2 1 6 - 3 6 Belu 8 1 46 - - 7 Alor 2 1 1 - - 8 Lembata 2 1 1 - - 9 Flotim 5 1 4 - - 10 Sikka 9 1 14 1 4 11 Ende 4 1 13 1 1 12 Ngada 3 1 1 - 2 13 Manggarai 5 1 17 4 3 14 Rote Ndao 2 1 - - - 15 Kota Kupang 39 1 31 24 86 16 Manggarai Barat 1 1 2 1 - JUMLAH 89 16 152 31 99 TAHUN 2005 71 14 162 24 76 Sumber : 1) Profil Kesehatan Kabupaten/Kota se provinsi NTT tahun 2006 2) Laporan Subdin Yanmedik Dikes Provinsi NTT tahun 2006 2.4.2.4 Sub Bidang Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat untuk menolong diri sendiri melalui upaya-upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) seperti pengembangan Desa SiAga, revitalisasi Posyandu, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan penggalangan dana sehat kurang mendapat perhatian yang optimal, sehingga menciptakan ketergantungan masyarakat pada uluran tangan pemerintah dan pihak lain. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin meredupnya upaya-upaya pembiayaan bersumber masyarakat melalui penggalangan dana sehat di masyarakat. Perkembangan Posyandu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2004 jumlah Posyandu sebanyak 7.174 buah meningkat menjadi 8.304 buah pada tahun 2007 atau dalam periode tiga tahun meningkat sebesar 15,75%. Dari 8.304 buah Posyandu yang ada, sebanyak (24,17%) adalah Posyandu Purnama dan sebanyak (9,09%) Posyandu Mandiri. Perkembangan Posyandu menurut strata dalam periode tahun 2004-2007, dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 25 - Tabel : 2.27 JUMLAH POSYANDU MENURUT STRATA, DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR, TAHUN 2004-2007 Jenis Strata Tahun 2004 2005 2006 2007 Pratama 3.798 2.426 0 3.274 Madya 1.843 2.510 0 2.268 Purnama 1.379 1.916 3.383 2.007 Mandiri 154 161 4.620 755 Jumlah 7.174 7.013 8.003 8.304 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2007 2.4.2.5 Sub Bidang Manajemen Kesehatan Manajeman kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan kesehatan. Belum tertatanya sistem informasi kesehatan yang memadai dalam hal pengumpulan, pengolahan dan analisis data untuk menghasilkan informasi yang dapat dipergunakan dalam pengambilan keputusan adalah salah satu masalah yang dirasakan dalam manajemen kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam tatanan desentralisasi atau otonomi daerah di bidang kesehatan, kualitas dari perencanaan dan kebijakan sangat tergantung pada kualitas dari data dan informasi yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA). Sistim infomasi kesehatan Provinsi sangat ditentukan oleh kualitas dari Sistem Informasi Kesehatan Kabupaten/Kota. Demikian pula arahan kebijakan dan regulasi kesehatan daerah yang masih lemah mengakibatkan pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan belum maksimal. Sebagai contoh belum maksimalnya penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria bidang kesehatan oleh Pemerintah Pusat sehingga Pemerintah Provinsi belum maksimal melakukan bimbingan dan pengendaliannya di daerah. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan provinsi dan pengelolaan survei kesehatan daerah (surkesda) skala provinsi masih terbatas. Dalam urusan regulasi kesehatan daerah ternyata selama sepuluh tahun perjalanan desentralisasi hanya menghasilkan 3 (tiga) Peraturan Daerah yang berhubungan dengan bidang kesehatan. Hal yang sama terlihat pada pemantauan pemanfaatan Iptek kesehatan dan penyelenggaraan kerjasama luar negeri, serta pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala provinsi yang masih membutuhkan peningkatan. 2.4.2.6 Sub Bidang Upaya Kesehatan Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan gizi buruk melalui surveilans epidemiologi dan surveilans gizi buruk belum optimal. Hal ini terlihat dari masih banyaknya penyakit menular dan gizi buruk atau gizi kurang yang tidak terdeteksi secara dini sehingga masih sering terjadi kejadian luar biasa penyakit menular dan “kejadian luar biasa” gizi buruk. Demikian juga upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan kejadian luar biasa sering tidak maksimal sehingga menimbulkan korban jiwa. Hal yang sama terjadi pada upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan. Berbagai upaya pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat seperti pendidikan dan penyuluhan kesehatan, pelayanan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak (KIBBLA) dan pelayanan keluarga berencana (KB) belum dapat diselenggarakan dengan optimal, meskipun berbagai sarana dan prasarana pelayanan kesehatan terus ditingkatkan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 26 - 2.4.2.6.1. Puskesmas Jumlah Puskesmas terus meningkat dari 229 unit pada tahun 2004 menjadi 242 unit pada tahun 2005, kemudian meningkat menjadi 264 unit pada tahun 2006, dan meningkat lagi menjadi 284 unit pada tahun 2007. Pada periode 2004 – 2007, rasio Puskesmas terhadap 100.000 penduduk mengalami peningkatan dari 5,46 per 100.000 penduduk pada tahun 2004 dan 5,73 per 100.000 penduduk pada tahun 2005 menjadi 6,06 per 100.000 penduduk pada tahun 2006, dan 6,38 per 100.000 penduduk pada tahun 2007. Hal ini berarti bahwa dalam periode ini setiap 100.000 penduduk rata-rata dilayani oleh 5-6 unit Puskesmas. Jumlah Puskesmas dan rasio Puskesmas terhadap 100.000 penduduk pada tahun 2004-2007 disajikan pada Tabel 2.28 dibawah ini. Tabel: 2.28 Jumlah Puskesmas dan Rasionya Terhadap 100.000 Penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2004 – 2007 Tahun Jumlah Puskesmas Jumlah Penduduk Rasio Puskesmas/ 100.000 Rawat Inap Penduduk Non Rawat Inap Total 2004 82 147 229 4.188.774 5.46 2005 88 154 242 4.218.795 5.74 2006 97 167 264 4.355.121 6.06 2007 102 182 284 4.448.873 6.38 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi NTT, Tahun 2007 Jumlah Puskesmas pembantu juga cenderung meningkat dari 866 unit pada tahun 2004 menjadi 909 unit pada tahun 2005 dan 917 unit pada tahun 2006, dan 938 unit pada tahun 2007. Jumlah Puskesmas pembantu dan rasio Puskesmas pembantu terhadap 100.000 penduduk pada tahun 2004-2007 disajikan pada Tabel di bawah ini. Tabel: 2.29 Jumlah Puskesmas Pembantu dan Rasionya Terhadap 100.000 Penduduk di NTT Tahun 2004 – 2007 Tahun Jumlah Pustu Jumlah Penduduk Rasio Puskesmas (per 100.000 penduduk) 2004 866 4.188.774 20.67 2005 909 4.218.795 21.55 2006 917 4.355.121 21.06 2007 938 4.448.873 21.08 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi NTT Tahun 2007 Berdasarkan jumlah Puskesmas dan Puskesmas pembantu, maka rasio Puskesmas pembantu terhadap Puskesmas pada tahun 2004-2007 rata-rata 4 : 1, artinya setiap Puskesmas rata-rata didukung oleh 4 Puskesmas pembantu dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 27 - Tabel 2.30 Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar per Kabupaten se Provinsi NTT Tahun 2006 No. Kabupaten Jumlah Puskesmas Jumlah Pustu Jumlah Pusling Jumlah Kecamatan RATIO Non RRI RRI Total Puskesmas Pustu 1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 1 Sumba Barat 10 7 17 60 - 16 4,15 14,64 2 Sumba Timur 10 7 17 64 - 15 7,82 29,43 3 Kab. Kupang 21 6 27 111 15 29 7,44 30,60 4 TTS 19 5 24 64 20 23 5,82 15,52 5 TTU 10 5 15 51 16 24 7,18 24,40 6 Belu 14 4 18 48 16 17 4,56 12,16 7 Alor 13 5 18 46 10 17 10,17 25,99 8 Lembata - 8 8 25 11 8 7,82 24,43 9 Flotim 8 7 15 43 - 14 6,66 19,09 10 Sikka 11 6 17 65 - 17 6,16 23,56 11 Ende 7 13 20 59 - 17 8,42 24,84 12 Ngada 8 6 14 61 - 14 5,59 24,37 13 Manggarai 17 6 23 86 - 12 4,65 17,37 14 Rote Ndao 8 4 12 76 10 8 10,85 68,71 15 Kota Kupang 3 4 7 30 - 4 2,51 10,75 16 Mggarai Barat 8 4 12 28 - 5 6,14 14,32 Jumlah 167 97 264 917 98 240 6,06 21,06 TAHUN 2005 154 88 242 909 98 191 5,74 21,55 TAHUN 2004 147 82 229 866 - 187 5,47 20,67 Sumber : 1) Profil Kesehatan Kabupaten/Kota se Provinsi NTT tahun 2006 2) Laporan Subdin Yankesmas Dikes Provinsi NTT, tahun 2006 2.4.2.6.2. Rumah Sakit Jumlah sakit di Provinsi NTT terus mengalami peningkatan, pada tahun 2004 jumlah rumah sakit di NTT 25 unit dan bertambah menjadi 35 unit pada tahun 2007. Perkembangan jumlah rumah sakit menurut jenisnya di provinsi NTT dari tahun 2004 sampai dengan 2007 sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel : 2. 31 Banyaknya Rumah Sakit Menurut Jenis Rumah Sakit 2004-2006 Jenis Rumah Sakit 2004 2005 2006 2007 Rumah Sakit Pemerintah 14 15 17 17 Rumah Sakit Swasta 8 10 11 12 Rumah Sakit Khusus 1 1 1 2 Rumah Sakit TNI/Polri 2 3 3 4 Jumlah 25 29 32 35 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi NTT Tahun 2007 Selama kurun waktu tahun 2004 - 2007 terjadi pertambahan kenaikan kapasitas rumah sakit yang ditunjukan oleh pertambahan jumlah tempat tidur pada rumah sakit Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 28 - umum. Pada Tahun 2004 jumlah tempat tidur pada RSUD sebanyak 1.288 buah meningkat menjadi 1.375 buah pada tahun 2007. Sedangkan pada Rumah Sakit Swasta justru mengalami penurunan jumlah tempat tidur dari 1.930 buah pada tahun 2004 menurun menjadi 603 buah pada tahun 2007. sebagaimana secara ringkas pada dilihat Tabel berikut. Tabel : 2.32 Rasionya Tempat Tidur Rumah Sakit Berdasarkan Jenis Rumah Sakit Tahun 2004 – 2007 Tahun Jumlah Tempat Tidur di RS Rasio Tempat Tidur per 100.000 penduduk RSUD Swasta Total Rasio 2004 1.288 642 1.930 46,1 2005 1.325 689 2.014 47,7 2006 1.359 642 2.001 45,9 2007 1.375 603 1.978 44,46 Sumber : Profil Kesehatan Provinsi NTT Tahun 2007 Rasio antara kapasitas tempat tidur rumah sakit per 100.000 penduduk, selama tahun 2004 – 2007, relatif tidak berubah, yaitu berkisar antara 45-48 per 100.000 penduduk atau rata-rata setiap tempat tidur rumah sakit melayani 2.249 penduduk. 2.4.3. Kerjasama Lintas Bidang dan Lintas Batas Status kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh berbagai determinan penting yang berada di luar kendali bidang kesehatan sepenuhnya seperti faktor lingkungan (40%), faktor keturunan (20%) dan faktor perilaku (10%). Sehingga sesungguhnya kendali bidang kesehatan hanya mempunyai kontribusi sebesar 30% saja. Di samping itu masalah kesehatan masyarakat tidak mengenal batas-administrasi pemerintahan (antar kabupaten/kota, antar provinsi, dan antar negara). Oleh sebab itu kerjasama lintas bidang dan lintas batas administrasi pemerintahan dalam perencanaan program bersama secara lintas-bidang (cross-cutting issues) dan lintas-batas (cross-border issues ) menjadi prasyarat penting dalam peningkatan status kesehatan masyarakat. Kerjasama lintas bidang dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat selama ini masih lemah disebabkan belum adanya koordinasi yang baik. Upaya yang telah dilakukan dengan membentuk 4 (empat) Badan Kerjasama Kesehatan Wilayah (Joint Health Council) selama lima tahun terakhir belum menampakkan hasil yang memuaskan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 29 - 2.5. Kondisi Perekonomian Pembangunan bidang ekonomi dapat terlihat pada pertumbuhan sektor ekonomi. Sampai dengan tahun 2007 perkembangan sektor ekonomi mengalami pertumbuhan yang positif. Namun demikian, pertumbuhan tersebut lebih banyak digerakkan oleh aktivitas konsumsi, sehingga fondasi ekonomi yang tercipta kurang kokoh dalam jangka menengah dan jangka panjang. Kenyataan ini berpengaruh juga pada kondisi kesejahteraan penduduk NTT. Akibatnya angka kemiskinan penduduk NTT masih sulit diturunkan. Tingginya angka kemiskinan diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain: rendahnya tingkat pendapatan perkapita masyarakat, masih tingginya angka pengangguran, belum berkembangnya sektor riil dan rendahnya pertumbuhan dan produktivitas UKM dan Koperasi. Pembangunan bidang ekonomi mengindikasikan tingkat pertumbuhan rata rata tahun 2005 sebesar 5 %, tahun 2006 sebesar 5,08 % dan mengalami percepatan pada 2007 menjadi 5,5 %, sedangkan memasuki triwulan pertama 2008 mengalami perlambatan pertumbuhan sehingga masih dibawah rata-rata nasional sebesar 5,61 % sedangkan target Propeda ditetapkan bertumbuh sebesar rata-rata sebeser 6 %. 2.5.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2.5.1.1. Struktur PDRB NTT Dari sudut analisis struktural, Sektor Pertanian dan Sektor Jasa Pemerintah masih mendominasi perekonomian NTT. Dengan kecenderungan penurunan peran sektor pertanian dan peningkatan peran sektor jasa-jasa pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa investasi masyarakat dan swasta masih sangat rendah dibanding investasi pemerintah. Padahal investasi pemerintah lebih kepada pelayanan dasar publik dengan efek penyerapan tenaga kerja yang rendah. Sektor pertanian yang masih berperan kuat walaupun mengalami kecenderungan menurun mengindikasikan ekonomi NTT masih dalam kategori ekonomi pertanian. Karena pertanian di NTT juga masih tergolong subsisten, maka dapat pula dikatakan bahwa ekonomi NTT masih tergolong sebagai ekonomi subsisten. Tabel 2.33 Struktur Ekonomi Sembilan Sektor Propinsi NTT Tahun 2002 – 2006, Atas Dasar Harga Konstan 2000. Sektor 2002 2003 2004 2005 2006 Pertanian 44.33 43.11 42.36 42.58 41.38 Pertambangan 1.51 1.44 1.38 1.39 1.38 Industri 1.63 1.64 1.62 1.63 1.63 Listrik, Gas, Air Bersih 0.41 0.40 0.40 0.40 0.41 Konstruksi 7.40 7.21 6.93 6.98 6.95 Perdagangan, Hotel, dll 14.99 15.09 14.99 15.10 15.32 Pengangkutan & Komunikasi 6.03 6.19 6.37 6.41 6.67 Keuangan, Jasa Perusahaan, dll 2.92 2.88 2.81 2.97 3.14 Jasa-jasa 21.29 22.05 23.15 22.52 23.11 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007 Jika struktur ekonomi NTT dianalisis dalam kategori 3 sektor, maka Sektor Primer dan Tertier masih sangat kuat mewarnai ekonomi NTT. Peranan Sektor Primer semakin Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 30 - menurun seiring peningkatan sektor tertier dalam ekonomi NTT, sedangkan sektor sekunder relatif tetap. Padahal sekitar 70% TK masih bekerja di sektor primer. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor primer masih harus menjadi prioritas, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan. Tabel 2.34 Struktur Ekonomi NTT 3 sektor (2002 - 2006) Sektor 2002 2003 2004 2005 2006 Primer 45.84 44.55 43.74 43.97 42.76 Sekunder 9.44 9.25 8.95 9.01 8.99 Tertier 45.23 46.21 47.32 47 48.24 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. 2.5.1.2. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan PDRB NTT relatif konstan antara tahun 2002 sampai 2004, kemudian mengalami penurunan di tahun 2005, diikuti peningkatan berarti di Tahun 2006. Rata-rata pertumbuhan selama periode 2002 – 2006 tidak mencapai 5% (tergolong rendah) dibanding rata-rata pertumbuhan nasional yang mencapai 5,10%. Jika kondisi demikian terus berlangsung, maka ketertinggalan NTT akan semakin melebar. Tabel 2.35 PDRB NTT dan Pertumbuhannya 2002-2006 (Harga Konstan 2000) Tahun PDRB (Juta Rupiah) Pertumbuhan (%) 2002 8,622,491 4.88 2003 9,016,717 4.57 2004 9,446,770 4.77 2005 9,769,548 3.10 2006 10,266,159 5.08 Rata-rata/Tahun 4.48 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Secara sektoral, Pertumbuhan ekonomi NTT diwarnai oleh pertumbuhan yang tinggi (> 5%) di sektor-sektor: 1. Perdagangan, hotel dan restauran, 2. Pengangkutan dan komunikasi, 3. Keuangan dan jasa perusahaan, serta 4. Jasa-jasa, khususnya jasa pemerintah Sementara itu, sektor-sektor primer (pertanian dan pertambangan) serta sektorsektor sekunder terutama industri yang menampung > 70% TK hanya tumbuh dibawah 5%. Oleh karenanya ke depan perlu adanya usaha pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor primer khususnya pertanian dan sektor sekunder khususnya industri untuk tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan sektor tertier. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 31 - Tabel 2.36 Pertumbuhan PDRB NTT Secara Sektoral Tahun 2002 - 2006 (Berdasarkan Harga Konstan 2000) Sektor 2003 2004 2005 2006 Rata2/ Thn Pertanian 2.78 3.50 0.19 5.73 3.05 Pertambangan 2.43 0.92 2.79 2.14 2.07 Industri 4.72 4.62 3.09 4.42 4.21 Listrik, Gas, Air Bersih 2.22 4.62 6.70 2.04 3.89 Konstruksi 1.94 1.42 2.61 1.10 1.77 Perdagangan, Hotel, dll 5.31 4.85 4.56 6.35 5.27 Pengangkutan & Komunikasi 7.23 8.66 7.13 7.09 7.53 Keuangan, Jasa Perusahaan, dll 3.06 8.21 9.14 2.97 5.85 Jasa-jasa 8.29 7.02 5.78 5.67 6.69 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Analisis lebih makro adalah dengan mengelompokkan ke sembilan sektor dimaksud kedalam 3 kategori sektor ekonomi yaitu Sektor Primer (Pertanian dan Pertambangan), Sektor Sekunder (Industri, Listrik/Gas/Air Bersih, dan Kontruksi), serta yang lainnya sebagai Sektor Terier, maka ditujukkan bahwa Sektor Primer dan Sekunder mengalami pertumbuhan rata-rata yang sangat rendah dibanding sektor Tertier. Pada tahun 2006 pertumbuhan sektor primer sempat melonjak mencapai 5,6% dari pertumbuhan rendah (< 3,5%) antara tahun 2003-2005. Sifat pertumbuhan demikian dihubungkan dengan ekonomi NTT yang masih subsisten, mengandung beberapa makna: 1. Laju penyerapan tenaga kerja rendah karena sektor jasa secara teoritis, bersifat padat modal, walaupun poduktivitas TK di sektor ini adalah yang paling tinggi, 2. Terjadi penurunan tingkat pendapatan perkapita di sektor pertanian karena penurunan peran sektor primer dan pertumbuhannya yang sangat rendah di banding sektor tertier, relatif tidak diikuti oleh perpindahan tenaga kerja keluar dari sektor pertanian secara nyata, 3. Peningkatan underemployment di sektor primer, 4. Struktur ekonomi kurang mempunyai landasan yang kuat, karena sektor sekunder terutama industri sangat lambat perkembangannya, terutama industri yang memberi nilai tambah kepada sektor pertanian, dan ke depan mampu mentransfer TK unskill dari sektor pertanian. Tabel 2.37 Pertumbuhan PDRB NTT Sektoral Tahun 2002 - 2006 (Berdasarkan Harga Konstan 2000) Sektor 2003 2004 2005 2006 Rata2/Thn Primer 2.77 3.41 0.27 5.61 3.02 Sekunder 2.44 2.13 2.88 1.74 2.30 Tertier 6.83 6.61 5.78 5.91 6.28 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 32 - 2.5.1.3. Ekonomi Pertanian Peranan sektor pertanian yang masih kuat dalam ekonomi NTT, dicirikan oleh peranan yang besar dari sub sektor tanaman pangan yang bertahan > 20% selama periode 2002 – 2006, diikuti sub sektor peternakan yang menyumbang > 10% selama periode yang sama. Perubahan struktur ekonomi pertanian relatif tidak berarti selama periode tersebut. Tabel 2.38 Struktur Ekonomi Pertanian NTT (2002 - 2006) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Sub Sektor 2002 2003 2004 2005 2006 Tanaman Bahan Makanan 22.37 22.07 22.05 20.81 20.59 Tanaman Perkebunan 4.14 4.01 3.84 4.13 4.12 Peternakan dan Hasil-hasilnya 13.24 12.97 12.61 12.70 12.72 Kehutanan 0.28 0.27 0.26 0.26 0.26 Perikanan 3.83 3.78 3.82 3.79 3.81 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Dari sudut rata-rata pertumbuhan selama periode 2003-2006, sub sektor: (a) tanaman perkebunan, (b) peternakan dan hasil-hasilnya serta (c) perikanan menunjukkan pertumbuhan tinggi dibanding sub sektor tanaman bahan makanan dan kehutanan. Dari sudut kemantapan pertumbuhan, dimana ada kecenderungan pertumbuhan yang bersifat semakin meningkat (increasing growth) adalah sub sektor tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan. Sub sektor tanaman bahan makanan pertumbuhannya bersifat sangat fluktuatif seiring dengan tingginya uncertainty yang berhubungan dengan ketidak pastian iklim. Tabel 2.39 Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian di NTT Tahun 2002 - 2006 (Berdasarkan Harga Konstan 2000) Sub Sektor 2003 2004 2005 2006 Rata2/Thn Tanaman Bahan Makanan 3.15 4.68 -2.70 4.27 2.35 Tanaman Perkebunan 1.35 0.27 10.78 5.35 4.44 Peternakan dan Hasil-hasilnya 2.45 1.84 3.79 5.64 3.43 Kehutanan 2.83 0.37 1.72 6.37 2.82 Perikanan 3.31 5.93 2.32 5.97 4.38 Sektor Pertanian 2.78 3.50 0.19 5.73 3.05 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. 2.5.1.4. PDRB Per Kapita PDRB per kapita dapat juga dipadankan dengan produktivitas per kapita, yaitu kemampuan setiap penduduk menghasilkan barang dan jasa dalam satu tahun. Data ini menunjukkan bahwa produktivitas penduduk NTT sangat rendah dibanding produktivitas per kapita secara nasional, yaitu hanya sekitar 1/3 dari produktivitas per kapita nasional. Jika diamati tingkat pertumbuhan PDRB per kapita, maka NTT semakin ketinggalan dari PDRB/Kapita Nasional karena pertumbuhannya yang rendah di banding pertumbuhan secara nasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 33 - Tabel 2.40 PDRB Perkapita dan Pertumbuhannya untuk Tingkat NTT dan Nasional 2002- 2006 (Atas Dasar Harga Konstan 2000) Tahun PDRB/Kapita NTT PDRB/Kapita Nasional (Rp/Thn) Pertumbuhan (%) (Rp/Thn) Pertumbuhan (%) 2002 2,147,944 6,875,000 2003 2,210,034 2.89 7,005,000 1.89 2004 2,273,118 2.85 7,284,000 3.98 2005 2,315,720 1.87 7,496,000 2.91 2006 2,357,261 1.79 7,796,000 4.00 Rata-rata/Tahun 2.35 - 3.20 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Jika PDRB NTT dihubungkan dengan jumlah penduduk yang bekerja di setiap sektor ekonomi, maka dapat dihitung PDRB per Kapita Tenaga Kerja, yang menggambarkan produktivitas atau tingkat upah kotor per tenaga kerja sektoral. Produktivitas atau tingkat upah kotor tenaga kerja sektor primer dan sekunder di NTT masih sangat rendah dibanding produktivitas/upah kotor di sektor tertier. Bahkan dapat dikatakan bahwa tingkat upah kotor tenaga kerja di sektor primer dan sekunder masih jauh dibawah tingkat upah minimum regional. Tabel 2.41 Produktivitas/Tingkat Upah Kotor Tenaga Kerja di NTT (Tahun 2006) Sektor Kerja PDRB/Kapita Tenaga Kerja Thn. 2006 (Rp/Thn) (Rp/Bln) Primer 3,168,481 264,040 Sekunder 4,233,806 352,817 Tertier 13,288,812 1,107,401 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Sektor primer, terutama sektor pertanian di NTT menyerap tenaga kerja > 70%, sehingga dapat dipadankan bahwa tenaga kerja sektor pertanian mempunyai produktivitas yang sangat rendah, terutama karena tingginya underemployment (pengangguran tersembunyi di sektor tersebut (lihat bahasan tentang Kesempatan Kerja dan Pengangguran). 2.5.2. Kesempatan Kerja, Pengangguran dan Produktivitas TK Jumlah penduduk usia kerja yang tidak bekerja di NTT untuk kondisi 2006 tergolong rendah, tetapi yang bekerja tidak penuh ( < 8 jam per hari) mencapai 79,37% jauh lebih tinggi dari yang bekerja penuh (> 8 jam per hari). Kondisi ini kiranya dapat menjelaskan rendahnya produktivitas/tingkat upah TK di NTT. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 34 - Tabel 2.42 Jumlah Penduduk > 15 Tahun yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu (2006) Kategori Kerja Orang Persentase L P L + P L P L + P Un employment 35,240 75,123 110,363 1.79 3.81 5.59 Under employment 840,455 725,664 1,566,119 42.59 36.78 79.37 Full employment 213,376 83,322 296,698 10.81 4.22 15.04 Total 1,089,071 884,109 1,973,180 55.19 44.81 100.00 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. Tercatat bahwa penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja (baik yang bekerja penuh, maupun yang tidak) melingkupi 94%. Sebagian terbesar dari mereka (sekitar 70%) bekerja di sektor primer terutama di pertanian secara tidak penuh (underemployment). Hanya sebagian kecil yang bekerja disektor sekunder maupun sektor tertier. Kondisi demikian berbeda jauh dari kondisi nasional, dimana hanya sekitar 43% penduduk yang bekerja di sektor pertanian, selebihnya ( > 50%) bekerja disektor sekunder dan tertier. Bukanlah persoalan jika 70% TK di sektor pertanian bekerja penuh, tetapi menjadi persoalan di NTT karena mereka ternyata tergolong dalam tenaga kerja tidak bekerja penuh atau lebih sering dikenal dengan pengangguran tersembunyi. Kondisi pengangguran tersembunyi inilah yang mendetarminasi produktivitas yang rendah dari TK di sektor primer khususnya pertanian. Tabel 2.43 Persentase Penduduk 15 Tahun yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan, Tahun 2006 Primer (%) Sekunder (%) Tersier (%) Sumba Barat 76.12 14.10 9.77 Sumba Timur 72.34 11.94 15.74 Kupang 81.88 5.73 12.40 TTS 84.33 4.63 11.05 TTU 74.87 11.73 13.40 Belu 64.97 12.57 22.47 Alor 65.17 11.64 23.20 Lembata 81.96 2.37 15.66 Flotim 67.56 7.63 24.82 Sikka 55.66 22.29 22.06 Ende 65.06 13.31 21.65 Ngada 76.83 10.53 12.64 Mangga rai 82.91 6.32 10.78 Rote Ndao 68.30 17.80 13.90 Mabar 78.42 7.73 13.86 Kota Kupang 5.36 11.11 83.54 N T T 70.36 10.67 18.98 Nasional 43.01 17.62 39.37 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007. 2.6. Pembangunan Sektor-Sektor Produksi Luas wilayah daratan Provinsi Nusa Tenggara Timur 4.734.990 Ha, terdiri dari 1.655.466 Ha 34,96 % berpotensi untuk lahan pertanian. Potensi ini terdiri dari 1.528.258 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 35 - Ha atau 32,28 % merupakan potensi usaha pertanian lahan kering dan 127.208 Ha atau 2,69 % adalah usaha pertanian lahan basah (sawah). Walaupun kondisi iklim kering (semi arid) dengan sumber daya lahan yang didominasi lahan kering dengan tingkat kesuburan yang rendah namun upaya konservasi lahan dan penanganan budidaya yang baik (Good Agriculture Practices/GAP) akan mendukung pengembangan komoditi yang diharapkan. Luas wilayah perairan laut Provinsi Nusa Tenggara Timur mencapai 191.484 km2 (19.148.400 ha) atau sekitar 80% dari luas total wilayah. Perairan NTT termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 4 (Laut Flores) dan 9 (Samudera Hindia). Kedua WPP tersebut termasuk WPP yang sumberdaya ikan pelagis kecil dan pelagis besarnya masih dalam status kurang termanfaatkan (under utilized). Hal ini menunjukkan bahwa produksi perikanan tangkap dapat ditingkatkan melalui peningkatan pemanfaatan wilayah perairan untuk lebih meningkatkan kontribusi sektor perikanan dalam PDRB provinsi. Selain perikanan tangkap, perairan NTT juga memiliki potensi besar untuk kegiatan budidaya laut (marikultur), terutama di perairan pantai. Dengan panjang pantai yang mencapai 5.700 km, terdapat sekitar 5.150 ha lokasi yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut, mutiara, ikan kerapu, lobster, teripang, dan organisme lainnya. Hingga saat ini, baru 13% wilayah potensial tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya, terutama rumput laut. Wilayah NTT juga memiliki lahan untuk budidaya air payau seluas 35.455 ha yang baru termanfaatkan seluas 35% untuk budidaya ikan bandeng dan udang. Untuk budidaya ikan air tawar, tersedia lokasi seluas 8.375 ha yang pemanfaatannya baru mencapai sekitar 42%. Data tersebut memperlihatkan bahwa perikanan budidaya di NTT juga masih berpotensi ditingkatkan produksinya melalui pemanfaatan lahan. 2.6.1. Pertanian 2.6.1.1. Tanaman Pangan dan Perkebunan Pemanfaatan potensi lahan pertanian belum optimal. Luas lahan potensial untuk produksi pertanian di provinsi NTT terdiri dari lahan kering 1.528.308 ha, dan potensi lahan basah 284.103 ha. Dari total luas lahan kering yang tersedia, 202.810 ha tergolong sangat sesuai (S1), 478.930 ha dan kecocokan terbatas (S3) 846.568 ha. Pemanfaatan potensi lahan kering baru mencapai 40.37%. Penggunaan lahan lahan kering terdiri dari 483.165 hektar untuk budidaya tanaman pangan dan perkebunan, 30.089 hektar untuk budidaya sayur-sayuran, dan 102.892 untuk budidaya tanaman buah-buahan. Dari potensi lahan basah 284.103 ha yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota, baru 128.632 ha di antaranya yang sudah dikelola. Tingkat produktivitas pertanian yang dicapai juga dinilai masih rendah, dibanding angka-angka produktivitas nasional. Hingga tahun 2007, hasil tanaman-tanaman utama, seperti jagung, padi, dan tanaman-tanaman perkebunan unggulan provinsi secara rata-rata baru mencapai <50% dari angka rata-rata nasional. Untuk kelompok tanaman pangan, dalam tahun 2006, produksi tertinggi berasal dari ubi kayu, sebesar 868.114 ton, dengan peningkatan produksi 2.65% per tahun. Pada urutan ke dua adalah jagung, dengan produksi 636.595 ton. Peningkatan produksi jagung dalam enam tahun terakhir adalah 15.23% per tahun. Padi menempati urutan tiga, dengan produksi 498.015 ton. Rata-rata peningkatan produksi per tahun adalah 8,1%. Untuk kelompok komoditi perkebunan, hingga akhir Tahun 2006 kelapa dan jambu mete merupakan komoditi dominan, dengan luas areal budidaya masing-masing 167,268.81 Ha dan 160.457,95 Ha, dan produksi masing-masing 60.806 dan 32.471 ton. Total luas lahan produksi untuk kedua jenis tanaman tersebut mencapai 53,89 % dari total luas areal perkebunan di NTT. Urutan berikutnya ditempati berturut-turut adalah komoditi kemiri, kopi, kakao, kapuk, pinang, cengkeh, kapas. vanili. jarak, pala, lada, tembakau, dan sirih. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 36 - 2.6.1.2. Kehutanan Hutan sangat diperlukan dalam pemeliharaan lingkungan hidup dan daur hidrologi di daratan. Secara proporsi luasan hutan di NTT mencapai 38% dari total wilayah NTT. Sebagian besar areal hutan di NTT diperuntukkan sebagai hutan lindung, taman nasional dan suaka margasatwa. Luas hutan lindung mencapai 713.216,97 km2 yang sebagian besar terdapat di pulau-pulau seperti Timor dan Semau (265.641,64 km2), Flores dan sekitarnya (220.584,36 km2), dan Sumba (167.124,29 km2). Fungsi perlindungan dan peran kawasan hutan ini dalam daur hidrologi semakin terancam dengan maraknya perambahan dan pembakaran hutan, illegal logging, serta perladangan berpindah. Kondisi ini terjadi baik di daratan maupun hutan bakau di kawasan pantai. Untuk itu diperlukan penanganan yang sistematis untuk menghambat degradasi kawasan hutan tersebut. 2.6.1.3. Perikanan a. Perikanan Tangkap Potensi lestari (MSY) sumberdaya ikan di perairan NTT mencapai 388.700 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) mencapai 292.200 ton/tahun. Data memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 2000-2006 produksi perikanan tangkap terus mengalami peningkatan (Tabel 2.44). Meskipun demikian, hingga tahun 2007 tingkat pemanfaatan potensi perikanan NTT baru berkisar 30-40% JTB. Hal ini memperlihatkan bahwa produksi perikanan masih dapat dipacu dengan meningkatkan tingkat eksploitasi sumberdaya. Tabel 2.44 Trend Produksi Perikanan tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun Produksi (ton) Tingkat Pemanfaatan (%) 2000 81.437,7 27,8 2001 83.990,6 28,7 2002 85.463,6 29,2 2003 87.823,5 30,0 2004 96.142,2 32,9 2005 124.872,5 42,7 2006 97.039,2 33,2 2007 101.217,1 34,6 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2007 Dalam rangka meningkatkan produksi perikanan tangkap harus dilakukan pembenahan kualitas sumberdaya manusia nelayan dan teknologi penangkapan. Populasi nelayan menempati 5% dari total penduduk NTT dan jumlah nelayan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi, sebagian besar nelayan tersebut baru mampu beroperasi di wilayah perairan pantai (<12 mil). Operasi penangkapan kebanyakan dilakukan secara harian (one day fishing operation) karena sebagian besar hanya memiliki perahu tanpa motor dan motor tempel (Tabel 2.31). Dengan ukuran kapal seperti ini, perairan di luar 12 mil hingga batas ZEE hampir belum terjamah oleh nelayan yang berdomisili di NTT. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 37 - Tabel 2.45 Jumlah Armada Perikanan NTT Berdasarkan Ukuran Kapal Tahun 2006 Ukuran Kapal Perikanan Perahu tanpa motor Jukung 14.514 Perahu papan 6.254 Sub total 20.768 Perahu/kapal motor Perahu motor tempel 3.609 Ukuran kapal <5 GT 3.774 5 – 10 GT 1.457 Sub total 8.840 Total 29.608 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2007 Demikian pula, alat-alat tangkap yang digunakan sebagian besar adalah alat untuk beroperasi di perairan pantai, rinciannya sebagaimana terlihat pada Tabel 2.39. Tabel 2.46 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Yang Digunakan Oleh Nelayan di NTT Pada Tahun 2006 Alat tangkap Jumlah Seine Payang/lampara 308 Pukat pantai 782 Purse seine 469 Gill net Jaring insang 21.777 Lift net Bagan/ boat lift net 586 Hook and line Pole and line/huhate 475 Pancing tonda 9.391 Pancing lain 28.940 Alat lain 16.976 Total 79.704 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2007 Rendahnya teknologi penangkapan mengakibatkan ketimpangan pemanfaatan sumberdaya karena para nelayan hanya terkonsentrasi di perairan pantai. Dengan semakin padatnya jumlah nelayan yang beroperasi di perairan pantai, maka semakin meningkat pula tekanan terhadap sumberdaya perairan. Kondisi ini diperparah oleh dipraktekkannya caracara penangkapan yang tidak ramah lingkungan, bahkan destruktif. Meningkatnya tekanan dan praktek yang merusak berdampak pada kelestarian ekosistem laut dangkal, terutama mangrove dan terumbu karang. Tingkat kerusakan untuk kedua jenis ekosistem pantai tersebut rata-rata mencapai 70%. Selain masalah kerusakan ekosistem pantai, pengawasan dan pengamanan potensi sumberdaya ikan juga sangat lemah. Dengan sangat terbatasnya jumlah pelabuhan perikanan dan tenaga pengawas sumberdaya, praktek IUU fishing (illegal, unreported and unregulated fishing), termasuk pencurian ikan oleh nelayan dari provinsi lain dan nelayan asing, masih sangat tinggi. Kondisi wilayah kepulauan dengan tempat-tempat pendaratan liar yang tersebar menyulitkan pencatatan jumlah ikan yang didaratkan maupun yang diantarpulaukan (diekspor). Hingga saat ini, di NTT baru terdapat 1 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan 6 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang tersebar di beberapa kabupaten. Kecuali pelabuhan perikanan yang ada di Kupang, sebagian besar PPI yang ada di kabupaten memiliki fasilitas yang minim sehingga armada perikanan yang beroperasi di NTT tidak berminat memanfaatkannya. Akibatnya banyak ikan yang didaratkan di tempat-tempat yang tidak resmi maupun yang dipasarkan langsung di laut ke kapal penampung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 38 - (transhipment). Keadaan seperti ini menyulitkan pemanfaatan dan pengamanan sumberdaya ikan serta merugikan pemerintah daerah karena tidak memperoleh pajak sebagaimana mestinya. b. Perikanan Budidaya Meningkatnya permintaan pasar dalam dan luar negeri akan produk-produk perikanan tertentu dan semakin terbatasnya pasokan dari kegiatan penangkapan, mengharuskan pembudidayaannya. Budidaya laut dan air payau dapat diarahkan untuk menghasilkan devisa, sedangkan budidaya air tawar terutama ditujukan untuk menyediakan sumber protein yang murah bagi penduduk pedesaan yang jauh dari pantai. Untuk budidaya laut, yang berkembang pesat baru budidaya rumput laut. Perairan NTT sangat cocok untuk budidaya rumput laut karena memiliki salinitas yang tinggi dan stabil sepanjang tahun. Selain itu, perairannya jernih dan bebas cemaran. Selama periode 2000-2007 produksi rumput laut meningkat dengan pesat (Tabel 2.47). Relatif mudahnya pemeliharaan, investasi yang relatif rendah, tersedianya pasar untuk produk, serta cepat menghasilkan uang menarik minat masyarakat untuk membudidayakannya. Selama kurun tersebut, jumlah pembudidaya meningkat dengan pesat (Tabel 2.48). Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah dengan semakin banyaknya nelayan kecil yang beralih menjadi pembudidaya. Demikian pula, petani lahan kering yang tinggal di desa-desa pesisir akan banyak yang beralih ke pemeliharaan rumput laut karena kegiatan ini dapat dilaksanakan hampir sepanjang tahun. Tabel 2.47 Produksi (ton) rumput laut NTT Tahun Produksi (ton) 2000 3.020,0 2001 3.895,0 2002 4.123,0 2003 4.865,3 2004 93.170,1 2005 205.664,2 2006 478.133,5 2007 787.698,7 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2007 Tabel 2.48 Perkembangan Jumlah Pembudidaya Rumput laut di NTT. Tahun Pembudidaya (orang) 2000 2.909 2001 3.315 2002 5.748 2003 17.307 2004 18.399 2005 19.634 2006 45.137 2007 69.931 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2007 Meningkatnya jumlah orang yang berminat dengan kegiatan budidaya laut harus diimbangi dengan regulasi agar kegiatan budidaya laut dapat berkelanjutan dan bebas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 39 - konflik dengan peruntukan perairan lainnya. Untuk itu, zona-zona budidaya di daerah pesisir harus ditetapkan dengan peraturan/perundangan. Produksi rumput laut NTT masih dapat ditingkatkan mengingat tingkat pemanfaatan areal budidaya baru mencapai 33% total wilayah potensial. Selain itu, peningkatan produksi juga perlu dipacu mengingat permintaan dunia akan produk rumput laut tetap tinggi. Peranan sosial dan ekonomi kegiatan ini juga akan semakin besar, terutama dalam penyediaan lapangan kerja bagi petani lahan kering di daerah pesisir yang pada musim kering lebih banyak menganggur. Untuk nelayan kecil yang semakin sulit mendapatkan ikan, kegiatan ini akan mampu meningkatkan penghasilan. Persoalan utama yang dihadapi dengan rumput laut adalah harga produk yang sangat bervariasi. Sebagai produk yang dijual dalam keadaan mentah, harganya banyak ditentukan secara sepihak oleh pedagang pengumpul setempat maupun eksportir. Dengan belum tersedianya pabrik pengolahan rumput laut di NTT, seluruh produk yang dihasilkan masyarakat diantarpulaukan atau diekspor ke luar. Tabel 2.49 memperlihatkan trend nilai ekspor rumput laut di NTT dimana nilai ekspor per satuan volume sangat variatif. Tabel 2.49 Perkembangan volume dan ekspor komoditi rumput laut dari NTT Tahun Ekspor (ton) 2003 399.607 2004 1.063.535 2005 3.512.350 2006 3.971.292 2007 2.948.571 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2007 Dengan bertumpu pada produk mentah, margin keuntungan terbesar dari pemasaran rumput laut diraup oleh daerah atau negara pemroses rumput laut. Ke depan perlu diupayakan untuk memasarkan produk rumput laut dalam bentuk olahan, seperti semi purified carrageenan atau chips. Pengoperasian pabrik pengolahan tidak akan kesulitan bahan baku karena NTT merupakan penghasil utama rumput laut di Indonesia. 2.6.1.4. Peternakan Peternakan merupakan salah satu sektor dominan dalam kehidupan masyarakat NTT. Jumlah ternak terus meningkat setiap tahun sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2.50. Tabel 2.50 Perkembangan populasi ternak di NTT Ternak 2002 2004 2005 2006 Sapi 503.154 522.929 533.710 544.482 Kerbau 132.497 136.968 139.592 142.257 Kuda 93.157 96.416 97.952 99.872 Babi 1.170.473 1.276.164 1.319.237 1.385.961 Kambing 420.835 462.102 479.883 496.766 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007 Peningkatan populasi rata-rata sekitar 2% untuk ternak besar seperti sapi, kerbau, dan kuda. Sedangkan untuk ternak babi dan kambiing, mengalami peningkatan hampir 6%. NTT pernah dikenal sebagai sumber ternak, khususnya sapi bali, bagi Indonesia. Akan tetapi, penurunan ternak terus menurun akibat pengiriman sapi jantan unggul di masa lalu. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 40 - Selain itu, tingkat kematian pedet sapi akibat kekurangan pakan relatif tinggi. Ke depan, produktivitas ternak dapat ditingkatkan dengan mengadakan breeding centre serta menyediakan hijauan makanan ternak dan pakan yang berkualitas. Pada saat yang sama, ternak babi dan kambing yang memiliki produktivitas tinggi perlu digalakkan untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun pasar nasional. 2.6.2. Perindustrian Secara sektoral, industri memberikan kontribusi yang masih rendah terhadap PDRB NTT, dan cenderung statis selama periode 2002-2006. Walaupun kontribusinya rendah, tetapi pertumbuhan sektor industri dalam kontribusinya terhadap PDRB NTT lebih tinggi dari sektor primer. Dalam kontribusinya yang rendah tersebut, sektor industri bersama dengan sektor listrik/gas dan air bersih serta sektor konstruksi yang tergabung dalam sektor sekunder dapat menyerap sekitar 10% tenaga kerja di NTT di Tahun 2006. Tetapi, produktivitas tenaga kerja di sektor sekunder dimana industri beralamat, masih sangat rendah dibanding produktivitas sektor primer. Tabel 2.51 Keragaan Sektor Industri dalam Perekonomian NTT Uraian 2002 2003 2004 2005 2006 Kontribusi dalam PDRB (%) 1.63 1.64 1.62 1.63 1.63 Pertumbuhan Kontribusi dalam PDRB (%) 4.72 4.62 3.09 4.42 4.21 Penyerapan TK sektor sekunder (%) 10.67 PDRB/TK sektor sekunder (Rp/bulan/TK) 352,817 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007 Pada tingkat ekonomi real, pada tahun 2006 usaha industri berjumlah 69.854 perusahaan, dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 123.779 orang. Jumlah unit usaha yang sudah dibina oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan se-Kabupaten/Kota sebanyak 12.900 unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 36.285 orang, Nilai Investasi sebesar Rp. 946.543.105,- dan Nilai produksi sebesar Rp. 365.569.516,- UKM kelompok industri di Tahun 2006 tercatat sebanyak 5.724 unit usaha. Urutan lima besar jenis usaha UKM, berturut-turut adalah Usaha industri Kain tenun Ikat sebanyak 3.732 unit usaha; Industri Penggilingan Padi sebanyak 299 unit usaha, Industri Furniture dari kayu sebanyak 219 unit usaha, jasa penjahitan sebanyak 147 unit usaha dan jasa service motor sebanyak 130 unit usaha. Kelompok Industri pangan terdiri dari;1). Industri minyak ikan hiu, industri pembuatan sambal asli, industri pengolahan gula merah, industri jagung marning, industri jagung titi, industri sirup rumput laut, industri kerupuk kulit, industri tenteng, industri kecap manis/asin, industri emping jagung, industri pembekuan ikan, industri kopi asalan, industri kerupuk udang, industri pengolahan ikan asin, industri ikan asap, industri pengolahan ikan tuna, industri pengupasan kemiri, industri alkohol 2). Kelompok Industri Sandang terdiri dari; Industri kantong semen, industri penjahitan tas dan dompet, industri kulit sapi kering, industri pembuatan perahu kayu; 3). Kelompok Industri Kimia dan Bahan bangunan terdiri dari; Industri kemasan plastik, industri semen portland, industri lilin, industri kaca mata, industri pupuk bokasi, industri minyak kayu putih, industri minyak gosok, industri minyak sereh. 4). Kelompok Industri logam mesin dan elektronika terdiri dari; industri rak piring, industri oven, dandang, jasa service komputer, jasa service kaca mata; 5). Kelompok industri kerajinan terdiri dari; industri barang dari emas, industri giwang, gelang gading, industri kursi, meja dari bambu, jasa pangkas rambut. Jumlah tenaga kerja bidang industri di Nusa Tenggara Timur selama Tahun 2007 adalah sebesar 206.825 orang dengan rata-rata per tahun menyerap tenaga kerja sebesar 41.365 orang dengan tingkat pertumbuhan sebesar 20%. Nilai investasi dari bidang industri Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 41 - di Nusa Tenggara Timur dari Tahun 2003 - 2007 sebesar Rp. 4.749.006.000,- mengalami peningkatan dengan rata-rata per tahun sebesar Rp. 949.801.000.- 2.6.3. Pariwisata Daerah tujuan wisata bagi wisatawan asing di NTT terutama yang berhubungan dengan wisata budaya dan wisata alam. Dari kedua bentuk pariwisata tersebut, nampaknya para wisatawan mancanegara lebih tertarik pada keindahan dan keunikan alam NTT, terutama alam bahari. Tabel 2.52. memperlihatkan jumlah kunjungan wisatawan asing ke beberapa daerah tujuan wisata utama di NTT. Tabel 2.52 Jumlah kunjungan wisatawan asing ke beberapa kabupaten yang menjadi daerah tujuan wisata utama di NTT. Kabupaten Jenis wisata 2001 2003 2005 1. Sumba Barat Budaya 617 882 552 2. Sumba Timur Budaya 1.902 1.968 318 3. Alor Alam laut 284 465 181 4. Lembata Alam laut 599 115 45 5. Sikka Alam laut 2.455 2.768 2.710 6. Ende Pegunungan 2.681 2.273 2.097 7. Ngada Alam laut 6.333 6.959 1.618 8. Manggarai Alam laut 13.285 13.625 3.601 Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007 Terlihat bahwa pariwisata yang berhubungan dengan kekayaan dan keindahan alam laut masih merupakan penarik utama kehadiran turis asing. Meskipun jumlah kunjungan turis asing berfluktuasi sesuai dengan kondisi perekonomian dunia, tempat-tempat yang memiliki keindahan laut menjadi pilihan utama. Taman laut yang ada di Kabupaten Alor dan Kabupaten Sikka serta Taman Laut 17 Pulau di Ngada dan Taman Nasional Komodo (TNK) di Manggarai merupakan tempat-tempat yang ramai dikunjungi. Demikian pula, keunikan alam seperti Danau Kelimutu di Kabupaten Ende mampu menarik keingintahuan wisatawan asing. Data memperlihatkan bahwa kunjungan wisatawan erat kaitannya juga dengan kemudahan transportasi dan ketersediaan fasilitas. Taman Nasional Komodo dan Taman Laut 17 Pulau relatif mudah diakses dari Bali dan NTB serta memiliki resort-resort turis yang memadai. Dengan banyaknya situs-situs pantai yang indah dan unik di NTT merupakan peluang untuk meningkatkan kunjungan wisatawan asing ke NTT. Untuk itu pembangunan infrastruktur ke daerah-daerah tersebut dan kerjasama dengan biro-biro perjalanan harus menjadi prioritas pembangunan pariwisata. Dengan berkembangnya wisata yang berbasis alam laut, maka paket-paket wisata lainnya seperti wisata budaya atau wisata tematik akan dapat dikembangkan. 2.6.4. Perdagangan Peranan sektor Perdagangan terhadap perekonomian daerah juga relatif masih rendah. Peranan sektor Perdagangan sekitar 15,22 % pada Tahun 2006; sedangkan tingkat Inflasi mencapai 8,44 % (2007) serta nilai ekspor mencapai US $ 20,392,041.11 pada Tahun 2007.Jumlah perusahaan dagang sebanyak 65.432 perusahaan yang mencakup usaha dagang kecil sebanyak 17.921 perusahaan, perusahaan menengah sebanyak 8.280 perusahaan dan perusahaan besar sebanyak 950 perusahaan.Proporsi terbesar dari perusahaan industri maupun perusahaan dagang di Nusa Tenggara Timur di dominasi oleh usaha kecil. Investasi di sektor perdagangan mencapai tidak kurang dari Rp. 4,3 trilyun. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 42 - Dari aspek penyerapan tenaga kerja, di akhir Tahun 2007 sektor perdagangan mencapai tidak kurang dari 65.432 orang. Kesejahteraan penduduk yang diindikasikan oleh pendapatan per kapita penduduk NTT atas dasar harga berlaku terus mengalami peningkatan dari Rp 767.326 pada Tahun 1995 menjadi Rp. 3,244.796 pada Tahun 2005 sedangkan pendapatan perkapita penduduk secara nasional Tahun 2005 sebesar Rp. 11.193.856. Distribusi pendapatan terjadi dengan ketidakmerataan yang moderat di mana sepanjang kurun waktu Tahun 1990 - 2004, 40% penduduk berpendapatan terendah (40% low) hanya merebut 24.07% PDRB, sedangkan 20% penduduk berpendapatan tinggi (20% high) merebut 37.65% PDRB. Dengan distribusi demikian, diperkirakan terdapat 27.86% penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur (Tahun 2004), yakni mereka yang pengeluaran per bulannya kurang dari Rp 143.455/bulan di perkotaan, dan kurang dari Rp 108.725 di pedesaan. Neraca perdagangan NTT dari Tahun 2003 – 2006, nilai Import lebih tinggi di bandingkan dengan nilai export, hal ini dikarenakan kebutuhan barang dari luar NTT lebih tinggi di bandingkan dengan pengelolaan dalam daerah. Sedangkan target di Tahun 2007 dan 2008 NTT akan mencoba untuk menargetkan jumlah nilai export melebihi nilai Import, seperti digambarkan pada tabel berikut : Tabel 2.53 Keadaan Export-Import Tahun 2003-2005 dan Perkiraan Tahun 2007-2008 Tahun EXPORT IMPORT % NILAI Vol (kg) Nilai (US$) Vol (kg) Nilai (US$) Exp / Imp 2003 75.576.574.00 22.169.789.09 36.100.812.00 10969.466.17 50.52 2004 62.171.158.00 22.542.395.27 8.622.476.00 3.156.293.69 86.00 2005 81.053.419.20 20.001.171.42 165.435.222.84 6.524.142.79 67.38 2006 18.695.297.22 12.675.028.21 64.033.791.00 19.171.464.32 (51.25) Jlh 237.496.448.42 77.388.383.99 274.192.301.84 39.821.366.97 48.54 2007 20.003.968.03 13.562.280.18 68.516.156.37 17.254.317.89 (27.22) Sumber: BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2002-2007 Perkembangan perdagangan antara Nusa Tenggara Timur dengan dunia menunjukkan bahwa setelah Tahun 2000 terjadi kecenderungan peningkatan ekspor maupun impor. Terdapat empat fenomena penting yakni : (1) Terjadi defisit necara perdagangan (2) Mitra utama ekspor adalah Timor Leste dengan komoditas utama Bahan Bakar Minyak (BBM), dimana komoditas tersebut hanya lalu-lewat; (3) Share Ekspor Impor terhadap PDRB meningkat menuju pola provinsi pelabuhan (4) Salah satu impor terbesar non-migas NTT adalah bahan pangan olahan. 2.6.5. Usaha Kecil dan Menengah Jumlah Koperasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 1.486 unit yang tersebar di 20 Kab/Kota. Adapun kondisi organisasi dan usaha dari koperasi di Nusa Tenggara Timur , dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 43 - Tabel 2.54 Keadaan Koperasi di Provinsi NTT Tahun 2007 No. Keterangan Jumlah 1. Jumlah Anggota Koperasi 388.600 (KK) 2. Tenaga kerja yang dipekerjakan di Koperasi 3.008 orang 3. Jumlah Asset (kekayaan) yang dimiliki koperasi Rp.255.687.771.000 4. Modal sendiri Rp.121.389.721.000 5. Modal dari luar Rp.133.998.050.000 6. Volume usaha yang dicapai pada tahun buku 2007 Rp.152.065.364.000 Sumber : Dinas Koperasi dan UKM Provinsi NTT, Tahun 2007 Sampai dengan Maret 2008 jumlah UKM di Nusa Tenggara Timur sebanyak 781.123 UKM baik perorangan maupun kelompok dengan jenis usaha yang bervariasi pada berbagai sektor antara lain : Sektor Jasa : 15.300 UKM; Sektor Perdagangan dan Perhotelan : 70.397 UKM; Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan: 576.710 UKM; Sektor Pertambangan dan Penggalian: 2.398 UKM; Sektor Industri Pengolahan : 79.874 UKM; Sektor Bangunan : 3.874 UKM; Sektor Pengangkutan dan Komunikasi : 3.875 UKM dan Sektor Keuangan Persewaan : 1.380 UKM. Tabel 2.55 Data Perbandingan Keadaan Koperasi Antara Tahun 2003 Dengan Kondisi Tahun 2007 NO Uraian Tahun Perkembangan 2003 2007 Satuan % 1. Jumlah Kop 1.208 1.448 240 19,87 2. Anggota 352.214 388.660 36.446 10,35 3. Modal Sendiri 122.287.000.000 243.676.721.000 121.389.721.000 99,27 4. Modal Luar 82.568.000.000 216.566.050.000 133.998.050.000 162,29 5. Total Asset 204.555.000.000 460.242.771.000 255.687.771.000 125 6. Volime Usaha 132.380.000.000 284.445.364.000 152.065.364.000 114,87 7. Karyawan 2.499 3.008 509 20,37 Sumber : Dinas Koperasi dan UKM Provinsi NTT, Tahun 2007 Perkembangan UKM di Provinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun 2005 sampai dengan Maret 2008 sebagai berikut pada Tahun 2005 : usaha Kecil sebanyak 423 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 483 orang; usaha menengah sebanyak 206 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 339 orang. Pada Tahun 2006 jumlah usaha kecil sebanyak 465 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 523 orang dan usaha menengah sebanyak 210 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 357 orang. Pada Tahun 2007 jumlah usaha kecil sebanyak 512 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 564 orang dan usaha menengah berjumlah 216 unit dengan penyerapan tenaga kerja 364 orang. Pada Tahun 2008 jumlah usaha kecil sebanyak 521 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 581 orang dan usaha menengah berjumlah 233 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 383 orang. 2.7. Infrastruktur Wilayah Infrastruktur wilayah meliputi prasarana dan sarana transportasi, ketenagalistrikan, energi, pos, telekomunikasi dan informatika, sumber daya air, serta perumahan, pelayanan air minum, dan penyehatan lingkungan memiliki peranan penting dalam perekonomian dan kesejahteraan masyarakat yakni memberikan jaminan keterjangkauan bagi pelayananan publik, membangkitkan dunia usaha, investasi masyarakat dan mengembangkan sumbersumber produksi daerah. Kondisi umum infrastruktur tersebut digambarkan sebagai berikut : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 44 - 2.7.1. Prasarana dan sarana Sistem Transportasi. Sistem transportasi secara umum dibagi menjadi sistem transportasi darat, laut dan udara, dimana prasarana dan sarana transportasi tersebut meliputi perhubungan darat dan ASDP, perhubungan laut dan perhubungan udara. 2.7.1.1. Transportasi Darat Transportasi darat yang terdiri dari jalan, jembatan dan pelabuhan penyeberangan/dermaga (ASDP) dan keselamatan lalulintas merupakan prasarana angkutan darat yang penting guna memperlancar kegiatan-kegiatan perekonomian. Pada Tahun 2006 Provinsi NTT telah memiliki jalan sepanjang 16.754,76 km yang terdiri dari jalan jalan nasional (7,60 %), jalan provinsi (10,37 %), dan jalan kabupaten (76,79 %) dan non status (5,24 %) yang tersebar disetiap kabupaten/kota sebagaimana ditunjukan pada Tabel 2.56., sedangkan berdasarkan data Ditjen Prasarana Wilayah, Dept. Kimpraswil tahun 2006 prosentase kondisi jalan di provinsi NTT berdasarkan status jalan menunjukkan prosentase ditunjukkan pada tabel 2.57., sedangkan jumlah jembatan yang dapat dilewati kendaraan di provinsi NTT sepanjang 2.550 m dengan jembatan konstruksi/beton 712 m sisanya bambu, kayu dan dianggap tidak ada jembatan 1.752 m.(Sumber : BPS, Podes 2003, diolah Pusdata Dep.PU) Tabel 2.56 Panjang Jalan (KM) Menurut Status Se Provinsi NTT Tahun 2006 No Kabupaten/ Status Jalan Nasional Provinsi Kabupaten Non Status Total Panjang 1 Sumba Barat 134.31 194.84 831,18 1.160.33 2 Sumba Timur 35.97 432.72 1.101,40 114,56 1.570.09 3 Kupang 56.83 404.82 1.169,19 146,15 1.630.84 4 TTS 108.29 307.34 1.157,90 80,51 1.573.53 5 TTU 45.99 150.34 800,30 74,04 996.63 6 Belu 91.90 156.12 678,43 87,68 926.35 7 Alor 104.20 68.00 832,03 - 1.004.23 8 Lembata 0.00 52.45 608,80 52,45 661.25 9 Flores Timur 100.16 176.89 577,38 38,48 854.43 10 Sikka 97.88 109.90 748,73 61,77 956.51 11 Ende 130.79 160.30 824,50 76,00 1.115.59 12 Ngada 107.08 347.16 1.218,05 1.672.29 13 Manggarai* 214.40 283.22 1.695,38 115,17 2.193.00 14 Rote Ndao - 84.71 - 30,75 84.71 15 Kota Kupang 45.32 10.40 623.54 - 279.26 Panjang Jalan (Km) 1.273,02 1.737,37 12.866,81 877,56 16.754.76 Sumber data: Provinsi NTT Dalam Angka Tahun 2007 *) Termasuk Manggarai Barat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 45 - Tabel 2.57 Kondisi Jalan Menurut Status Provinsi NTT Berdasarkan Status Jalan Tahun 2006 STATUS JALAN Kondisi Jalan (km) BAIK SEDANG RUSAK RINGAN RUSAK BERAT Total KM % KM % KM % KM % (Km) Nasional 403,28 32% 555,28 43,6% 271,88 21,4% 42,58 3,3% 1.273,02 Provinsi 108,615 4,4% 413,049 16,6% 700,524 28,1% 1.271,163 51,0% 1.737,37 Kabupaten 1.485,900 12,7% 3.233,660 27,7% 4.438,720 38,0% 2.529,500 21,6% 12.866,81 Non Status 877.56 Total 16.754.76 Sumber : Ditjen Prasarana Wilayah, Dept. Kimpraswil Berdasarkan data pada Tabel 2.56. dan Tabel 2.57. diatas, perbandingan antara panjang jalan dengan luas wilayah NTT 0,36 km/km2 dengan kondisi jalan 60 % dalam kondisi rusak (berat dan ringan). Khususnya jalan yang menjadi kewenangan provinsi disamping prosentase panjang jalan hanya 11% dari total jalan, prosentase kondisi kerusakannya menunjukkan yang tertinggi daibanding jalan nasional dan kabupaten. Hal ini perlu mendapat perhatian untuk menunjang kegiatan ekonomi dan membuka keterisolasian daerah terpencil. Jumlah kendaraan bermotor pada Tahun 2006 tercatat sebanyak 109.723 unit dengan komposisi jenis kendaraan terdiri atas : roda dua 92.730 unit dan kendaraan roda empat 16.993 unit. Jumlah kendaraan tersebut dipastikan setiap tahun akan bertambah sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat akan alat transportasi, sehingga perlu peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) melalui angkutan penyeberangan ferry yang beroperasi pada beberapa dermaga sangat berpengaruh terhadap jumlah penumpang. Pada Tahun 2006 penumpang yang naik diseluruh dermaga sebanyak 3.064.937 penumpang. Dari sejumlah itu, 1.244.173 diantaranya naik dari pelabuhan Bolok/Kupang. Sedangkan dari 3.310.566 yang turun, 1.397.935 turun dipelabuhan yang sama. (Sumber data: Provinsi NTT Dalam Angka 2007). Dari data diatas peranan ASDP dalam melayani kebutuhan masyarakat sangat penting mengingat provinsi NTT merupakan daerah kepulauan yang memerlukan transportasi yang cukup. 2.7.1.2. Transportasi Laut Sebagai wilayah kepulauan peranan transportasi laut sangat penting dan cukup potensial untuk dikembangkan. Di NTT terdapat lebih dari 42 pulau yang terpencil yang memerlukan sarana dan prasarana angkutan / perhubungan laut yang memadai. Data arus kunjungan kapal laut di pelabuhan laut di NTT sampai dengan Tahun 2006 sebanyak 1.778.674 kunjungan dan terbanyak di Kabupaten Flores Timur . Pada tahun tersebut penumpang yang naik dipelabuhan laut sebanyak 2.398.977 penumpang, turun sebanyak 2.231.355 penumpang. Volume bongkar muat barang dan hewan pada setiap pelabuhan laut paling menonjol di Tenau Kupang, walaupun khusus untuk muat barang terbanyak di Atapupu (3.049.382 ton). Barang yang dibongkar pada tahun 2006 di Kupang sebanyak 753.384 ton, sedangkan yang dimuat 702.367 ton. Hewan yang dibongkar 775.990 ekor, sementara yang dimuat 723.458 ekor, kegiatan pelayanan sistem transportasi laut dilayani oleh pelabuhan lokal, regional dan nasional yang tersebar disetiap kabupaten di NTT seperti pada tabel berikut : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 46 - Tabel 2.58 Pelabuhan Laut Di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008 No. Kabupaten / kota Pelabuhan Lokal Regional Nasional 1 Kupang Raijua, biu Seba 2 Kota kupang Namosain Tenau (int.) 3 TTS Boking, kolana 4 TTU Wini 5 Belu Atapupu 6 Lembata Lewoleba Balauring 7 Flores timur Waiwerang Larantuka Mananga Waiwadan 8 Sikka Wuring Maumere 9 Ende Maurole Ende / ippi 10 Ngada Aimere 11 Nagekeo Maumbawa Marapokot 12 Manggarai Mborong Reo 13 Manggarai Barat Nangalili Komodo Labuan bajo 14 Sumba barat Rua 15 Sumba barat daya Waikelo 16 Sumba tengah 17 Sumba timur Mbaing Waingapu 18 Rote ndao Batutua, papela Ba'a Ndao, oelaba 19 Alor Kabir pettoko Baranusa Kalabahi Robek Maritaing Sumber Data: Dinas Perhubungan dalam Angka tahun 2007 Dari tabel terlihat penyebaran pelabuhan baik lokal, regional dan nasional cukup tersebar disetiap kabupaten di NTT, namun perlu peningkatan kualitas prasarana pendukung khususnya pelabuhan lokal yang merupakan jumlah terbesar dari pelabuhan yang telah ada. 2.7.1.3. Transportasi Udara Keadaan NTT yang terdiri dari pulau-pulau tidak saja membutuhkan angkutan laut tetapi juga perlu ditunjang oleh kegiatan angkutan udara. Hampir semua kabupaten/kota di NTT telah memiliki pelabuhan udara (lihat tabel.), Jumlah pesawat yang datang pada Tahun 2006 tercatat sebanyak 9.788 unit, mengalami peningkatan sebesar 61,15% dibanding Tahun 2005. Sedangkan jumlah pesawat yang berangkat tercatat 9.739 unit pada Tahun 2006, meningkat 58,36% dari Tahun 2005. Penumpang yang datang meningkat dari 258.319 orang pada Tahun 2005 menjadi 354.068 orang pada Tahun 2006. Penumpang yang berangkat pada Tahun 2006 meningkat sekitar 40,93% dari tahun sebelumnya. Volume bongkar muat barang melalui pelabuhan udara di NTT Tahun 2006 mengalami peningkatan sebanyak 7.167,24 ton volume bongkar barang, atau meningkat sekitar 48,64% dari tahun sebelumnya. Sementara volume muat barang pada tahun yang sama sebesar 5.672,76 ton, atau meningkat 37,2%. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 47 - Tabel 2.59 Persebaran Pelabuhan Udara Di Provinsi Nusa Tenggara Timur No. Kab / kota Nama bandara Kondisi 1 Kota kupang El tari Baik 2 Pulau sabu Terdamu Baik 3 Rote ndao Lekunik Baik 4 Kabupaten belu Haliwen Baik 5 Kabupaten alor Mali Baik 6 Kabupaten lembata Wunopito Baik 7 Flores timur Gewayantana Baik 8 Kabupaten sikka Wai oti Baik 9 Kabupaten ende H.h. Aroeboesman Baik 10 Kabupaten ngada So'a Baik 11 Kab. Manggarai Satartacik Baik 12 Kab.manggarai barat Komodo Baik 13 Kab.sumba barat Tambolaka Baik 14 Kab. Sumba timur Mau hau Baik 15 Mbay –nagekeo Surabaya ii Tidak oprsional Sumber Data: Dinas Perhubungan dalam Angka tahun 2007 Jumlah pelabuhan udara di NTT termasuk cukup besar dibanding provinsi lainnya di Indonesia dan tersebar hampir disetiap kabupaten di NTT, namun prasarana dan sarana penunjang perlu ditingkatkan dengan memperhatikan jumlah penumpang dan kegiatan bongkar muat barang seperti data diatas. 2.7.2. Pembangunan Perumahan Perumahan yang sehat dan layak huni merupakan kebutuhan dasar manusia yang sebenarnya menjadi tanggung jawab masyarakat itu sendiri, namun saat ini sebagian masyarakat dihadapkan pada keterbatasan kemampuan untuk memiliki perumahan yang sehat dan layak huni seperti luas ruang setiap jiwa, lantai yang masih menggunakan tanah serta letak perumahan yang tidak aman karena berada dilereng-lereng perbukitan. Pembangunan rumah ditinjau terhadap kuantitas rumah dan kualitas rumah yakni dari status kepemilikan rumah, luas rumah, jenis lantai rumah yang dominan maupun fasilitas pendukung lainnya. Data Persentase kuantitas yakni status kemilikan rumah ditunjukan pada Tabel 2.60, sedangkan kualitas menurut fasilitas ditunjukkan pada tabel 2.61. berikut : Tabel 2. 60 Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Status Tempat Tinggal Tahun 2001 – 2006 Status Kepemilikan Tahun 2001 2004 2005 2006 Milik Sendiri % 88.28 88.39 88.00 87.14 Kontrak % 1.73 1.92 1.97 1.94 Sewa % 1.47 1.58 1.69 1.54 Rumah Dinas % 1.83 2.02 1.94 1.56 Bebas Sewa % 1.36 1.58 1.79 1.57 Lainnya % 5.33 4.51 4.61 6.24 Sumber Data: NTT Dalam Angka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 48 - Tabel 2. 61 Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Perumahan yang Dimilikinya Tahun 2000 – 2006 Fasilitas Perumahan Tahun 2000 2006 Atap Layak (%) 60.96 70.63 Dinding Permanen (%) 33.34 38.44 Lantai Bukan Tanah (%) 50.03 52.08 Luas Lantai > 20 m2 (%) 91.60 93.79 Penerangan Listrik (%) 35.45 38.81 Sumber Data: NTT Dalam Angka 2007 Persentase kepemilikan rumah dapat dilihat pada tabel diatas. Status rumah milik sendiri cenderung berkurang pada kurun waktu Tahun 2001 hingga Tahun 2006. Hal tersebut memperlihatkan tingkat pertumbuhan penduduk tidak seimbang dengan tingkat penyediaan rumah milik, sedangkan kualitas rumah ditinjau berdasarkan fasilitas perumahan yang dimiliki. Secara kuantitas persentase kepemilikan fasilitas perumahan, yaitu atap layak, dinding permanent, lantai bukan tanah, luas lantai diatas 20 m2, dan penerangan listrik mengalami peningkatan dari tahun 2000 sampai tahun 2006.. Berdasarkan data-data diatas maka diperlukan kebijakan yang dapat membantu masyarakat dalam penyediaan rumah baik jumlah maupun perumahan yang layak huni. 2.7.3. Pembangunan Permukiman Pembangunan permukiman ditinjau dari aspek ketersediaan sarana dan prasarana permukiman, yaitu air minum dan sanitasi. 2.7.3.1. Pembangunan Air Minum Indikator hasil penyediaan air minum berdasarkan perkembangan persentase rumah tangga pengguna sumber air minum. Perkembangan persentase rumah tangga pengguna sumber air minum dapat dilihat pada Tabel 2.62. Tahun 2006 sumber air minum penduduk didominasi dari mata air, sumur/perigi dan leding. Perkembangan persentase rumah tangga pengguna air dalam kemasan, pompa air, air leding, sumur/perigi menunjukkan pertambahan sejak Tahun 2002 hingga Tahun 2006. Sedangkan persentase rumah tangga pengguna mata air, sungai dan air hujan, serta sumber air lainnya cenderung berkurang. Hal ini memperlihatkan bahwa penggunaan sumber air minum yang berasal dari alam/lingkungan mulai beralih ke sumber air minum buatan. Tabel 2.62 Persentase Rumah Tangga Pengguna Sumber Air Minum Tahun 2002 – 2006 Sumber Air Minum Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 Air Dalam Kemasan 0.060 0.095 0.136 0.770 0.731 Leding 14.850 17.081 18.154 19.530 22.337 Pompa Air 0.656 0.918 0.907 0.450 0.991 Sumur/Perigi 28.417 26.280 28.381 18.280 30.592 Mata Air 46.336 46.880 45.624 21.570 36.878 Sungai 6.068 5.230 4.643 6.830 5.671 Air Hujan 3.029 2.479 1.774 2.910 2.595 Lainnya 0.584 1.038 0.381 29.660 0.205 Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 49 - Dari data pada tabel diatas, menunjukkan bahwa pengunaan air minum masyarakat dari air kemasan leding, pompa dan sumur meningkat dari tahun 2002 sampai 2006, sedangkan penggunaan mata air sungai dan air hujan menurun, kecenderungan tersebut perlu diantisipasi dengan penyediaan sarana dan prasarana terutama fasilitas air minum leding pada pemukiman. 2.7.3.2. Pembangunan Sanitasi Pembangunan sanitasi dapat ditinjau dari keberadaan sarana dasar penampungan limbah rumah tangga, persampahan dan drainase. Persentase rumah tangga yang memiliki sarana sanitasi dasar tiga tahun dari 2004 – 2006 yakni jumlah rumah tangga yang memiliki jamban/ WC mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 jumlah jamban/WC pada Rumah Tangga sebesar 31,26% dan meningkat menjadi 42,45% pada tahun 2006. Sedangkan rumah tangga dengan kepemilikan tempat sampah pada tahun 2004 sebesar 12,39% meningkat menjadi 23,96% pada tahun 2006. Dari data tersebut terlihat bahwa walaupun mengalami peningkatan akan tetapi prosentase jumlah kepemilikan masih rendah yakni kurang dari setengah jumlah rumah belum memiliki jamban/WC. 2.7.4. Pembangunan Sumberdaya Air 2.7.4.1. Pembangunan Irigasi. Pembangunan irigasi di Nusa Tenggara Timur sangat terkait dengan spesifikasi daerah yang berkepulauan dan struktur tanah dan geolegi yang sangat variatif. Dengan konfigari, topografi berbukit dan bergunung penyebaran daerah irigasi bersifat memancar dalam luasan yang kecil dan bersifat tadah hujan. Areal potensial lahan basah untuk pengembangan lahan irigasi seluas 310.093 Ha, dengan tingkat fungsional 40,7 % atau seluas 126.168 Ha. Sebaran dan jumlah daerah irigasi (DI) sebanyak 1.229 Daerah (data tahun 2005) sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut ; Tabel 2. 63 Jumlah Daerah Irigasi Menurut Kewenangan tahun 2005 Kewenangan Jumlah DI Luas Potensial Luas Fungsional ( ha ) ( ha ) Pusat 52 133,929 31,356 Provinsi 36 49,326 27,589 Kabupaten 1,141 126,838 67,223 Total 1,229 310,093 126,168 Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Dengan memperhatikan data pada tabel diatas, Daerah irigasi yang menjadi kewenangan provinsi hanya 2,9 % dari 1.229 daerah irigasi sesuai data 2005 dengan tingkat fungsional 55,6% . Peranan pemerintah provinsi dalam pengembangan dan pembangunan irigasi di NTT sangat diperlukan untuk menunjang perkembangan ekonomi daerah. 2.7.4.2. Sarana Prasarana Sumber daya Air Untuk mengatasi kekurangan air, kekeringan dan konservasi lahan tanah maka pemerintah provinsi NTT mengupayakan Pembangunan jebakan /tampungan air atau disebut embung yang terdiri dari embung kecil, embung irigasi dan waduk untuk menampung air hujan sekaligus sebagai pengendali banjir, peningkatan jumlah air tanah, yang merupakan kebutuhan untuk penyediaan air lahan basah, lahan kering, penduduk kota dan desa. Ketersediaan embung yang dibangun sampai dengan tahun 2005 sebanyak 358 buah embung yang terdiri atas embung kecil sebanyak 334 buah dan embung irigasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 50 - sebanyak 24 buah. Kabupaten Kupang memiliki jumlah embung terbanyak 87 buah, menyusul Kabupaten TTS ada 61 embung dan Kabupaten TTU sebanyak 60 embung. Rincian menurut kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada Tabel 2.64. dibawah ini. Tabel. 2.64 Sebaran Per Kabupaten Pembangunan Embung Kecil dan Embung Irigasi di Propinsi Nusa Tenggara Timur s/d Tahun Anggaran 2005 NO. KABUPATEN EMBUNG KECIL EMBUNG IRIGASI TOTAL APBN APBD BLN JUMLAH APBN/ BLN Jumlah (Buah) Jumlah (Buah) Jumlah (Buah) Jumlah (Buah) Jumlah (Buah) Jumlah (unit) 1 Kota Kupang - 7 1 8 - 8 2 Kupang 76 7 - 83 4 87 3 TTS 45 11 5 61 - 61 4 TTU 49 9 - 58 2 60 5 Belu 26 - - 26 1 27 6 Rote Ndao - - - - 10 10 7 Alor 4 - - 4 2 6 13 Lembata 10 - - 10 - 10 12 Flores Timur 12 - - 12 - 12 9 Sikka 13 - - 13 2 15 8 Ende 12 - - 12 - 12 10 Ngada 18 - - 18 - 18 11 Manggarai 3 - - 3 - 3 12 Mangrai Barat - - - - - - 13 Flores Timur 12 - - 12 - 12 14 Lembata 10 - - 10 - 10 15 Sumba Barat 10 - - 10 1 11 16 Sumba Timur 16 - - 16 2 18 Jumlah 294 34 6 334 24 358 Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Pengembangan pengelolaan air tanah untuk kegiatan pertanian di Provinsi NTT sampai tahun 2005 berjumlah 940 titik, yang terdiri dari sumur bor sebanyak 365 titik, sumur gali sebanyak 84 titik dan sumur patek sebanyak 491 titik. Luas areal lahan potensial yang dapat menggunakan sumber air tanah seluas 74.432 Ha. Pengelolaan sumberdaya air di wilayah Provinsi NTT hampir 95,17% digunakan untuk keperluan irigasi yaitu 1.979.717x10³ m3, sedangkan 100.549,52 x10³ m3 atau 4,83% dimanfaatkan untuk kebutuhan dasar penduduk (minum, mandi dan cuci), perkotaan, perdesaan dan peternakan. Hasil evaluasi menunjukan bahwa kebutuhan air Provinsi NTT sebesar 600 juta m³/bulan, ketersediaan air per bulan hanya mencapai 260 juta m³, sehingga terjadi kekurangan air per bulan 354 juta m³. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 51 - 2.7.5. Pembangunan Pos dan Telekomunikasi Pembangunan Pos dan Telekomunikasi mencakup jangkauan baik pelayanan jasa telekomunikasi ataupun informasi. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk memperlancar pelayanan-pelayanan berkenaan semakin meningkatnya permintaan akan jasa komunikasi. Salah satunya dengan memperbanyak jumlah kantor pos. Tahun 2006 jumlah kantor pos di NTT sebanyak 15 buah, kantor pos tambahan 6 buah, kantor pos pembantu 58 buah dan pos desa 41 buah. Surat yang paling banyak dikirim adalah jenis surat biasa sebanyak 1.790.581 lembar, 1.375.556 lembar surat kilat, dan 100.666 lembar surat tercatat. Kabupaten Rote Ndao adalah daerah yang paling sedikit pelayanan jasa pengiriman surat yaitu sebanyak 18.019 lembar surat untuk semua jenis surat. Tabel 2.65 Jumlah Pelanggan Telepon (PSTN) Pemerintah dan Swasta di setiap Kabupaten 2005-2006 Kabupaten / Kota Pelanggan Pemerintah Pelanggan Swasta Telepon Umum 2005 2006 2005 2006 2005 2006 01 Sumba Barat 299 309 2.203 2.192 49 45 02 Sumba Timur 286 292 1.456 1.445 56 58 03 Kupang - - - - - - 04 TTS 194 196 1.784 1.758 37 30 05 TTU 150 175 994 1.301 20 20 06 Belu 375 398 2.272 2.636 73 57 07 Alor 198 231 637 1.252 37 50 08 Lembata 247 270 433 432 11 13 09 Flores Timur 300 344 1.089 1.757 47 47 10 Sikka 489 455 2.120 2.089 73 77 11 Ende 511 538 2.755 2.714 78 77 12 Ngada 128 186 757 1.411 26 24 13 Manggarai 456 459 1.696 2.287 60 61 14 Manggarai Barat 167 209 581 652 21 23 15 Rote Ndao 27 28 336 342 10 9 16 Kota Kupang 2.348 2.457 17.504 17.438 380 349 Jumlah 6.175 6.547 36.617 39.706 978 941 Sumber Data: Dinas Perhubungan dalam Angka tahun 2007 Dari data diatas menunjukan jumlah pelanggan telepon yang dikelolah PT. Telkom (PSTN) mengalami peningkatan yakni instansi pemerintah sebesar 6 % dan swasta 8 % sementara telepon umum mengalami penurunan sebanyak 3,78%. Peningkatan jumlah pelanggan dan penurunan jumlah telepon umum tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan telekomunikasi saat ini yang sangat pesat dengan berkembangnya telepon seluler baik oleh PT. Telkom maupun penyedia layanan dari operator swasta . 2.7.6. Pembangunan Kelistrikan Pembangunan energi kelistrikan merupakan prasarana yang penting untuk menunjang kegiatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Secara umum ketersediaan tenaga listrik masih dilayani oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara) sementara kebutuhan energi listrik untuk rumah tangga, industri, perkantoran, perhotelan dan lain-lain belum seluruhnya dapat dilayani, hal ini terlihat dari daya yang dibangkitkan dan jumlah pelanggan yang terlayani pada tabel berikut: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 52 - Tabel 2.66 Jumlah daya, pemakaian dan pelanggan PLN tahun 2005 - 2006 URAIAN Tahun 2005 2006 Daya di bangkitkan 291.433.622 Kwh 312.658.557 Kwh Pemakaian 261.536.818 Kwh 282.485.903 Kwh Susut Transmisi 21.396.486 Kwh 23.349.223 Kwh Pelanggan 216.898 221.548 Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Dari data diatas terlihat bahwa penyediaan tenaga listrik di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami peningkatan, namun belum mampu memenuhi kebutuhan yang terus bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk dan jumlah rumah tangga dan lain-lain. Jumlah rumah tangga yang dialiri listrik tahun 2006 sebanyak 362.004 rumah tangga, dimana 336.896 rumah tangga oleh PLN dan 25108 menggunakan aliran listrik non PLN, sedangkan 570.759 (61 %) rumah tangga belum terlayani aliran listrik. Disamping itu banyaknya daya yang mengalami susut transmisi dan distribusi masih sangat tinggi. Hal tersebut perlu mendapat perhatian dengan meningkatkan daya dan mengurangi susut akibat sistem transmisi serta pencarian energi alternatif dengan memanfaatkan potensi daerah. 2.7.7. Sumber Daya Mineral Sumber daya mineral logam yang telah diketahui potensinya antara lain : tembaga, mangan dan besi. sedangkan timbal, emas, seng, perak, nikel dan timbah hanya merupakan indikasi dan sebagai mineral ikutan. Potensi sumberdaya yang telah diketahui dan terindikasi secara keseluruhan terlihat pada tabel berikut. Tabel 2.67 Potensi Sumberdaya Mineral Logam Provinsi NTT Komoditi Sumberdaya ( ton ) Keterangan Besi 676.000 Mengandung Mangan Pasir Besi 100.175.359 Plaser Tembaga 48.000 Kadar Cu = 4,7%. Mangan 330.063 Plaser dan sedimenter Timbal, emas Indikasi tipe urat Nikel Indikasi laterisasi Timah Indikasi Plaser Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 53 - Tabel 2. 68 Potensi Sumberdaya Mineral Industri Provinsi NTT Komoditi Sumberdaya ( ton ) Komoditi Sumberdaya ( ton ) Batu Gamping 25.061.000.000 Tanah Urug 2.340.000 Toseki 29.120.000 Granit 284.297.000 Andesit 12.691.250.000 Zeolit 6.167.160 Sirtu 7.598.100 Batu Silika 210 Gipsum 2.006.250 Tras 4.637.725 Kaolin 26.150.000 Fosfat 165.600.000 Pasir Kwarsa 92.016.250 Marmer 1.464.100.000 Lempung 1.360.101.000 Dolomit 165.894.320 Batu Hias 20.000 Bentonit 27.582 Batuapung 383.000 Perlit 46.000.000 Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Berdasarkan data pada tabel diatas, maka potensi tersebut perlu ditindak lanjuti dengan penelitian dan pengembangan untuk kesejahteraan masyarakat, seperti pemetaan dan digitasi serta peningkatan status indikasi dengan penyedian sarana dan prasarana pertambangan 2.7.8. Pembangunan Meteorologi dan Klimatologi Pelayanan informasi iklim dan cuaca bagi kehidupan dan pembangunan menunjukan kemajuan. Dengan situasi dan kondisi geografis informasi klimat dan cuaca telah diimbangi dengan persebaran sarana stasiun/pos meteorologi dan klimatologi di 20 wilayah kabupaten kota se provinsi NTT yang ditunjukkan pada tabel berikut. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 54 - Tabel 2.69 POS/STASIUN PRAKIRAN CUACA DI WILAYAH PROV. NTT NO. KOTA / KABUPATEN JUMLAH NAMA STASIUN/POS 1 KOTA KUPANG 2 LASIANA , PENFUI 2 KAB. KUPANG 6 NAIBONAT, OEKABITI, CAMPLONG ,LELOGAMA NAIKLIU ,SABU 3 ROTE NDAO 6 BA'A, OLAFULIHAA ,PAPELA, BUSALANGGA, DAHEHOLU, BATUTUA, 4 TIMOR TENGAH 9 SOE, OELBUBUK, PANITE, OEBELO ,NULE, NIKI‐NIKI ,OINLASI ,OE'EKAM ,AYOTUPAS 5 TIMOR TENGAH 8 KEFAMENANU, OENENU, EBAN, SAP'AN ,LURASIK, KAUBELE ,WINI, PONU. 6 BELU 8 ATAMBUA ,NENUK, WEDOMU, BOAS, BETUN , WEMASA ,BIUDUKFOHO, BESIKAMA 7 ALOR 5 KALABAHI ,MORU, APUI, MARATAING ,KABIR 8 LEMBATA 5 LEWOLEBA ,WAIPUKANG ,HADAKEWA, KALIKASA ,WAIRIANG 9 FLORES TIMUR 7 LARANTUKA ,WAIKLIBANG ,BORU ,MENANGA ,RITAEBANG, WAIWERANG, WAIWADAN. 10 SIKKA 7 MAUMERE ,LEDALERO ,PAGA, MAGEPANDA, LELA HABIWETAK ,OGOLIDI. 11 ENDE 6 PAUPANDA ,WATUNESO ,BOKASAPE ,DETUSOKO, NANGANIO ,WARUKASU. 12 NAGEKEO 3 MAUPONGGO, DANGA, BOAWAE 13 NGADA 5 BAJAWA ,MATALOKO ,WAEPENA, AIMERE, RIUNG 14 MANGGARAI 5 RUTENG, REO ,ITENG, PAGAL ,MANO, 15 MANGGARAI TIMUR 4 LENGKO ELAR, BENTENG JAWA ,MANO, BORONG 16 MANGGARAI BARAT 4 LABUAN BAJO ,WERANG, RANGGU ,COMPANG 17 SUMBA BARAT 3 WAIKABUBAK, BARABEDANG, KABUKARUDI 18 SUMBA BARAT DAYA 3 WAITABULA ,KARUNI, WAIMANGURA 19 SUMBA TENGAH 2 LENDIWACU, WAIMAMONGU 20 SUMBA TIMUR 8 WAINGAPU ,MELOLO ,NGALIU, KANANGGAR, MALAHAR ,LINDIWATU ,LAMBANAPU, NGGONGI TOTAL 106 Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 Bantuan informasi dan analisis cuaca telah dirasakan manfaatnya bagi aktivitas lalulintas pelayaran dan udara, pengurangan resiko usaha pertanian dan yang terutama terhadap aspek korban bencana alam, berupa pengurangan resiko kecelakaan lalu lintas udara dan pelayaran. Namun mengingat luasnya wilayah dan persebaran daerah kepulauan maka kebutuhan akan sarana pos dan stasiun masih diperlukan sehingga dapat memberikan pantauan febnomena alam yang unik akibat posisi transisi dan posisi silang dua benua dan lautan dari propinsi NTT. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 55 - 2.8. Tataruang dan Lingkungan Hidup Informasi iklim dan cuaca sangat vital bagi kehidupan dan pembangunan. Dalam bidang pertanian, informasi iklim dan cuaca yang handal memungkinkan penentuan waktu tanam dan panen yang tepat bagi tanaman pertanian. Dalam bidang perhubungan, informasi ini juga penting pengaturan lalulintas penerbangan dan pelayaran, ntuk menghindarkan kecelakaan transportasi. Dan dalam banyak hal, informasi iklim dan cuaca membantu manusia dalam mengantisipasi berbagai bencana alam yang berhubungan dengan cuaca. Oleh karena itu, pembangunan sistem informasi cuaca menjadi sangat penting dalam pembangunan. Sistem informasi cuaca/iklim meliputi komponen-komponen perangkat keras dan perangkat lunak. Komponen perangkat keras dimaksud meliputi infrakstruktur pengamat cuaca, berupa stasiun-stasiun pengamat cuaca, yang dilengkapi peralatan dan teknologi yang memadai. Oleh karena keragaman iklim antar wilayah di provinsi NTT sangat tinggi, maka pembangunan stasiun pengamat cuaca hendaknya disesuaikan dengan sebaran wilayah dengan iklim/cuaca yang berbeda. Komponen perangkat lunak meliputi sumberdaya manusia di bidang cuaca/iklim dan teknologi analisis data iklim/cuaca untuk kepentingan pembangunan. Berdasarkan analisis kondisi eksisting, capaian pembangunan dalam bidang meteorologi dan klimatologi belum optimal. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh jumlah stasiun pengamat cuaca yang tersedia, data iklim wilayah yang belum memadai, dan tingkat akurasi prediksi kondisi cuaca wilayah yang juga belum memadai. Pada saat ini, di seluruh wilayah provinsi NTT terdapat cukup banyak stasiun pengamat cuaca (Tabel 2.70), tetapi banyak di antaranya yang sudah tidak berfungsi. Kontinuitas pencatatan dan pelaporan juga terhambat oleh keterbatasan petugas pencatat. Tabel 2.70 Pos/stasiun prakiran cuaca di wilayah Provinsi NTT KOTA / KABUPATEN NAMA STASIUN/POS KOTA KUPANG (2) LASIANA , PENFUI KAB. KUPANG (6) NAIBONAT, OEKABITI, CAMPLONG ,LELOGAMA NAIKLIU ,SABU ROTE NDAO (6) BA'A, OLAFULIHAA ,PAPELA, BUSALANGGA, DAHEHOLU, BATUTUA, TIMOR TENGAH SELATAN (9) SOE, OELBUBUK, PANITE, OEBELO ,NULE, NIKINIKI ,OINLASI ,OE'EKAM ,AYOTUPAS TIMOR TENGAH UTARA (8) KEFAMENANU, OENENU, EBAN, SAP'AN ,LURASIK, KAUBELE ,WINI, PONU. BELU (8) ATAMBUA ,NENUK, WEDOMU, BOAS, BETUN , WEMASA ,BIUDUKFOHO, BESIKAMA ALOR (5) KALABAHI ,MORU, APUI, MARATAING ,KABIR LEMBATA (5) LEWOLEBA ,WAIPUKANG ,HADAKEWA, KALIKASA ,WAIRIANG FLORES TIMUR (7) LARANTUKA ,WAIKLIBANG ,BORU ,MENANGA ,RITAEBANG, WAIWERANG, WAIWADAN. SIKKA (7) MAUMERE ,LEDALERO ,PAGA, MAGEPANDA, LELA HABIWETAK ,OGOLIDI. ENDE (6) PAUPANDA ,WATUNESO ,BOKASAPE ,DETUSOKO, NANGANIO ,WARUKASU. NAGEKEO (3) MAUPONGGO, DANGA, BOAWAE NGADA (5) BAJAWA ,MATALOKO ,WAEPENA, AIMERE, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 56 - KOTA / KABUPATEN NAMA STASIUN/POS RIUNG MANGGARAI (5) RUTENG, REO ,ITENG, PAGAL ,MANO, MANGGARAI TIMUR(4) LENGKO ELAR, BENTENG JAWA ,MANO, BORONG MANGGARAI BARAT(4) LABUAN BAJO ,WERANG, RANGGU ,COMPANG SUMBA BARAT(3) WAIKABUBAK, BARABEDANG, KABUKARUDI SUMBA BARAT DAYA(3) WAITABULA ,KARUNI, WAIMANGURA SUMBA TENGAH(2) LENDIWACU, WAIMAMONGU SUMBA TIMUR (8) WAINGAPU ,MELOLO ,NGALIU, KANANGGAR, MALAHAR ,LINDIWATU ,LAMBANAPU, NGGONGI Sumber Data: NTT Dalam Angka Tahun 2007 2.8.1.1. Pola Pemanfaatan Ruang Pola pemanfaatan ruang yang terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budi daya, yang ditinjau berdasarkan lahan pengairan dan lahan bukan sawah dapat dilihat pada Tabel berikut : Tabel : 2.71 Persentase Perkembangan Luas Lahan Pengairan dan Lahan Bukan Sawah Tahun 2004 – 2006 JENIS LAHAN % DARI LUAS LAHAN 2,004 2,005 2,006 Irigasi teknis 0.309 0.297 0.340 Irigasi setengah teknis 0.817 0.565 0.852 Irigasi sederhana/desa 0.801 1.231 1.304 Tadah hujan 1.225 1.526 1.114 Irigasi pasang surut 0.000 0.000 0.000 Irigasi lainnya 0.541 0.006 0.007 Pekarangan untuk bangunan dan halaman sekitarnya 4.181 4.255 4.530 Lahan tegal / kebun 8.618 8.852 11.038 Lahan ladang / huma 6.208 6.726 7.031 Lahan penggembalaan/ padang rumput 17.266 19.064 14.951 Rawa-rawa yang tidak ditanami padi 0.059 0.245 0.251 Tambak coastal 0.039 0.030 0.032 Kolam tebat/ empang 0.028 0.026 0.037 Lahan sementara tidak diusahakan 16.455 15.507 16.661 Perkebunan 7.379 7.510 7.045 Hutan negara 12.217 10.519 13.523 Hutan rakyat 8.797 7.849 10.352 Tanah kering lainnya 15.061 15.791 10.932 Sumber: Provinsi NTT Dalam Angka Tahun 2007 Kawasan budidaya adalah jenis lahan irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana/ desa, irigasi tadah hujan, irigasi pasang surut, irigasi lainnya, pekarangan untuk bangunan dan halaman sekitarnya, lahan tegal/ kebun, lahan ladang/ huma, lahan penggembalaan/ padang rumput, tambak coastal, kolam tebat/ empang, perkebunan dan lahan sementara tidak diusahakan, yang perentase luasannya 64,94% pada Tahun 2006. Sedangkan lahan lainnya termasuk dalam kawasan lindung, yang memiliki luas 35,06%. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 57 - Pemanfaatan jenis lahan yang berada diatas 10% dari total luas wilayah adalah untuk lahan sementara yang tidak diusahakan (16,661%), lahan penggembalaan/ padang rumput (14,951%), lahan hutan Negara (13,523%), lahan tegal/ kebun (11,038%), tanah kering lainnya (10,932%) dan hutan rakyat (10,352%). Perubahan jenis lahan dari Tahun 2004 – 2006 yang berada diatas 1% dari total luas wilayah adalah tanah kering lainnya yang berkurang sebanyak 4,130%, lahan penggembalaan/ padang rumput yang berkurang sebanyak 2,315%, lahan tegal/ kebun yang bertambah sebanyak 2,420%, hutan rakyat yang bertambah sebanyak 1,555% dan hutan negara yang bertambah sebanyak 1,306%. 2.8.2. Lingkungan Hidup. Luas lahan kritis di Provinsi NTT cenderung terus meningkat setiap tahun dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan dengan usaha perbaikan kondisi lahan terdegradasi. Sampai dengan saat ini luas lahan yang kritis sebanyak 2.109.496,77 Ha yang terdiri dari lahan kritis dalam kawasan hutan sebanyak 661.680,74 Ha atau 31,37% dari luas lahan yang kritis dan lahan kritis di luar kawasan hutan sebanyak 1.447.816,02 atau 68,63% dari luas lahan yang kritis. Berdasarkan luas kawasan hutan (1.876.729,33 Ha), maka terdapat 35 % dari luas lahan dalam kawasan hutan yang mengalami kritis dan 1.213.648,59 Ha tergolong tidak kritis (65 % dari luasan lahan dalam kawasan hutan). Hasil perhitungan beberapa parameter pendugaan erosi seperti faktor erosivitas hujan (R), faktor erodibilitas tanah (K), faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) dan faktor pengelolaan lahan (CP) tiap-tiap kabupaten di NTT pada tahun 2006 menunjukkan hasil sebagai berikut : erosi sangat ringan 1.919.280 Ha (40,85 %), erosi ringan seluas 5.209 Ha (0,11 %), erosi sedang 1.898.964 Ha (39,78 %), erosi berat 901.709 Ha (19,19 %) dan erosi sangat berat 2.205 Ha (0,04 %). Kawasan konservasi di Provinsi NTT tersebar di 20 Kabupaten/Kota yang terdiri atas kawasan taman nasional, kawasan cagar alam, kawasan suaka margasatwa dan kawasan taman. Gambaran lebih jelas tentang kawasan konservasi dapat dilihat pada Tabel 2.72. berikut : Tabel 2.72 Jenis dan Luas Kawasan Konservasi di Provinsi NTT Jenis Nama Lokasi Luas (Ha) Wilayah Kabupaten Taman Nasional Komodo 2.321 Km2 Manggarai Barat Kelimutu 5.340 Ende Lawanggi-Wanggameti 42.567,59 Sumba Barat Daya Manupeu-Tanadaru ND Sumba Barat Cagar Alam Maubesi 3.246 Belu Guning Mutis 12.000 TTS Watuata 4.898,8 Ngada Wolo Tadho 4.016,8 Ngada Laut 17 Pulau Riung 2.000 Ngada Kimang Boleng I 250 Ende Kimang Boleng II 455 Ende Waewuul 1.484,44 Manggarai Barat Suaka Margasatwa Harlu 2.000 Rote Ndao Kateri 3.299,2 Belu Ale Aisio 5.918 TTS Taman Buru Dataran Bena 11.000 TTS Hutan Rakyat Prof. Herman Yohanes 1.900 Kupang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 58 - Jenis Nama Lokasi Luas (Ha) Wilayah Kabupaten Wisata Alam Camplong 696.6 Kupang Wisata Alam Menipo 2.499,5 Kupang Wisata Tuti Adagae 5.537,88 Alor Wisata Pulau Batang 550 Alor Wisata Laut Pulau Rusa 550 Alor Wisata Kimang Boleng 250 Ende Wisata Baumata 87 Kota Kupang Laut Teluk Maumere 62.450 Sikka Wisata Laut Teluk Kupang 50.000 Kupang dan Kota Kupang Buru Pulau Ndana 1.562 Rote Ndao Sumber : Balai Konservasi SDA NTT, 2005 . 2.9. Kondisi Perempuan, Anak dan Remaja 2.9.1.Situasi Perempuan Dalam bidang politik, keterlibatan kaum perempuan pada sektor ini terlihat pada hasil pemilu tahun 2004, jumlah anggota DPRD Provinsi NTT perempuan sebanyak 6 orang (10,9% dari 55 anggota DPRD Provinsi NTT) yakni dari partai Golkar sebanyak 3 orang, PDIP sebanyak 1 orang, PDS sebanyak 1 orang dan PPDI sebanyak 1 orang. Keberadaan perempuan di lembaga legislatif belum memenuhi harapan sesuai tuntutan regulasi yang mengharuskan 30% perempuan. Oleh karena itu, pola rekruitmen dan kaderisasi perampuan belum banyak dilakukan oleh partai politik. Keterlibatan kaum perempuan pada birokrasi pemerintah menunjukkan bahwa sampai dengan maret 2007, jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon di lingkup pemerintah Provinsi NTT sebanyak 246 orang (25,67% dari 958 PNS yang menduduki jabatan eselon) yang terdiri dari eselon IV sebanyak 205 orang, eselon III sebanyak 35 orang dan eselon II sebanyak 6 orang. Kondisi tersebut di atas memberikan indikasi bahwa distribusi jabatan dalam birokrasi mempunyai trend naik untuk mencapai angka 30% sesuai tuntutan regulasi pada tahun-tahun mendatang. Kondisi perempuan dalam lingkup birokrasi sesuai data di atas tentunya menjadi hal yang menggembirakan bagi kaum perempuan, namun di sektor publik yang lain justru posisi perempuan belum menguntungkan. Di sektor penegak hukum, data tahun 2005 menunjukan bahwa, jumlah hakim laki-laki sebanyak 88,6%, sedangkan jumlah jaksa perempuan sebanyak 11,4%. Jumlah polisi laki-laki di NTT lebih besar, yakni 98,1% sedangkan perempuan hanya 1,9%, begitu juga penyidik lebih banyak didominasi oleh laki-laki 95,4% dan perempuan 4,6%. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sektor pekerjaan yang membutuhkan kualifikasi khusus lebih diminati oleh laki-laki ketimbang perempuan. Menurut lapangan pekerjaan utama, jumlah perempuan 15 tahun ke atas yang bekerja pada tahun 2005 sebanyak 903.247 orang (44,31% dari 2.038.575 orang). Perempuan yang bekerja pada sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan sebanyak 705.976 orang, yang bekerja di sektor pertambangan dan penggalian sebanyak 14.138 orang, yang bekerja di sektor industri pengolahan sebanyak 93.270 orang, yang bekerja di sektor perdagangan besar dan eceran serta rumah makan sebanyak 41.803, yang bekerja pada sektor angkutan, pergudangan dan komunikasi sebanyak 3.149 orang, yang bekerja di sektor keuangan, asuransi, usaha persewaan dan bangunan sebanyak 5.053 orang dan yang bekerja di sektor jasa kemasyarakatan sebanyak 39.876 orang. Dengan demikian, sektor tradisional lebih banyak diisi oleh perempuan dibandingkan dengan sektor formal. Berdasarkan tingkat pendidikan perempuan yang berumur 15 tahun ke atas yang sedang bekerja dapat diketahui bahwa dari 903.247 tenaga kerja perempuan yang ada pada tahun 2005, yang tidak/belum pernah sekolah sebanyak 79.583 orang (8,81%), yang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 59 - tidak/belum tamat SD sebanyak 182.043 orang (20,15%), tamat SD sebanyak 473.408 orang (52,41%), tamat SLTP/MTs/Sederajad sebanyak 91.138 orang (10,09%), tamat SMA sebanyak 38.417 orang (4,25%), tamat SMK/Kejuruan sebanyak 19.823 orang (2,19%) dan tamat Diploma/Universitas sebanyak 18.835 orang (2,08%). Pada tahun 2005 pengangguran terbuka sebanyak 5,46% yang terdiri dari Laki-laki sebanyak 3,57% dan kaum perempuan sebanyak 1,89%. Angka pengangguran pada tahun 2006 sebanyak 3,65% yang terdiri dari kaum laki-laki sebanyak 2,92% dan kaum perempuan sebanyak 0,73%. Pada tahun 2007 angka pengangguran terbuka sebanyak 3,72% yang terdiri dari kam laki-laki sebanyak 2,33% dan kaum perempuan sebanyak 1,39%. Jumlah pencari kerja perempuan sesuai klasifikasi pendidikan yang terdaftar di lingkungan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT sampai dengan bulan Maret 2008 tercatat terbesar pada jenjang pendidikan SD sebesar 8,25% dibandingkan dengan laki-laki sebesar 7,62%. Ini berarti bahwa 0,65% lebih besar dari kaum laki-laki. Selanjutnya, untuk jenjang pendidikan SLTP tercatat kaum perempuan sebesar 4,86% sedangkan lakilaki sebesar 4,64% atau 0,22% lebih besar dari kaum laki-laki. Selain itu, pada jenjang pendidikan D1 / D2 tercatat kaum perempuan sebesar 86,64 persen sedangkan laki-laki hanya mencapai 46,42 persen atau selisih 40,42% lebih besar dari laki-laki serta jenjang pendidikan D3/AK/SM tercatat kaum perempuan sebesar 18,93% sedangkan laki-laki hanya mencapai 15,92% atau selisih 3,01% lebih besar dari laki-laki. Kualifikasi pendidikan dan lapangan kerja tersebut di atas memperlihatkan rendahnya tingkat pendidikan perempuan dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi sehingga berdampak pada akses mereka terhadap jenis pekerjaan. Kasus kekerasan terhadap perempuan selama periode 2003 – 2005 sebanyak 1.307 kasus. Berdasarkan jenis kekerasannya, kekerasan penganiayaan menempati urutan pertama yakni sebanyak 341 kasus. Menyusul kasus perkosaan sebanyak 291 kasus, kasus kekerasan di dalam rumah tangga 274 kasus dan kasus percabulan sebanyak 186 kasus. Kasus kekerasan lainnya sebanyak 215 kasus. Pada tahun 2006, kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat yakni sebanyak 1.613 kasus. Gambaran faktual tersebut di atas menunjukkan perempuan masih menjadi obyek kekerasan dan wilayah hukum belum benar-benar memberikan perlindungan terhadap perempuan. Kasus trafficking terhadap perempuan di Provinsi NTT dari tahun ke tahun masih terus terjadi. Pada tahun 2004 jumlah kasus trafiking sebanyak 72 kasus. Pada tahun 2005 telah terjadi 63 kasus. Tahun 2006, terdapat 12 kasus dan pada tahun 2007 kasus traffiking bertambah menjadi 566 kasus. Eksploitasi terhadap perempuan masih menjadi trend, sehingga penegakan hukum terhadap praktek-praktek seperti itu belum maksimal dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam mencegah terjadinya kasus trafiking. Selain itu, wanita rawan sosial ekonomi menurut data tahun 2005 tercatat sebanyak 149.461 orang dan pada tahun 2007 turun menjadi 65.685 orang atau mengalami penurunan sebanyak 83.776 orang. Kondisi ini dapat ditemui kasusnya tertinggi di Kabupaten Kupang dan terendah di Kabupaten Rote Ndao. Trend penurunan yang signifikan tersebut terus diupayakan secara optimal. Selain permasalahan pembangunan dibidang pemberdayaan perempuan tersebut diatas Indeks Pembangunan Gender (IPG) menunjukan adanya perbaikan terhadap pembangunan dibidang pemberdayaan perempuan. Tahun 2005 IPG Provinsi NTT sebesar 59,6% berada pada peringkat 20 tingkat nasional. Angka ini meningkat menjadi 61,3% atau peringkat ke 17 nasional pada tahun 2006. Rincian IPG menurut kabupaten/kota tahun 2006 sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 60 - Tabel. 2.73 Indeks Pembangunan Gender (IPG) Provinsi NTT Tahun 2006 No Provinsi/ Kab./Kota Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rata-rata Lama Sekolah % Angkatan Kerja IPG Peringkat L P L P L P L P (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 1 Sumba Barat 61,9 65,7 78,0 70,9 5,9 4,7 54,69 45,31 58,0 295 2 Sumba Barat 59,5 63,3 86,3 78,2 5,8 5,3 58,70 41,30 59,8 252 3 Kupang 62,7 66,6 86,9 81,9 6,1 5,8 65,52 34,48 60,2 240 4 Timor Tengah Selatan 64,4 68,3 83,8 78,6 6,3 5,4 65,29 34,71 52,3 417 5 Timor Tengah Utara 65,0 68,9 81,0 77,4 6,2 5,4 56,05 43,95 60,1 241 6 Belu 62,7 66,6 81,8 77,2 6,2 5,7 62,25 37,75 58,3 289 7 Alor 63,7 67,6 95,9 88,6 7,8 7,0 58,49 41,51 64,4 133 8 Lembata 64,2 68,1 93,5 87,2 7,0 5,8 53,29 46,71 63,2 164 9 Flores Timur 65,0 68,9 88,2 79,0 7,0 6,0 57,06 42,94 63,9 144 10 Sikka 65,9 69,8 90,7 89,5 6,3 5,7 55,88 44,12 57,9 302 11 Ende 62,1 66,0 94,9 90,4 7,2 6,3 49,46 50,54 64,0 142 12 Ngada 64,8 68,4 96,8 92,3 6,7 6,4 54,12 45,88 66,0 99 13 Manggarai 64,6 68,5 94,6 88,2 7,2 6,0 54,22 45,78 63,5 153 14 Rate Ndao 64,5 68,4 89,4 85,6 6,5 5,8 58,44 41,56 60,4 231 15 Manggarai Barat 63,7 67,6 92,1 86,2 6,5 6,2 57,26 42,74 60,0 248 16 Sumba Barat Daya 60,8 64,5 76,9 69,9 5,6 4,6 55,31 44,69 57,4 320 17 Sumba Tengah 60,3 64,0 76,6 69,7 5,4 4,5 55,51 44,49 57,9 301 18 Nagekeo 61,2 64,9 95,4 90,9 6,6 6,1 54,74 45,26 62,3 187 19 Kota Kupang 69,2 73,1 98,6 96,8 10,8 9,9 60,43 39,57 71,0 20 Nusa Tenggara Timur 63,5 67,4 87,8 83,0 6,8 6,0 57,87 42,13 61,3 17 Sumber: Indeks Pembangunan Gender Nasional 2006. 2.9.2. Kondisi Anak Kasus kekerasan terhadap anak selama tahun 2003-2005 menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kasus kekerasan terhadap anak laki-laki. Menurut jenisnya kasus kekerasan dalam rumah tangga selama tahun 2003 – 2005 tercatat sebanyak 37 kasus. Dari kasus tersebut yang dialami oleh kaum perempuan sebanyak 26 kasus (70,3%) dan laki-laki sebanyak 11 kasus (29,7%). Kasus perkosaan terhadap anak perempuan selama 2003 – 2005 sebanyak 203 kasus. Kasus penganiayaan terhadap anak perempuan sebanyak 44 kasus (55,7%) dan anak lakilaki sebanyak 35 kasus (44,3%). Kasus percabulan terhadap anak perempuan sebanyak 188 kasus (93,5%) dan anak laki-laki sebanyak 13 kasus (6,5%). Kasus kekerasan lainnya tercatat sebanyak 83 kasus, perempuan sebanyak 52 kasus (62,7%) dan laki-laki sebanyak 31 kasus (37,3%). Pada tahun tahun 2006, kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan yakni 624 kasus. Permasalahan sosial anak di NTT selain kasus kekerasan, masalah anak jalanan menjadi persoalan krusial. Data tahun 2005 memperlihatkan jumlah anak jalanan sebanyak 104.658, namun demikian jumlah ini mengalami penurunan sebesar 15.864, sehingga pada tahun 2007 jumlah anak jalan sebanyak 88.794. Dengan demikian, perlindungan terhadap anak masih lemah, begitu juga perhatian anak jalanan maupun pekerja anak perlu mendapatkan perhatian yang serius. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 61 - 2.9.3. Pemuda Data kependudukan memperlihatkan kelompok umur produktif menempati komposisi yang cukup besar dari total penduduk NTT. Dengan demikian, kelompok pemuda ada dalam komposisi tersebut, sehingga harus dilihat sebagai modal pembangunan. Dalam hubungan ini, peranserta pemuda dalam pembangunan termanifestasi melalui organisasi kepemudaan dalam rangka pengembangan potensi diri di kalangan pemuda. Kiprah pemuda melalui organisasi kepemudaan berupa KNPI, HMI, PMKRI, GMKI, GMNI, Pemuda Muhammadiyah, IMM, Karang Taruna, AMPI, Pemuda GMIT, Mudika, dan lain-lain. Dalam tataran lokal maupun nasional, pemuda NTT cukup memberikan warna yang positif dalam pembangunan. Dibidang olah raga misalnya pemuda provinsi NTT telah banyak memberikan prestasi yang cukup menggembirakan terutama dicabang olah raga tinju, atletik, kempo, pencak silat dan angkat berat. Selain prestasi yang telah dicapai tersebut masih terdapat sejumlah permasalahan sosial yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah, misalnya kasus HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terus mengalami peningkatan sejak tahun 2004 – 2007. Pada tahun 2004 terdapat 15 kasus HIV/AIDS dan yang ditangani sebanyak 15 kasus. Pada tahun 2005 terdapat 110 kasus dan yang ditangani sebanyak 107 kasus (97,30%). Pada tahun 2006 terdapat 123 kasus dan yang ditangani sebanyak 123 kasus. Pada tahun 2007 tedapat 317 kasus dan yang baru ditangani sebanyak 156 kasus (49,21%). Berdasarkan kelompok umur, jumlah pengidap HIV/AID’s terbanyak terdapat pada kelompok umur produktif yakni umur 25 – 39 tahun. Umur 25 – 29 tahun sebanyak 15%, umur 30 – 34 sebanyak 23% dan umur 35 – 39 sebanyak 37%. Ini berarti, bahwa pemuda sangat rentan terhadap penyebaran virus HIV. 2.10. Administrasi, Pemerintahan , Politik, Hukum dan HAM 2.10.1. Wilayah Administrasi Perkembangan wilayah administrasi menunjukan perubahan signifikan yaitu dari 16 Kabupaten/Kota Tahun 2003 menjadi 20 kabupaten/kota pada tahun 2007, demikian juga pada satuan administrasi kecamatan meningkat dari 192 kecamatan tahun 2003 menjadi 271 kecamatan pada tahun 2007, sedangkan untuk satuan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan meningkat dari 2.531 di tahun 2003 menjadi 2.836 desa/kelurahan di tahun 2008. Satuan pemerintahan ini melayani penduduk NTT sebanyak 4.355.121 jiwa (tahun 2007) yang menempati ruang pada 566 pulau besar dan kecil pulau tersebar. (Yaitu 42 pulau dihuni/bernama dan 524 pulau tidak / belum bernama). 2.10.2. Pemerintahan Daerah 2.10.2.1. Kelembagaan Pengembangan paradigma pemerintahan daerah sesuai amanat Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan yang mendasar dalam sistem kewenangan dan dengan sendirinya berakibat pula terhadap seluruh sistem pemerintahan daerah. Artinya perlu adanya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah secara keseluruhan mulai dari aspek kelembagaan, kepegawaian, sarana dan prasarana, pemerintahan daerah, kecamatan sampai pada Kelurahan/Desa. Di dalamnya termasuk alokasi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Pembenahan kembali struktur dan fungsi pemerintahan daerah juga dipengaruhi oleh unsurunsur global; seperti nilai-nilai dan gagasan-gagasan etis yang universal, wawasan nasional. Pada tataran ini terjadi benturan budaya antara budaya nasionalisme dan budaya cara hidup global (John Nasbitt dan Patricia Aburdini, Megatrend 2000). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 62 - Dalam kondisi seperti ini, pemerintah daerah dituntut untuk melakukan penataan kembali struktur dan fungsinya sesuai dengan aspirasi yang berkembang pada saat ini, baik dari segi kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia, keuangan, sarana dan prasarana. Pembenahan struktur ini juga harus memperhitungkan tuntutan global yang sedang bergelinding, yaitu perspektif good governance. Persoalan yang muncul adalah bagaimanakah menjelmakan good governance dalam pembenahan struktur kelembagaan dan aparatur Pemerintah Propinsi NTT, sehingga dapat menjawab tuntutan reformasi birokrasi pemerintahan dan meningkatkan efisiensi pelayanan publik di NTT. Berdasarkan konstelasi perubahan organisasi pemerintahan daerah, keadaan organisasi pemerintahan daerah Provinsi NTT dapat dikatakan berada dalam ”tahap transisional”, dimana keberadaan pola organisasi masih bersumber pada kewenangan provinsi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom dan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Padahal perkembangan terakhir pola organisasi perlu menyesuaikan dengan postur organisasi perangkat daerah sesuai Peraturan Pemerintah Nomor. 8 Tahun 2003 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Karena itu, bentuk dan susunan organisasi perangkat daerah pemerintah Provinsi NTT saat ini belum mengikuti perkembangan terakhir dan masih berjangkar pada kewenangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor. 25 Tahun 2000 versi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, yaitu: kewenangan bersifat lintas kabupaten; kewenangan bidang tertentu yang berjumlah delapan (8) kewenangan dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/ kota. Dari kewenangan yang diturunkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor. 25 Tahun 2000, kemudian dijabarkan dalam 108 sub-kewenangan dan 667 jenis urusan. Masingmasing SKPD kemudian dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) dengan luasan organisasinya antara lain dua sekretariat, 4 asisten, 13 Biro, 17 Dinas, 13 Badan, 2 kantor, 38 UPTD dan RSUD Prof. DR. W. Z. Yohanes Kupang. Jumlah Jabatan seluruh Perangkat Daerah, sebagai berikut Eselon I-b sebanyak 1 Jabatan, Eselon II-a sebanyak 34 jabatan, Eselon II-b sebanyak 14 jabatan, Eselon III-a sebanyak 259 jabatan, Eselon III-b 5 jabatan, Eselon IV-a sebanyak 884 jabatan dan Eselon IV-b sebanyak 15 jabatan. Kelembagaan organisasi pemerintahan yang baik sebetulnya tergambar dari struktur organisasinya yang ”miskin struktur namun kaya fungsi”. Struktur organisasi sebagaimana tersebut, jika diperbandingkan dengan kondisi jumlah PNS pada level Provinsi NTT sebanyak 6.226 orang dan jumlah jabatan struktural sebanyak 1.212, menunjukan bahwa struktur organisasi pemerintah Provinsi NTT masih mempunyai struktur yang cukup besar. Untuk meningkatkan kinerja organisasi pemerintah provinsi NTT, maka sedang dilakukan penataan berdasarkan arahan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pembangunan pemerintahan berkaitan dengan upaya konsolidasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang paling menonjol sepanjang 2004-2008 adalah penataan daerah otonom baru (desentralisasi politik) dan peningkatan kemampuan fiskal daerah (desentralisasi fiskal). Sepanjang 2000 -2008 di NTT terjadi dua gelombang pemekaran daerah, yaitu Gelombang Pertama (Kabupaten Lembata, Rote Ndao dan Lembata); Gelombang Kedua terjadi penetapan (Kabupaten Sumba Barat Daya melalui UU No. 16 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Sumba Barat Daya di Provinsi NTT; Kabupaten Sumba Tengah melalui UU No.36 tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Sumba Tengah di Provinsi NTT; Kabupaten Nagekeo melalui UU No. 2 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Nagekeo di Provinsi NTT dan Kabupaten Manggarai Timur melalui UU No. 36 Tahun 2007 tanggal 10 Agustus 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur di Provinsi NTT). Menyusul beberapa usulan pemekaran yang telah diajukan, antara lain pemekaran Kabupaten Sabu yang telah sampai pembahasannya di Depdagri dan DPR serta pemekaran Kabupaten Belu dan Sikka menjadi Kota Madya. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 63 - Spirit pemekaran daerah yang demikian menggelora tidak ditunjang dengan penguatan kelembagaan, kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana, pemerintahan daerah. Demikian pula dengan pembenahan terhadap aspek perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Persoalan tersebut berkonsekuensi terhadap otonomi daerah yang diterima sebagai rakhmat bagi daerah, berubah menjadi racun yang membahayakan masyarakat. Indikasi yang terlihat antara lain : Pertama, bergesernya egoisme sektoral menjadi fanatisme daerah. Egoisme sektoral terjadi karena pembangunan bertumpu pada asas dekonsentrasi dan bersifat sektoral. Pasca otonomi daerah, banyak Bupati/Walikota seolah-olah menjadi “raja-raja kecil”, yang bebas dari intervensi pemerintah pusat maupun propinsi. Berakibat fanatisme daerah mencuat ke permukaan. Isu putra daerah muncul dalam setiap pemilihan kepala daerah. Demikian juga isu asset daerah merupakan politik baru dalam meperjuangkan hak-hak masyarakat lokal. Kedua, ada tendensi masing-masing daerah mementingkan daerahnya sendiri dan bahkan bersaing satu sama lain dalam berbagai hal, terutama mengumpulkan PAD. Otonomi diidentikkan dengan automoney. Artinya, otonomi diterjemahkan semata-mata dari meningkatnya pangsa PAD terhadap APBD. Ketiga, terkait dengan masalah timing dan political will. Era Otonomi Daerah dicanangkan pada saat pemerintah pusat mulai goyah basis kredibilitas dan legitimasinya. Apalagi saat ini ada tendensi kuat defisit APBN semakin membesar, yang pada gilirannya mengurangi kemampuan pembiayaan dana perimbangan kepada daerah. Keseriusan pemerintah pusat melaksanakan otda benar-benar diuji saat ini. Masalah lain di sisi pendapatan adalah ketidakpastian bantuan dari pusat. Terlambatnya persetujuan anggaran cenderung mengakibatkan manjemen sumber daya yang tidak efisien dan tertundanya pelaksanaan program dan proyek. Persetujuan alokasi dana tidak turun tepat waktu karena sebagian alokasi anggaran turun mendekati akhir tahun fiskal. Keempat, dalam tahap awal otda, masih terasa adanya grey-area kewenangan antara pusat, propinsi, kabupaten/kota. Ini terjadi karena belum tuntasnya penyerahan sarana/prasarana maupun pengalihan dari pegawai pusat ke daerah. Muncul pula ketidakpuasan atas pembagian sumber daya keuangan, terutama terhadap dana bagi hasil SDA. Ini tercermin dari belum puasnya Aceh, Riau, Kaltim dan Papua terhadap pola bagi hasil yang sudah diatur dalam UU. Isu disintegrasi muncul akibat daerah merasa belum dipenuhinya aspirasi daerah. Kelima, tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan pelayanan publik. Dengan mendekatkan pelayanan pemerintah daerah terhadap rakyatnya diharapkan pelayanan publik lebih efektif dan efisien. Studi di 177 Kabupaten/Kota pada Tahun 2002 menunjukkan semakin meningkatnya KKN di semua sektor dan semua tingkat pemerintahan. Studi ini menemukan bahwa KKN paling sering terjadi di DPRD, diikuti Bupati/Walikota, dinas pendidikan, dinas kesehatan, kecamatan dan desa. Bidang korupsi yang terbanyak adalah tender pengadaan barang/proyek publik, diikuti oleh perekrutan pegawai di semua bidang. Keenam, lemahnya koordinasi antar sektor (Matsui & Kuntjoro, 2003). Ini terlihat dalam praktek perencanaan pembangunan. Sistem perencanaan pembangunan indonesia yang meliputi pendekatan top down dan bottom up, diharapkan menjamin adanya keseimbangan antara prioritas nasional dengan apresiasi lokal dalam perencanaan pembangunan daerah. Namun, kenyataannya telah gagal dalam mengakomodasi aspirasi lokal karena sebagian besar proposal proyek yang diajukan berdasarkan aspirasi lokal telah tersingkir dalam rapat koordinasi yang menempatkan proposal yang diajukan tingkatan pemerintahan yang lebih atas tanpa meperhatikan proposal yang diajukan oleh pemerintahan yang lebih rendah (Asui & Alisjahbana, 2003). Akibatnya, proposal akhir yang masuk ke pusat biasanya didominasi oleh proyek yang diajukan oleh level pemerintahan yang lebih tinggi. Walaupun terdapat mekanisme koordinasi formal (proses bottom up), namun perencanaan pembangunan daerah sebenarnya berada dalam kontrol pemerintah pusat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 64 - 2.10.2.2. Aparatur Tuntutan reformasi administrasi publik telah membawa pemikiran terhadap mereformasi birokratisasi dalam rangka mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi birokrasi. Kebijakan yang paling menonjol yaitu mencakup kebijakan penataan aparatur birokrasi, kelembagaan dan standardisasi pelayanan publik. Jumlah PNS provinsi pada birokrasi pemerintahan daerah sampai dengan Tahun 2007 berjumlah 6.226 yang terdistribusi pada jenjang jabatan struktural, jabatan fungsional dan unsur pelaksana. Berdasarkan tingkat pendidikan, jumlah PNS yang berpendidikan SD sebanyak 2,68%, berpendidikan SMP sebanyak 3,23%, berpendidikan SMA sebanyak 47,32%, berpendidikan Diploma sebanyak 10,31%, berpendidikan Sarjana sebanyak 32,44%, berpendidikan Magister sebanyak 3,97% dan berpendidikan Doktoral sebanyak 0,086 %. Berhadapan dengan kondisi kapasitas aparatur dengan tingkat pendidikan yang lebih besar berpendidikan SMA ke bawah dan sejalan dengan tuntutan akuntabilitas birokratisasi maka pengembangan kapasitas aparatur daerah menjadi perhatian serius. Sampai dengan Tahun 2007 pemerintah telah mengadakan peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur melalui peningkatan pendidikan lanjutan. Jumlah PNS yang mengikuti pendidikan lanjut sebanyak 439 orang yang terdiri dari D III sebanyak 90 orang, D IV sebanyak 12 orang, S1 sebanyak 208 orang, S2 sebanyak 121 orang dan S3 sebanyak 8 orang. Selanjutnya untuk meningkatkan kapasitas dan profesionalisme birokrasi, selama Tahun 2004 – 2007 pemerintah telah melakukan pendidikan dan pelatihan baik struktural, fungsional maupun manajemen umum sebanyak 2.896 PNS. Pendidikan dan pelatihan Struktural sebanyak 1.630 PNS, Fungsional sebanyak 768 PNS dan Manajemen sebanyak 49 PNS. Di lain pihak, tercatat tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap pelayan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan merujuk pada pemikiran yang telah dipaparkan, maka ternyata penataan personil/aparatur pada kelembagaan Propinsi NTT masih belum menampakkan tercapainya target pelayanan publik yang semakin mantap, sebagaimana terlihat dalam halhal sebagai berikut: 1) Belum memadainya personil dalam jumlah dan kualifikasi yang sesuai dengan urusan pemerintahan yang dilaksanakan 2) Belum tersusunnya standar kompetensi yang jelas untuk menduduki suatu jabatan disamping pemenuhan persyaratan administratif; 3) Belum tersusunnya manpower planning, career planning dan career development yang jelas dikaitkan dengan visi dan misi yang ingin dicapai pemerintah provinsi dimasa depan 4) Belum adanya perbedaan yang jelas antara pejabat politik dan pejabat karir agar tercipta netralitas PNS, terbebas dari kooptasi dan patronasi politik dan mengedepankan profesionalisme 5) Belum adanya kejelasan posisi dan peran Sekretaris Daerah sebagai Top Career Service 6) Belum tersusunnya mekanisme mutasi PNS baik horizontal maupun vertikal unturk mendukung peran PNS sebagai alat perekat nasional. 7) Belum jelasnya tolok ukur penilaian kemampuan, integritas dan konstituensi aparatur dengan menggunakan sistem fit and proper test. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa dalam penataan aparatur pemerintahan Provinsi NTT, belum digunakan kriteria dan standar yang rasional dan obyektif, sehingga dapat mempromosi aparatur secara profesional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 65 - 2.10.3. Pembangunan Politik Sejalan dengan tuntutan reformasi di bidang politik, kemajuan pembangunan di bidang ini menunjukan hasil yang cukup menggembirakan melalui proses demokratisasi. Pelaksanaan demokratisasi yang paling signifikan adalah proses pemilihan umum ( Pemilu) yang terjadi sepanjang 2004-2008. Pemilu sebagai salah satu instrumen demokratisasi dapat dijadikan indikator terhadap kemajuan demokrasi. Sepanjang Tahun 2004 terjadi Pemilu legislatif yang meliputi pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, pada periode ini untuk pertama kali telah dilakukan Pemilihan Presiden secara langsung. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu sebetulnya telah merepresentase beberapa indikator pembangunan bidang politik, yaitu Institusionalisasi partai politik, Peningkatan partisipasi politik, Suksesi pemerintahan dan kepemimpinan nasional/daerah, Legitimasi representase politik, Perwujudan penghargaan hak-hak warga negara dan Pematangan lembaga penyelenggara pemilu. Salah satu indikator tingkat partisipasi masyarakat dalam politik adalah keterlibatan dalam pemilihan umum. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam pemilhan umum anggota legislatif dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada tahun 2004 di Provinsi NTT sebagaimana telihat pada tabel di bawah ini. Pada tabel berikut terlihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum anggota DPR sebesar 90.04 persen ( 2.215.300) atau hanya sebesar 9.96 persen (245.119) yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan berbagai alasan. Sedangkan untuk DPRD Provinsi NTT, tingkat partisipasi masyarakat sebesar 90.09 persen ( 2.216.605) dan yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 9.91 persen (243.814). Data ini menunjukan bahwa tingkat partisipasi masyarakat NTT dalam pemilu sangat tinggi. Jumlah anggota DPRD Provinsi NTT hasil pemilihan umum Tahun 2004 sebanysak 55 orang. Bila dilihat dari komposisinya, maka sebanyak 21 kursi (38,2 %) berasal dari partai Golkar, 12 kursi ( 21,8%) dari PDIP, 4 kursi (7,3%) dari PKB, 4 kursi (7,3%) dari PDS, 4 kursi (7,3%) dari PPDI, 2 kursi (3,6%) dari PKPI, 2 kursi (3,6%) dari Partai Demokrat, 2 kursi (3,6%) dari Partai Persatuan, 1 kursi (0,8%) dari PNBK, 1 kursi (0,8%) dari PPD, 1 kursi (0,8%) dari PPDK dan 1 kursi (0,8%) dari PPP. Tabel. 2.74 Tingkat Partisipasi Rakyat Dalam Pemilu 2004 Pemilu Jumlah Pemilih Terdaftar Jumlah Pemilih Yang enggunakan Hak Suara Selisih DPR 2,460,419 2,215,300 245,119 DPD 2,460,419 2,222,124 238,295 DPRD NTT 2,460,419 2,216,605 243,814 PRESIDEN PUTARAN I 2,527,429 2,084,540 442,889 PRESIDEN PUTARAN II 2,540,224 2,162,000 378,224 Sumber: KPU Provinsi NTT. 2008 Kendatipun demikian, di tingkat civil society, partisipasi politik seringkali ditandai oleh tiga fenomena, yaitu: Pertama, sangat mengutamakan berbagai bentuk demonstrasi dan pawai yang melibatkan masa dalam jumlah yang relatif besar dari pada memakai berbagai bentuk forum publik lainnya yang melibatkan dialog, seperti pertemuan (public meeting), dengar pendapat publik (public hearing) dan semacamnya. Kedua, menonjolnya penggunaan pendekatan yang berbasiskan pada konfrontasi dan konflik, seringkali dengan melibatkan kekerasan di dalamnya. Ketiga, tiadanya ruang yang memadai bagi negosiasi dan kompromi untukmenghasilkan konsensus. Akibatnya, walaupun di atas permukaan sampai batas-batas tertentu, gejala itu dapat dilihat sebagai partisipasi publik, dalam kenyataan ikhwal ini hanya mengakibatkan proses-proses politik yang kurang produktif, dan cukup sering juga berakibat pada makin meningkatnya ketidakpercayaan di antara kedua belah pihak. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 66 - Deskripsi tersebut secara jelas menampakkan wajah sosial-politik di NTT, yang dapat dilukiskan sebagai transisi demokrasi atau lebih tegas dikatakan bahwa sistem politik yang berkecenderungan menganut model oligarkhi sebagaimana diperkenalkan Polybius (Scmichd, 1980:44). Dikatakan oligarkhi karena sistem politik ini masih dikuasai dan didominasi sekelompok orang yang nekad merebut dan mempertahankan kekuasaan untuk dan atas nama kepentingan umum. Jumlah anggota DPRD di tingkat kabupaten/kota bervariasi sesuai dengan jumlah penduduk. Rincian menurut kabupaten adalah sebagai berikut: Sumba Barat 35 orang, Sumba Timur 25 orang, Kupang 35 orang, Timor Tengah Selatan 35 orang, Timor Tengah Utara 30 orang, Belu 35 orang, Alor 25 orang, Lembata 20 orang, Flores Timur 30 orang, Sikka 30 orang, Ende 30 orang, Ngada 30 orang, Manggarai 40 orang, Rote Ndao 25 orang, Manggarai Barat 25 orang dan Kota Kupang 30 orang, Kabupaten Nagekeo 25 orang, Manggarai Timur 27 orang, Sumba Tengah 20 orang, Sumba Barat Daya 30 orang. Total keseluruhan jumlah anggota DPRD di kabupaten/kota sebanyak 582 orang. Penyelenggaraan demokratisasi di daerah juga berlangsung dalam perhelatan pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) sesuai amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sampai Tahun 2007 telah berlangsung pilkada di beberapa Kabupaten/Kota dan Provinsi, yaitu Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Ngada, Manggarai, Manggarai Barat, Flores Timur, TTU, Lembata, Kota Kupang, dan yang terakhir adalah Pilkada di Gubernur dan Wakil Gubernur. Untuk Tahun 2008 sampai Desember, dijadwalkan Pilkada untuk 9 Kabupaten masing-masing Kabupaten Sikka (sudah), Kabupaten Sumba Tengah (sudah) , Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Timor Tengah Selatan, Belu, Nagekeo, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur. Komitmen luhur untuk membangun kepemerintahan yang baik dibarengi setidaknya oleh faktor sistem hukum yang dirakit, kelembagaan pemerintahan, manajemen pemerintahan, profesionalisme aparatur pemerintah, dan kesiapan masyarakat/stakeholder. Dalam kenyataannya di Indonesia (khususnya Pilkada di NTT), komitmen tersebut sering tersandung pada sederetan masalah/tantangan, antara lain: Pertama, monopoli mekanisme pengajuan pasangan calon kepala daerah & wakil kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadikan Pilkada sangat potensial sebagai ajang money politics; Partai politik lebih leluasa menjadikan dirinya sebagai “kendaraan” bagi mereka yang berminat ke bursa pencalonan dengan menyediakan sejumlah dana tertentu. Kedua, ketentuan UU.32/2004 Pasal 59 ayat (5)g menyebutkan bahwa PNS, anggota TNI dan kepolisian yang menduduki jabatan negeri (jabatan structural dan fungsional) yang mengajukan diri sebagai calon, cukup dengan mengundurkan diri dari jabatannya, dalam prakteknya tidak memperkuat institusi partai politik. Para birokrat tinggi yang mempunyai sumberdaya yang kuat hanya menggunakan partai politik sebagai kendaraan untuk mendapatkan kekuasaan politik, tanpa adanya keinginan/keharusan menjadi anggota partai politik tersebut. Ketiga, Singkatnya jarak waktu antara pengunduran diri (non-aktif) bagi mereka yang sedang menjabat kepala daerah/wakil kepala daerah/sekretaris daerah yang kemudian mencalonkan diri menyebabkan bahwa calon yang pernah berkuasa masih mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk mengendalikan aparat pemerintah untuk kepentingan politiknya, sehingga tidak menjamin netralitas PNS. Keempat, rendahnya partisipasi warga negara dalam pilkada berhubungan dengan banyaknya warga negara yang tidak tercantum dalam daftar pemilih atau tidak memperoleh kartu pemilih. Masalah penyusunan data pemilih merupakan salah satu yang paling semrawut dan sering mengundang protes dalam pilkada. Sesuai PP.6/2005, pelaksanaan pemutakhiran data pemilih merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah daerah yang dilakukan unit kerja yang melaksanakan urusan pendaftaran penduduk (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil). Permasalahan tersebut sering muncul karena: 1) kurangnya koordinasi antara Dinas Kependudukan & Catatan Sipil dengan KPUD. 2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 67 - Kurangnya keterlibatan RT/RW dalam proses pendaftaran pemilih; 3) Kartu pemilih terlambat atau tidak disampaikan sama sekali; 4) atas dasar pertimbangan politik disinyalir ada petugas pendaftaran pemilih sengaja tidak mendaftarkan atau menyampaikan kartu pemilih kepada warga tertentu. Kelima, kendatipun pilkada secara langsung oleh rakyat, tidak menjamin bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih akan langsung lebih tanggap terhadap rakyat yang menjadi konstituen dengan merealisasikan program-program yang dijanjikannya ketika kampanye. 2.10.4. Hukum dan HAM Pemerintah telah berupaya menegakan pelaksanaan Hukum dan HAM. Berbagai instrumen pembangunan dan pembaharuan hukum di masyarakat belum berfungsi secara optimal. Berbagai permasalahan yang terkait seperti sistem hukum daerah yang belum terarah untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial di NTT, ada kemajuan koordinasi antara aparat penegak hukum dalam penanganan masalah-masalah hukum dan pelanggaran HAM, tetapi rendahnya kesadaran hukum masyarakat dan terbatasnya akses masyarakat dalam proses pembentukan produk hukum daerah. Selama periode 2004 – 2006, pembangunan bidang Hukum dan HAM diarahkan untuk menciptakan supremasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sehingga terwujudnya kepastian hukum, rasa adil, penyelenggaraan negara yang bersih dan bewibawa, kesadaran masyarakat yang tinggi dan pengakuan serta penghargaan terhadap HAM. Bertolak dari pemikiran tersebut maka terdapat tiga hal yang perlu mendapat perhatian yakni peningkatan kualitas materi hukum yang transparan dan adil, perlindungan hukum dan HAM serta penciptaan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Pertama, dalam rangka peningkatan kualitas materi hukum yang transparan dan adil, maka ada dua kegiatan pokok yang telah dilakukan, yaitu peningkatan kapasitas legal drafting kepada 250 aparatur pemerintahan berkaitan dengan pembuatan perda dan berkaitan dengan peran legislasi, pemerintah provinsi dan DPRD telah melakukan revisi dan penyusunan Ranperda dan penetapan Perda. Perda merupakan suatu bentuk kebijakan publik yang mencerminkan kemampuan daerah mengatur diri sendiri (self-regulating) yang menjadi landasan yang mengikat pemerintah dan masyarakat dalam memecahkan masalah dalam bidang kewenangan yang didesentralisasikan kepada daerah. Umumnya perda sebagai suatu bentuk legal dari kebijakan publik bersifat mengatur, mengarahkan, melarang atau membolehkan dan memberi insentif yang kesemuanya bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat maupun pengusaha dalam pembangunan daerah. Produk hukum daerah tidak hanya tertuang dalam Ranperda/Perda, tetapi juga Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat operasional. Produk hukum yang dihasilkan daerah umumnya mencakup bidang ekonomi sosial-budaya, politik, kamtibmas/ tramtibmas dan lingkungan hidup. Selama 2004-2006 telah dihasilkan 35 Ranperda di tingkat Provinsi dan 24 di antaranya ditetapkan sebagai Perda. Dalam rangka penyempurnaan materi hukum yang disesuaikan dengan perkembangan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, maka dilakukan kaji ulang terhadap 8 Perda. Dalam kedudukan provinsi sebagai pembina otonomi daerah, telah pula dilakukan pengawasan represif terhadap 1.060 Ranperda/Perda maupun keputusan dan peraturan kepala daerah kota dan kabupaten. Dalam analisis dan penelitian yang dilakukan, 90 perda ditolak. Artinya, dalam setiap tahun terdapat beban bagi Pemerintah Provinsi untuk mengkaji dan menelaah sebanyak 353,33 Ranperda/Perda. Peran pemerintah provinsi dalam proses legislasi daerah sangat berat dan menjadi filter yang menentukan kualitas Ranperda dan Perda kabupaten/kota. Pada tataran implementasi sesuai kewenangan dilaksanakan melalui upaya peningkatan sumberdaya aparatur bidang hukum, peningkatan kualitas materi hukum dan penegakan terhadap produk hukum daerah. Dan pada aras penegak hukum yaitu melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 68 - upaya peningkatan pengetahuan dan kapasitas PPNS. Pada tahun 2002 - 2006 30 PPNS dilatih pada tingkat provinsi dan 36 PPNS pada tingkat kabupaten. Untuk PPNS provinsi terdapat 40 PPNS yang dilatih pada tahun 2007. Keberadaan sumberdaya aparatur bidang hukum belum cukup signifikan untuk membantu pemerintah daerah dalam menyusun suatu regulasi yang menjadi kebutuhan masyarakat. Pelaksanaan legal drafting pada Tahun 2007 untuk 50 orang diprediksikan akan terjadi peningkatan kualitas produk hukum daerah di banding Tahun 2006 yang belum diprogramkan, meskipun peningkatan tersebut belum cukup berarti, namun telah berdampak pada kualitas materi hukum daerah berupa Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur. Sejak otonomi daerah diberlakukan secara konsisten dengan pemberlakuan perda tanpa melalui proses pengesahan, artinya sejak perda ditetapkan maka dapat langsung diberlakukan, dan dalam pelaksanaannya dievaluasi oleh pemerintah pusat untuk perda Provinsi. Kedua, perlindungan hukum dan HAM. Intervensi perlindungan hukum dan HAM belum dilakukan secara cukup berarti, padahal kasus pelanggaran hukum dan HAM menunjukkan eskalasi yang mencemaskan. Beberapa indikator makro tentang hukum dan HAM dapat menjadi contoh tentang urgensinya penegakan hukum dan HAM, yaitu makin maraknya kasus pelanggaran HAM di NTT. Data statistik tentang kasus pelanggaran HAM dan kejahatan menunjukkan angka yang memprihatinkan, seperti tingginya anak balita terlantar, anak terlantar, lansia terlantar, anak korban kekerasan, perempuan rawan masalah sosial ekonomi, tindak kekerasan terhadap perempuan. Tabel 2.75 Data Indikatif Pelanggaran HAM No Kasus Jumlah 1. Anak balita terlantar 13.492 2. Anak terlantar 88.794 3. Lansia terlantar 46.021 4. Anak kurban kekerasan 624 5. Perempuan rawan sosial ekonomi 65.685 6. Perempuan korban kekerasan 1.613 7. Anak nakal 5.337 8. Anak jalanan 6.850 Sumber: NTT Dalam Angka 2006 Upaya pengakuan, penghargaan dan pemenuhan hak azasi kepada setiap warga negara masih harus mendapat perhatian yang serius. Upaya ini dilakukan melalui intervensi kebijakan perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagaimana Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM; Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga; Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kasus kejahatan atau pelanggaran hukum makin berkembang secara kuantitatif dan kualitatif. terdapat lima kasus yang paling menonjol yang terjadi di NTT, yaitu kasus pembunuhan, kesusilaan pencurian, penganiayaan, dan pelanggaran ketertiban umum. Jumlah pelanggaran hukum juga meningkat dari 1.914 kasus tahun 2005 menjadi 2.361 kasus Tahun 2006. Salah satu penyebab meningkatnya tingkat kriminalitas adalah rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat, sehingga perlu diupayakan pembelajaran hukum bagi masyarakat yang dilakukan dengan proses bimbingan, sosialisasi dan penyuluhan hukum. Pemerintah Provinsi NTT sepanjang tahun 2004-2006 melakukan kegiatan sosialisasi undang-undang kepada para pejabat pemerintah maupun masyarakat melalui sosialisasi produk hukum secara langsung maupun melalui media massa. Sosialisasi atau penyuluhan hukum secara terpadu dilakukan di 19 kabupaten/kota dengan materi produk hukum daerah dan pusat. Sementara itu, sosialisasi/ penyuluhan hukum Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 69 - secara tidak langsung dilakukan melalui RRI (48 kali); lewat media cetak (36 kali) pada tiga koran daerah; dan lewat TVRI. Tabel 2.76 Lima Kasus Kejahatan Terbesar di NTT No. Kasus Jumlah 1. Pembunuhan 422 2. Pencurian 350 3. Penganiayaan 322 4. Kesusilaan 297 5. Pelanggaran ketertiban umum 260 Sumber: NTT Dalam Angka 2006 Untuk meningkatkan pengawasan publik berkaitan dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, maka Pemerintah Provinsi mendorong dan memfasilitasi berdirinya Komisi Ombudsman Nasional di Kupang yang wilayah kerja mencakup NTT dan NTB. Ketiga, penciptaan pemerintahan yang bersih dari KKN harus menjadi perhatian utama, terutama dalam konteks penyalahgunaan kekuasaan (power abuse) dalam penggunaan keuangan negara. Sepanjang 2004-2006 terdapat 462 kasus temuan Banwas. Kasus Korupsi sebagaimana yang ditemukan oleh PIAR tersebar pada semua kabupaten/kota di NTT dan yang terbanyak adalah di Flores Timur (11) kasus. Hal ini juga mewakili kasus korupsi yang menjadi persoalan nasional yang menurut Transparency Internasional, Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir masih dikategorikan sebagai negara terkorup dalam pengukuran Indeks Persepsi Korupsi. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia adalah 2,2 (122/123) pada tahun 2004; 2,2 (143/158) tahun 2005; 2,4 (130/163) pada tahun 2006; dan 2,3 (143/178) tahun 2007. 2.11. Kemiskinan. Kondisi kemiskinan di Provinsi NTT terus mengalami penurunan. Sampai dengan bulan Maret tahun 2008 jumlah penduduk miskin di NTT sebanyak 1.098.300 jiwa (25,65%). Apabila dibandingkan dengan perkembangan jumlah penduduk miskin di NTT selama tiga tahun terakhir(2006-2008), maka telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin dari 29,34% pada tahun 2006 menjadi 27,51% pada tahun 2007, kemudian pada tahun 2008 menurun menjadi 25,65%. (Berita Resmi Statistik No.03/07 Th. XI/Juli 2008). Tabel 2.77 Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di NTT dan Nasional 2004 -2006. 2004 2005 2006 Nasional 16.66 16.69 17.75 NTT 27.86 28.19 29.34 Sumber: NTT Dalam Angka 2004-2006 Berdasarkan data BPS tahun 2007, maka kabupaten dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di NTT adalah Sumba Tengah (43,05%) kemudian diikuti oleh Sumba Barat Daya (42,96%) dan Sumba Barat (42,745). Rician menurut kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 70 - Tabel 2.78 Persentase Penduduk Miskin Kabupaten/Kota di NTT Tahun 2005-2007 No Kabupaten/ Kota Jumlah (000) Persentase 2005 2006 2007 2005 2006 2007 1 Sumba Barat 168,4 184,6 43,5 42,77 45,18 42,74 2 Sumba Timur 82,3 90,2 82,8 41,15 41,62 39,08 3 Kupang 111,8 122,6 111,6 33,54 33,84 31,32 4 TTS 149,7 164,1 147,5 37,64 39,93 37,43 5 TTU 69,5 68,0 60,4 31,53 32,65 30,12 6 Belu 72,1 79,0 83,9 20,74 20,09 21,02 7 Alor 49,9 54,7 48,2 29,87 30,99 28,49 8 Lembata 34,4 37,7 33,5 35,79 36,97 34,45 9 Flores Timur 33,9 37,2 31,2 15,86 16,54 14,38 10 Sikka 54,4 59,6 50,5 19,91 21,69 19,15 11 Ende 47,4 53,2 46,0 20,09 22,43 20,33 12 Ngada 38,2 41,9 21,8 15,99 16,78 17,28 13 Manggarai 155,4 167,2 150,5 31,89 33,87 31,41 14 Rote Ndao 28,0 30,7 30,1 27,43 27,83 28,26 15 Manggarai Barat 53,7 58,9 53,5 29,28 30,19 27,96 16 Sumba Barat Daya 53,3 42,96 17 Sumba Tengah 76,1 43,05 18 Nagekeo 18,9 16,05 19 Kota Kupang 22,1 24,2 20,3 8,38 8,71 7,50 Nusa Tenggara Timur 1171,2 1273,9 1163,6 28,19 29,34 27,51 Sumber: NTT Dalam Angka 2005-2007 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 71 - Salah satu faktor yang mendeterminasi tingginya tingkat kemiskinan di NTT adalah tingginya angka pengangguran tersembunyi yang mencapai > 70 % tenaga kerja, dengan tingkat produktivitas yang sangat rendah, yaitu setara dengan 200.000,- sampai 350.000 rupiah per bulan per tenaga kerja. 2.12. Batas Wilayah Administrasi dan Perbatasan Negara 2.12.1. Batas Wilayah Antar Kabupaten/Kota Batas wilayah administrasi pemerintahan antar Kabupaten/Kota se Provinsi NTT pada umumnya belum memiliki batas wilayah administrasi pemerintahan yang jelas dan tegas, sehingga dalam tataran tertentu menjadi kendala dalam upaya mengimplementasikan spirit otonomi daerah secara elegant di daerah masing-masing. Ketidakjelasan batas wilayah ini sering juga menimbulkan konflik di masyarakat terutama pada daerah perbatasan dimaksud. Permasalahan batas wilayah administrasi pemerintahan antar Kabupaten/Kota dan sengketa batas desa di wilayah Provinsi NTT dari tahun 2004 hingga akhir Tahun 2007 sebagai berikut: 2.12.1.1. Permasalahan Batas Wilayah Administrasi antara Kabupaten Kupang dengan Kota Kupang; Secara empirik, sengketa batas wilayah antara Kabupaten Kupang dengan Kota Kupang terdapat pada 3 (tiga) segmen yaitu: Segmen Nasipanaf, Segmen Hutan Loti dan Segmen Usapi Sonbai. Untuk mengatasai masalah perbatasan ini pemerintah provinsi telah melakukan fasilitasi penyelesaian sengketa batas wilayah melalui beberapa kegiatan antara lain, memfasilitasi pelacakan kembali batas wilayah administrasi antar kedua pemerintahan yang dimulai pada bulan Februari Tahun 2004 sampai dengan Mei 2004, pemasangan pilar pada segmen-segmen yang tidak bermasalah sebanyak 455 buah pilar batas wilayah administrasi pemerintahan. Hasilnya Perkembangan hingga akhir Tahun 2007, menunjukkan bahwa penyelesaian batas daerah antara Kabupaten Kupang dan Kota Kupang menunjukkan kemajuan yang berarti yakni memasuki tahapan persiapan penandatanganan kesepakatan batas antara Bupati Kupang dan Walikota Kupang pada peta batas daerah dan Berita Acara penentuan titik-titik batas. 2.12.1.2. Permasalahan Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan antara Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan Kabupaten Belu; Sengketa terjadi pada dua segmen yaitu: segmen Lotas dan Nonopaku. Untuk penyelesaian masalah perbatasan ini pemerintah provinsi terus berupaya memediasi kedua unsur pemerintah kabupaten dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, serta melakukan penelitian lapangan dan kajian secara komprehensif terhadap kondisi riil di lapangan, dokumen dan bukti yuridis lainnya sehingga hasil akhir penyelesaian nantinya dapat diterima kedua belah pihak tanpa menimbulkan gejolak sosial dalam masyarakat; 2.12.1.3. Permasalahan Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan antara Kabupaten Manggarai dengan Kabupaten Ngada Sengketa batas wilayah ini terutama terjadi pada daerah Buntal. Pemerintah provinsi telah memfasilitasi pelacakan batas antara Pemerintah Kabupaten Ngada dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai pada segmen yang disengketakan. Dan telah dilakukan penandatanganan berita acara kesepakatan bersama penyelesaian masalah batas wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Manggarai dengan Kabupaten Ngada yang mengacu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 72 - pada Peta Topografi Tahun 1916 pada tanggal 9 Juni 2006 bertempat di Kupang dan tindaklanjut dari berita acara dimaksud telah dilakukan peninjauan lapangan serta sosialisasi pemindahan pilar batas yang setelah diidentifikasi berada pada posisi yang salah. Pemerintah provinsi sedang menghimpun dan mengkaji semua dokumen tentang penyelesaian batas antara kedua Kabupaten yang dilakukan pada masa lalu serta aspirasi yang berkembang dikalangan masyarakat saat ini guna dijadikan referensi bagi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat untuk pengambilan kebijakan secara adil dan tuntas. 2.12.2. Kondisi Pulau-Pulau Terdepan/Terluar Provinsi NTT memiliki 5 (lima) pulau terluar/terdepan dari 92 pulau di Indonesia yang ditetapkan sesuai Kepres No. 78 Tahun 2005 yaitu Pulau Alor, Pulau Ndana (Sabu), Pulau Ndana (Rote), Pulau Batek (Kupang) dan Pulau Mangudu. (Selatan Sumba). Pada kelima pulau tersebut, ada yang telah memiliki infrastruktur secara baik, seperti Pulau Alor, namun ada pula yang belum memilki infrastruktur. Pulau Ndana, Dana dan Manggudu serta Pulau Batek merupakan pulau-pulau kosong yang menjadi titik batas koordinat luar wilayah Indonesia yang membutuhkan simbol-simbol negara sebagai pengamanan dan pengendalian batas negara. 2.12.3. Perbatasan Negara. 2.12.3.1. Posisi Perbatasan Pembangunan wilayah perbatasan harus didasari oleh persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang hidup di wilayah perbatasan. Kondisi wilayah perbatasan dengan Timor Leste dengan luas wilayah perbatasan 489,94 ha, Darat – 149,1 km, Pantai – 52 km. Desa darat dan pantai – 34 desa / 4 desa dengan jumlah penduduk 44.598 jiwa. . Meskipun pilar tapal batas demarkasi sesuai kesepakatan tahun 2004 belum seluruhnya terpasang namun batas permanen dengan Timor Leste yang diakui oleh masyarakat Belu terletak di sungai Malibaka. Secara umum daerah perbatasan ditandai oleh aliran sungai yang terbentang dari Kecamatan Tasifeto Barat terutama di desa Buik dan Lurudik dengan panjang sungai 50 Km, Kecamatan Tasifeto Timur di desa Baukama sampai Malibaka dengan panjang sungai 138 Km. Secara geografis, sekitar 55,01 % wilayah perbatasan berada pada kemiringan yang relatif terjal hingga sangat terjal. Seluas 59,73 % wilayah perbatasan berada pada ketinggian 250 hingga 750 meter di atas permukaan laut (dpl). Demikian juga dengan daerah-daerah yang berada pada ketinggian 750 hingga 1000 meter dpl sebagian besar berada di wilayah perbatasan. Ada 28 desa di Belu yang terletak di wilayah perbatasan dengan jumlah penduduk 44.598 jiwa di Belu dan 16.233 jiwa di TTU. Mayoritas penduduk di wilayah perbatasan adalah laki-laki (74%) sedangkan 26% sisanya adalah perempuan. Sebanyak 92% sudah berkeluarga dengan pekerjaan pokok sebagai petani dan peternak. Sejumlah 14 % dari penduduk daerah pebatasan memiliki tanah di negara tetangga untuk menanam tanaman untuk memenuhi kebutuhan pokok. Sebanyak 29 % penduduk ini memasuki wilayah negara tetangga untuk mengolah lahan dan sebnyak 79% penduduk yang berkunjung ke Timor Leste (berkebun dan mengunjungi tetangga tidak memiliki Paspor. Mereka umumnya menggunakan bahasa daerah (Dawan), bahasa Indonesia dan bahasa negara tetangga (bahasa Tetun – Portu). Jika dicermati kondisi di wilayah perbatasan terdapat beberapa hal yang menjadi pokok masalah. Meskipun sudah ada perjanjian kerjasama tingkat nasional berupa MOU tentang Pos Lintas Batas (PLB) antara Pemerintah RI dengan Negara Timor Leste pada tanggal 11 Juli 2003. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 73 - Sejauh ini terdapat masalah krusial seperti : • Belum ada perjanjian kerjasama di tingkat daerah. • Hubungan antar masyarakat belum kondusif sehingga masih sering terjadi gangguan kamtibmas berupa pencurian, perdagangan gelap, penyelundupan, kepemilikan senjata api ilegal, dll. • Perdagangan langsung dari Surabaya ke Dilli menyebabkan tidak berfungsinya pasar tradisional yang telah dibangun • Masih adanya perdagangan gelap (ilegal) lewat ”jalan tikus” serta penyelundupan barang dan manusia • Investasi baru berupa transportasi darat / jasa angkutan darat dengan nilai investasi yang kecil. • Fenomena migrasi dari kegiatan perdagangan ilegal (ilegal bisnis dan ilegal trading) menimbulkan kerawanan sosial dan ekonomi. Perlu peningkatan perekonomian di perbatasan serta pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur perekonomian. • Orientasi hubungan kedua negara yang selama ini lebih menonjolkan aspek keamanan perlu diimbangi dengan peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam bidang sosial ekonomi terdapat beberapa permasalahan pokok yang dihadapi oleh masyarakat di daerah perbatasan seperti pendidikan, pertanian, kesehatan, perekonomian, infrastruktur, transportasi dan kependudukan, yang dapat dirinci sebagai berikut : 1. Masalah pendidikan : a. Tidak ada SMP dan SMA di daerah perbatasan baik di Belu maupun di TTU. Sehingga anak-anak usia sekolah tidak memiliki akses untuk bersekolah. b. Orang tua harus mengeluarkan biaya tambahan transpor bagi anak-anak yang sekolahnya jauh dari desa. c. Gedung dan fasilitas sekolah tidak memadai d. Belum ada SD kecil untuk eks pengungsi e. Angka putus sekolah sesudah SD tinggi 2. Masalah Pertanian : a. Petani kurang mengetahui cara bercocok tanam di lahan kering. b. Terbatasnya lahan pertanian bagi warga ex pengungsi c. Iklim yang kering/kekeringan karena curah hujan kurang d. Rendahnya harga jual produk/hasil pertanian e. Tidak ada pendampingan dari penyuluh pertanian f. Tingginya harga pupuk / insektisida 3. Masalah perekonomian a. Tingginya harga kebutuhan pokok sehari-hari b. Tidak ada pasar desa, pasar terdekat terletak di Motaain c. Terbatasnya peluang / lapangan kerja d. Banyaknya keluarga miskin 4. Masalah pembangunan infrastruktur : a. Kerusakan jalan dan jembatan b. Kurangnya fasilitas umum (pasar, dll) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 74 - 5. Masalah kesehatan a. Belum ada Puskesmas Rawat Inap b. Persediaan obat terbatas c. Tenaga medis / dokter kurang 6. Masalah kependudukan a. Masih banyak warga eks pengungsi yang belum tertampung b. Kurangnya perumahan layak huni bagi eks pengungsi Selama ini pemerintah telah melaksanakan pembangunan untuk wilayah perbatasan. Beberapa upaya yang sudah dilakukan antara lain: 1). Peningkatan frekwensi, sarana & kualitas layanan perhubungan (yang sementara dan akan dibangun dan dikembangkan) antara lain: a. Transportasi Darat; seperti Pembangunan terminal antar negara di Motaain; Pembangunan SPBU di sekitar Pos Perbatasan Terpadu Motaain (penetapan tarif dollar); dan Pembangunan jembatan timbang. b. Transportasi Laut; seperti Pengembangan dermaga di Atapupu dan dermaga ferri; Pengembangan PPI di Atapupu; Pembangunan dermaga pelabuhan laut Motadikin; dan Peningkatan keamanan Selat Ombai. c. Transportasi Udara; seperti Peningkatan status Bandara Haliwen (perintis ke internasional) yang dapat membuka jalur penerbangan internasional dengan rute : Darwin – Comoro – Atambua - Kupang atau sebaliknya; Pembangunan terminal Bandara Haliwen serta pengadaan software penunjang 2) Pengembangan Infrastruktur di daerah perbatasan yang meliputi; prasarana sumber daya air dan irigasi meliputi; sumber daya air,kebutuhan akan air bersih di perbatasan; Pengembangan jaringan irigasi: Haekesak, Maubusa; Holeki, Haleleki; Taeksoruk, atubesi dan Kabenase; Pembangunan embung irigasi; Pembangunan embung-embung kecil; Pembangunan bendungan kali Talau yang dapat memenuhi kebutuhan air bagi 4 kecamatan; Pembangunan sarana & prasarana pemukiman di baru bagi masyarakat Kecamatan Tasifeto Timur dan Tasifeto Barat; Pembangunan telkom, fasilitas internet dan stasiun relay TV di kawasan perbatasan; Pembangunan kelistrikan; Pembangunan dan peningkatan fungsi pos pelintas batas; Pelayanan perbankan; Penanganan pasar perbatasan; Pembangunan Rumah Sakit Penyanggah Perbatasan; Pembangunan SMK bertaraf internasional. 3) Pembembentukan Kawasan Khusus Perdagangan Bebas di perbatasan Belu dengan Timor Leste untuk aksesibilitas ekonomi yang saling menguntungkan antar Kabupaten Belu dengan Timor Leste, Pemerintah Kabupaten Belu mengusulkan untuk menetapkan dan meningkatkan status Motaain, Turiskain dan Motamasin sebagai KOTA MODEL PUSAT KEGIATAN PERDAGANGAN BEBAS; Pemberian fasilitas bebas pajak, bea dan visa khusus bagi barang dan pengunjung ke kawasan khusus; MOU tentang Pos Lintas Batas(PLB) antar Pemerintah RI dng Timor Leste tanggal 11 Juli 2003 agar segera diberlakukan dan atau ditaati semua pihak; Peningkatan fungsi PLB melalui pembangunan sarana dan prasarana di Kawasan Khusus Perdagangan Bebas / di wilayah perbatasan. Untuk menunjang kegiatan perdagangan barang dan jasa, pemerintah berupaya meningkatkan pelayanan seperti; 1) Peningkatan kualitas pelayanan untuk transaksi perdagangan, lewat: 2) Mengakses perdagangan ke Kawasan Khusus Perdagangan Bebas; 3) Pembangunan pasar/grosir induk untuk mensuplai barang-barangdan mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Prov. NTT Tahun 2009-2013 II - 75 - perdagangan di perbatasan; 4) Menetapkan Pas Lintas Batas; 5) Pembangunan pelabuhan Atapupu sebagai pelabuhan transito. Selain hal tersebut di atas, pembangunan perbatasan juga diarahkan pada peningkatan kelembagaan dan infrastruktur yang dibutuhkan oleh tata kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan. Berbagai pembangunan sarana dan Prasarana serta pertahanan dan keamanan di wilayah diperbatasan yang telah dilakukan di kawasan perbatasan adalah sebagai berikut : a. Aspek Hukum Internasional: 1. Pembangunan pos perbatasan - 3 unit, di Motaain, Motamasin & Metamauk 2. Pembangunan pos imigrasi di 7 pintu masuk 3. Pembangunan Pos Karantina 4. Pembangunan Pos Bea Cukai 5. Pemasangan Pilar batas sebagai titik koordinat ikat 6. Pengkajian intensif Batas Wilayah 7. Pemasangan lampu suar & Rumah jaga di Pulau Batek b. Aspek Pertahanan dan Keamanan, Penempatan pasukan pada pulau terluar c. Aspek Pengembangan Wilayah: 1. Permukiman dan Prasarana Wilayah: mencakup Pembangunan permukiman di desa wilayah perbatasan di Kabupaten belu 2. Peningkatan mutu jalan kawasan batas Kabupaten Kupang-Citrana, TTU ke Batas Distrik Ambenu dan Batas Belu Ke arah Distrik Bobonaro 3. Pembangunanan Prasarana Irigasi perbatasan 4. Perekonomian ,berupa Pembangunan pasar di daerah perbatasan yaitu di kabupaten Belu (Motaain, Motamasin & Turiskain); dalam rencana TTU (Napan) & Kupang (Naikliu) d. Sarana Layanan Sosial Kemasyarakatan Sosial: 1. Pembangunan Rumah Sakit perbatasan di Betun-kabupaten Belu. 2. Penanganan warga baru dari Timor Timur dalam bentuk : Bantuan sosial berupa bantuan jaminan hidup/ bekal hidup, yang diberikan langsung kepada warga, Penanganan Korban bencana sosial atau bantuan keserasian sosial pada 8 Kabupaten/ Kota di Provinsi NTT untuk 4.550 kepala keluarga. 3. Program Bantuan Pembangunan Rumah di Daratan Timor , sebanyak 5.000 unit, tersebar di 45 Desa di Timor Barat 4. Pembangunan daerah transmigrasi untuk warga eks pengungsi Timor Timur (warga baru). e. Aspek Koordinasi dan Regulasi Pengelolaan Perbatasan Negara sebagai kerjasama dua Negara RI dan RDTL meliputi : 1. Kerjasama transportasi lintas Oekusi– Napan –Motaain – Batugade. 2. Kerjasama layanan Pos 3. Kerjasama Pelintas barang dan orang menurut kebiasaan atau lintas tradisional yang menetapkan 9 pintu masuk 4. Kerjasama perdagangan perbatasan dengan penetapan lokasi pasar perbatasan 5. Kerjasama Kepolisian 6. Penetapan Titik batas bersama Batas Negara 7. Perjanjian Pelintas Barang dan orang di pintu utama Motaain, Napan dan Metamauk.uk.