Powered By Blogger

Rabu, 09 Februari 2011



BUDAYA SUMBA TIMUR
http://www.nttprov.go.id/ntt_09/images/img_st.gif
Sumba Timur batas wilayah disebelah barat dengan kabupaten Sumba Barat, sebelah utara, selatan dan timur dikelilingi laut Sabu. Luas wilayah 7000,5 km2. Alam Sumba Timur terdiri dari bukit-bukit dengan ciri padang savana yang membentang jauh ke timur samapi ke selatan, kecuali daerah sekitar Lewa lebih kurang 60 km dari ibu kota Waingapu kearah barat merupakan gudang beras dari kabupaten ini. Menurut catatan A.N.T.J. Van der Hoop yang dikutip B. Soelarto mengatakan bahwa orang-orang Sumba sebenarnya datang dari Indocina yang sudah membentuk suatu ras baru yaitu Melayu muda yang bakal berlayar menuju ke muara sungai Kambaniru dan mendirikan sebuah kampung tradisional ditempat ini dan kelak disebut Kampung Lambanapu.

Pada tahun 1522 sebuah kapal kuat dan bagus milik Magalhaens, 'Victoria' berlayar mengelilingi dunia dibawah pimpinan Juan Sebastian de Elcano. Diatas kapal itu juga ada seorang calon perwira bernama Antonio Pigafetta. Padea tanggal 14 Pebuari 1522 kapal itu berlayar dekat pulau Sabu ke arah barat sebelah selatan Pulau Sumba. Dalam pelayaran itu Pigafetta mungkin mendengar dari seorang penunjuk jalan masuk keluar pelabuhan atau selat 'Cendana' dan 'Melolo' kemudian ia mengira bahwa itu dua nama dari pulau. Kelak Pigafetta dalam petanya menggambarkan dua pulau itu 'Cendana' dan 'Batalo' (yang tak lain kampung Malolo sekarang).Sekitar 40 tahun kemudian pulau itu digambar oleh seorang juru gambar peta bumi, Jacobo Gastaldi. Pada tahun 1561 ia menerbitkan peta bumi, dan pulau itu diberi nama 'Subao' Kemudia tahun 1593 Cornelius de Judaeis menerbitkan peta dan 'Pulau Merapu disebutnya 'Suban' bahkan ada lagi yang menyebut 'Siombo'. Sementara anak negeri sendiri menyebutnya tana 'Sumba'.

Pola pengelompokan masyarakat pada umumnya dimulai dari keluarga batih/inti, biliku yang isinya bapak, ubu, dan anak, yang kemudian membentuk uma dan gabungan dari beberapa uma membentuk kabisu atau klen besar.
Kabihu berarti sudut, ini menunjukan bahwa pemukiman kabihu di sudut punggung bukit, berbentuk segi empat memanjang dan kedua ujung kampungnya menyempit berbentuk perahu. Setiap kabihu mempunyai nenek moyang, dan tanah kabihu sendiri yang diwariskan dari nenek - kakek mereka, kabihu juga kadang-kadang terhoimpun kedalam beberapa kabihu misalnya:
(1) Kabihu Angupaluku/kabihu bersaudara
(2) Kabihu Yer/kabihu pemberi wanita
(3) Kabihu anak kawin / kabihu penerima wanita

Beberapa Kabihu kelak membentuk kotaku/dusun dan akhirnya membentuk sebuah kampung yang disebut Praingu. Umumnya dikenal empat Kabihu penting dalam setiap Desa induk yang selalu disebut dalam seloka secara berpasangan yaitu:
(1) Lewa : Motolangu - Parai Majangga
(2) Kambera : Mbujika - Parai Karaba, Kabiku - Anamburu
(3) Tabundung : Hau - Harikundu, Kawatangu - Dukuwatu
(4) Mangili : Maru - Watumbulu, Matolangu - Wanggirara.

Marapu agama asli masyarakat Sumba dalam kegiatan ekonominya bersandar pada sector pertanian, peternakan, dan juga industri rumah tangga berupa kerajinan tenun ikat. Kerajinan ini terdapat dibeberapa tempat yang terkenal dengan tenun ikatnya yaitu, desa Kaliuda (kec. Pahungalodu), Rindi dan Watuhadang (kec. Rindiumalulu), Rambangaru (kec. Pandawai) dan Kelurahan Prailiu. Tenunannya bermutu tinggi karena dibuat dengan menggunakan ramuan tradisional yang telah diwarisi dari nenek moyangnya sejak dahulu kala. 


 

BUDAYA SUMBA BARAT
http://www.nttprov.go.id/ntt_09/images/img_sb.gif
Sumba Barat merupakan salah satu kabupaten dari dua kabupaten yang ada di pulau Sumba berbatasan bagian utara dengan Laut Sabu, Selatan dan Barat dengan Lautan Indonesia dan sebelah Timur dengan Kabupaten Sumba Timur.

Luas wilayah kabupaten Sumba Barat 4051,92 km2. Dalam banyak hal wujud kebudayaan masyarakat Sumba Barat ada kesamaan dengan kabupaten Sumba Timur, yang terutama adalah pranata religiusnya yakni Merapu sebagai suatu 'Agama Asli' orang Sumba pada umumnya.

Kehidupan paling purba di Sumba khususnya Sumba Barat ditemukan dalam Li'i
Merapu, ialah hikayat suci tentang asal-usul nenek moyang. Biasanya digelar secara khusus diwaktu malam dikisahkan oleh seorang penyanyi dan seorang penderas, secara berganti-ganti, sahut-menyahut diselingi bunyi gong dan genderang. Dalam suasana khidmat dan dengan hati terharu penduduk kampung mendengarkan sejarah kuno yang diceriterakan dengan meriah. Singkat ceritera di pantai Utara disanalah nenek moyang kita menjajakan kakinya, pantai itu Sasar namanya. Tanjung Sasar itu dahulu ada 'Lende Watu' Jembatab Batu yang menyambung pulau Sumba dan Bima, bahkan ada yang menceriterakan jembatan batu tersebut membentang jauh sampai ke pantai Manggarai.

Penduduk Sumba Barat secara tradisional adalah bertani (bersawa) dan berladang dengan padi yang suci (pare) sebagai tenaman pokok yang dihormati. Terdapat beberapa rangkaian upacara dalam mata pencaharian masyarakat Sumba Barat antara lain upacara upacara :

(1) Upacara mengasah parang ( urata patama keto) agar parang /pisau
     dan lain-lain dapat berfungsi pada waktu hendak memotong hewan besar, bekerja kebun.
(2) Urata Pogo wasu (menebang pohon)
(3) Urata Tenu ( membakar kayu)
(4) Urata Wuke Oma (membuka kebun) rangkaian upacara ini sebagai pemohon belas
     kasih pada dewa untuk meminta kesucian untuk perang, tanah agar menghasilkan
     dan hujan yang banyak.
(5) Urata Dengu Ura (memohon hujan) semua acara di atas dipimpin oleh Rato dengan
     mengambil ayam yang darahnya dipercik baik ke parang, pohon, maupun tanah.
(6) Urata Dengi Ina ( upacara memetik hasil)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar