Powered By Blogger

Rabu, 16 Februari 2011


MEMAHAMI APBD DENGAN BENAR -
BAGAIMANA PELAKSANAANNYA OLEH PEMERINTAH DAERAH??
Nazaruddin?
A. Fungsi dan hakekat anggaran
Anggaran tidak dapat dipisahkan dari sistem perencanaan, di samping memang anggaran itu sendiri merupakan sebuah rencana. Dalam suatu sistem perencanaan, anggaran merupakan muara akhir. Perencanaan dimulai dari perencanaan jangka panjang, perencanaan jangka menengah, dan perencanaan tahunan. Terlepas dari perdebatan tentang sistem perencanaan yang cenderung tidak membumi/mengawang-awang, namun suatu sistim anggaran seharusnya dapat ditarik benang merahnya dari proses perencanaan sebelumnya. Anggaran merupakan salah satu instrument utama dalam melaksanakan suatu kebijakan yang telah ditetapkan . Selain anggaran, instrument lain untuk melaksanakan kebijakan antara lain sumber daya manusia (SDM), peralatan, metodologi pelaksanaan kebijakan dan lain-lain. Namun instrumen di luar anggaran tersebut akan dapat berjalan jikalau ada dukungan anggaran. Adalah non sense/omong kosong jika suatu kebijakan digembor-gemborkan untuk dilaksanakan, tetapi ternyata tidak didukung oleh ketersediaan anggaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebetulnya anggaran merupakan instrumen utama untuk melaksanakan kebijakan.
Ada kasus menarik tentang fungsi dan hakekat anggaran, yaitu pada tataran nasional, dimana APBN Tahun Anggaran 2005 ditetapkan pada era Pemerintahan Presiden Megawati dengan komposisi anggaran seperti pada komposisi kabinet Mega. Namun kemudian anggaran dilaksanakan oleh Pemerintahan Presiden SBY dengan komposisi kabiner yang berbeda, misalnya ada Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Perumahan Rakyat. Dalam keadaan yang demikian adalah sulit bagi dua Kementerian tersebut untuk melaksanakan kebijakan tanpa dukungan anggaran yang memadai, karena dalam pos APBN belum tersedia anggarannya. Kalaupun akan men-seplit anggaran dari kementerian induknya, maka yang menjadi pertanyaan, apakah anggaran tersebut memadai, dan sesuai dengan kebijakan yang diarahkan oleh Presiden SBY?
Hal ini-pun dapat dianalogkan dengan kementerian lainnya, yang hanya melaksanakan anggaran yang diusulkan oleh Rezim Megawati. Jadi jikalau Presiden SBY akan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan, maka langkah pertama yang harus dilaksanakan adalah dengan melakukan Perubahan APBN Tahun Anggaran 2005.
Dengan demikian juga dapat disimpulkan bahwa anggaran pada hekekatnya merupakan cerminan dari kebijakan yang diambil oleh pemerintahan/rezim dan berfungsi sebagai instrumen utama untuk melaksanakan kebijakan. Sehingga dapat disimpulkan pula, jika masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan berkeinginan untuk mengetahui kebijakan yang diambil oleh pemerintahan/rezim, maka dapat melihat dokumen anggaran, baik itu APBN maupun APBD. Di sanalah kebijakan terdeskripsikan secara operasional.
Pada dokumen anggaran ini pula suatu kebijakan dapat digambarkan secara lebih lengkap, karena memuat tujuan kebijakan, isntrumen kebijakan, dan yang paling penting adalah target kebijakan. Dengan demikian dokumen anggaran dapat menggambarkan suatu kebijakan secara komprehensif, baik dari sisi kualitatif maupun kuantitatif.

B. Apakah itu APBD:bagaimana prinsip dan aspek-aspek penyusunannya;

APBD adalah Rencana Keuangan Tahunan Daerah dalam bentuk Peraturan Daerah. Kalau kita runut alur pikir di atas, maka APBD merupakan instrumen utama untuk melaksanakan kebijakan dalam satu tahun anggaran. APBD dalam penyusunannya melibatkan berbagai pihak yang berkompeten.
Perbedaaan subtansial antara era sebelum otonomi dengan era otonomi daerah adalah bahwa kalau sebelumnya dominasi eksekutif sangat besar dan hampir-hampir menafikan peran DPRD dan masyarakat dalam menyusun APBD, berubah ke penyusunan anggaran yang harus mengedepankan partisipasi dan akuntabilitas publik. Dengan demikian penyusunannya harus melibatkan DPRD dan masyarakat secara aktif. Untuk itu perlu dibuat aturan main antara ketiga pihak sehingga hak dan kewajibannya jelas.
Dan karena APBD merupakan operasionalisasi dari berbagai kebijakan yang ditetapkan, maka harus mencerminkan suatu kesatuan sistem perencanaan yang sistimatis dan dapat dianalisis keterkaitan/benang merahnya dengan dokumen-dokumen perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk itu sangat penting bagi pihak yang berkepentingan terhadap kebijakan publik dalam memahami sistimatikan perencanaan yang bermuara pada anggaran. Dari sisi aturan, maka mekanisme penyusunan anggaran khususnya APBD diatur dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.
Walaupun ada perbedaan dalam perencanaan anggaran, namun perbedaannya tidaklah signifikan. Dari berbagai peraturan perundangan tersebut pada prinsipnya penyusunan APBD haruslah mengedepankan prinsip-prinsip good governance, misalnya akuntabilitas, transparansi, responsifitas, efektif, efisien, partisipatif dan lain-lain. Untuk mennerjemahkan prinsip-prinsip tersebut maka disusunlah alur perencanaan anggaran.
Proses penyusunan Anggaran dimulai dengan adanya Nota Kesepakatan tentang Kebijakan Umum APBD (KU) antara Eksekutif dan DPRD .Karena dalam bentuk Nota Kesepakatan, maka peran dua belah pihak adalah sama. Artinya baik Eksekutif maupun DPRD harus sama-sama mencari sumber dan data-data untuk menyusun KU
Penyusunan KU didasarkan kepada rencana strategis (Renstra) yang telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah yang merupakan master plan kebijakan suatu pemerintahan dalam periode tertentu/rezim. Karena Renstra merupakan kebijakan dalam bentuk Perda, maka seharusnya pada saat penyusunannya sudah melalui mekanisme public hearing dan partisipasi publik. Namun untuk dipahami, karena Renstra disusun untuk perencanaan dalam jangka waktu lima tahun, maka sangat mungkin Renstra yang disusun kurang sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Apalagi dalam perkembangan masyarakat yang sedemikian komplek, maka semakin panjang rentang waktu perencanaan akan semakin sulit pula untuk memprediksi dan semakin lemah pula akurasi perencanaan. Untuk itu diperlukan instrumen lainnya yaitu penjaringan aspirasi masyarakat
Penjaringan aspirasi masyarakat untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat yang setiap saat bisa berubah yang ada kemungkinan berbeda dengan rencana strategis yang telah ditetapkan dan harus direspon oleh Pemerintah sebagai bentuk responsifitas dan akuntabilitas Pemerintah Daerah terhadap publik. Penjaringan Aspirasi Masyarakat (Jaring Asmara) dilaksanakan dengan menggunakan berbagai metode, baik aktif maupun pasif. Jaring Asmara secara aktif antara lain melalui Musyawarah Pembangunan Kelurahan (Musbangkel), Diskusi UDKP, dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Selain itu untuk mengetahui kebutuhan masyarakat secara lebih obyektif, maka Jaring Asmara yang dilaksanakan juga menggunakan instrumen metode penelitian survey.
Jaring Asmara yang dilaksanakan secara pasif dengan menggunakan berbagai metode, antara lain dialog interaktif melalui radio, dan media massa lainnya. Media lain yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan, usulan dan lain-lain adalah melalui situs internet www.jogja.go.id, dan sms hot line Dengan adanya beberapa media ini diharapkan masyarakat dapat secara leluasa dapat mempergunakannya sesuai dengan kemampuan teknologi dan kesukaannya. Dengan metode ini maka publik akan dapat langsung mengakses ke pengambil kebijakan, sehingga dapat dikatakan sudah tidak ada sekat lagi birokrasi antara masyarakat dengan Pemerintah.
Kebijakan Umum APBD yang disusun juga harus mempertimbangkan adanya kebijakan dari Pemerintah Pusat. Kebijakan Pemerintah Pusat menjadi salah satu instrumen untuk menyusun Kebijakan Umum APBD karena banyak kebijakan Pemerintah Pusat yang harus ditindaklanjuti dengan kebijakan angggaran, misalnya dana pendampingan atas alokasi APBN. Di samping itu sebagaimana kita ketahui, struktur pendapatan sebagian besar berasal dari Dana Perimbangan, sehingga kebijakan Pemerintah Pusat mengenai Dana Perimbangan akan mempengaruhi perfomance APBD. Ketiga komponen sebagai dasar penyusunan APBD tersebut kemudian disesuaikan dengan kemampuan dan kebijakan keuangan Pemerintah Daerah. Berdasarkan Kebijakan Umum APBD, Pemerintah Daerah menyusun Prioritas dan Plafon APBD sebagai landasan operasional masing-masing unit kerja dalam menyusun kegiatannya. Urgensi perlunya Prioritas dan Plafon adalah karena keterbatasan anggaran dan diperlukan adanya program dan kegiatan yang tepat untuk mencapai kebijakan yang telah ditentukan.
Setelah ada KU dan Prioritas Plafon, maka keduanya harus diopersionalkan dalam bentuk Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK). RASK inilah dokumen yang paling operasional dalam proses penyusunan APBD. Apalagi dengan sistim anggaran kinerja, di sinilah kebijakan diopersionalkan dalam bentuk kegiatan, dilengkapi dengan indikator kinerja, seperti input, output, outcome, benefit, dan impact , yang kemudian dilengkapi dengan tolok ukur kinerja dan target kinerjanya. RASK digunakan sebagai dasar untuk menyusun Rancangan APBD. Peran DPRD sangat penting dalam proses pembahasan RAPBD yang pada intinya merupakan pembahasan RASK baik dari sisi pendapatan, belanja maupun pos pembiayaan.
Pada tahap pembahasan RASK antara DPRD dengan eksekuitf inilah, peran DPRD dituntut untuk tidak sekedar berwacana dalam tataran normatif kebijakan, tetapi yang lebih penting setelah itu adalah aspek teknis kebijakan. Karena justru pada aspek teknis ini kebijakan dapat dinilai efektifitas dan efisiensinya. Dewan juga dapat melakukan pengawasan awal melalui tindakan prefentif pada saat pembahasan RASK untuk mendeteksi secara lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya inefisiensi anggaran, dan ketidakefektifan anggaran.
Menjadi kelemahan Dewan secara umum, yaitu seringnya terjebak dalam normatifitas kebijakan dan kurang mendalami hal-hal yang teknis. Padahal di sinilah awal mula terjadinya berbagai penyimpangan anggaran. Pada tahap pembahasan RASK ini dapat terjadi perubahan angka baik dari sisi pendapatan, belanja maupun pembiayaan.

C. Pengelolaan Keuangan yang baik dan sistem pengelolaan keuangan terpadu

Sistem pengelolaan keuangan dimulai dari mulai disusunnya Prioritas dan Plafon, penyusunan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) hingga pertanggungjawaban anggaran dalam bentuk Perhitungan APBD. Sebagai sub sistem, pengeloaan keuangan tidak bisa berdiri sendiri, karena pengelolaan keuangan merupakan alat untuk melaksanakan sistem perencanaan. Dengan demikian sesungguhnya sistem pengelolaan keuangan merupakan kelanjutan dari sistem perencanaan. Dengan demikian sistem pengelolaan keuangan harus terintegrasi dengan sistem perencanaan.
Karena pelaporan keuangan juga merupakan salah satu instrumen dari sistem pelaporan pemerintah daerah, maka sistem pengelolaan keuangan harus terintegrasi dengan sistem laporan pertanggungjawaban.

D. Anggaran Kinerja, Pendapatan dan sumber pendapatan daerah belanja daerah dan pembiayaan

Anggaran Kinerja adalah anggaran yang mengedepankan prestasi kerja, dengan lebih mengutamakan hasil dibanding keluaran. Karena mengedepankan prestasi kerja, maka harus ada indikator kinerja dari setiap parameter kinerja. Indikator kinerja antara lain input (masukan), output (keluaran), outcome (hasil), benefit (manfaat), dan impact (dampak). Dari sisi struktur anggaran ada perbedaan yang substansial antara anggaran kinerja dengan sistim anggaran sebelumnya. Istilah Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan sangat terkait dengan struktur teknis APBD. Struktur berdasarkan pendekatan kinerja dibagi menjadi 3 Pos, yaitu Pos Pendapatan, Pos Belanja, dan Pos Pembiayaan. Sedangkan pada struktur anggaran yang lama , yang disebut sebagai struktur anggaran berimbang dan dinamis, strukturnya hanya ada 2 Pos, yaitu Pos Pendapatan dan Pos Belanja. Perubahan struktur anggaran ini sangat terkait dengan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. Dengan sistim anggaran lama ternyata terjadi pembiasan baik Pos Pendapatan maupun Belanja, karena ada beberapa obyek yang seharusnya masuk ke Pos Pembiayaan. Pendapatan adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode Tahun Anggaran tertentu yang menjadi hak daerah. Pendapatan ini dapat terlihat pada Pos Pendapatan. Konsep pendapatan berbeda dengan konsep penerimaan. Penerimaan adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode Tahun Anggaran tertentu. Pendapatan yang terealisasikan dan masuk kas daerah menjadi penerimaan, tetapi tidak semua penerimaan merupakan pendapatan, karena ada penerimaan yang berasal dari pembiayaan.
Pendapatan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Pendapatan Asli Daerah (PAD), kelompok Dana Perimbangan, dan kelompok lain-lain pendapatan. PAD adalah pendapatan yang dipungut oleh daerah yang bersangkutan sesuai dengan Perda yang telah ditetapkan. Jenis-jenis PAD antara lain Pajak Daerah, Retribusi Daerah, bagian laba hasil usaha daerah/laba BUMD, dan lain-lain PAD. Besar kecilnya PAD akan mempengaruhi otonomi daerah dalam melaksanakan kebijakannya, semakin besar PAD maka kemampuan daerah akan lebih besar dan ketergantungan dengan Pemerintah Atasan semakin berkurang. Obyek PAD antara lain untuk Provinsi Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor , Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Retribusi Pelayanan Kesehatan dan lain-lain.
Kelompok Pendapatan yang kedua adalah Dana Perimbangan. Dana Perimbangan pada prinsipnya merupakan pendapatan yang berasal dari Pemerintah Pusat yang kemudian didaerahkan. Dana Perimbangan ini antara lain Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak adalah pendapatan Pemerintah Pusat yang kemudian dibagihasilkan dengan Pemerintah Daerah, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ,Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri. Sedang Dana Alokasi Umum adalah pendapatan yang merupakan transfer langsung dari Pemerintah Pusat dengan menggunakan formula tertentu, seperti luas wilayah, jumlah penduduk miskin, PAD dan lain-lain. Sedang Dana Alokasi Khusus (DAK) diberikan kepada daerah tanpa formula tertentu dan khusus untuk kebutuhan tertentu, misalnya DAK untuk reboisasi, DAK infrastruktur, kesehatan, pendidikan dan lain-lain
Selanjutnya pendapatan di luar PAD dan Dana Perimbangan adalah Lain-lain Pendapatan yang sah. Pendapatan ini misalnya Dana Kontinjensi/Dana Darurat dan lain-lain.
Belanja adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode Tahun Anggaran tertentu yang menjadi beban Daerah. Sedangkan pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode Tahun Anggaran tertentu. Belanja setelah direalisasikan akan menjadi pengeluaran, namun belum tentu setiap pengeluaran merupakan belanja. Pengeluaran bisa saja bukan dalam bentuk belanja, tetapi berupa pengeluaran pembiayaan, misalnya pembayaran hutang pokok, penyertaan modal daerah. Pos belanja secara teknis dibagi menjadi beberapa kelompok belanja, antara lain Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, Belanja Modal, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan, dan Belanja Tidak Tersangka. Dari sifatnya belanja dapat dibagi menjadi dua, yaitu belanja langsung dan belanja tidak langsung. Pengertiannya adalah sebagai berikut:
1. Belanja langsung adalah belanja yang besar kecilnya dipengaruhi secara langsung oleh adanya kegiatan. Semakin banyak volume kegiatan maka akan semakin meningkat belanjanya. Belanja langsung juga dapat disebut sebagai belanja yang dapat dihubungkan secara langsung dengan kegiatan. Belanja langsung ini dapat disebut sebagai variabel cost;
2. Belanja tidak langsung adalah belanja yang besar kecilnya tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya kegiatan. Belanja ini dapat disebut sebagai fixed cost.
Setelah pengertian sifat belanja, kemudian masuk kepada definisi kelompok belanja, yaitu:
1. Belanja Administrasi Umum (BAU): konsep ini lain dengan apa yang disebut sebagai belanja rutin. BAU adalah belanja tidak langsung dan tidak menambah aset tetap. Misalnya belanja gaji pegawai, listrik,air, telpon, pemeliharaan kendaraan dan lain-lain;
2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan (BOP) adalah belanja langsung dan tetapi tidak menambah aset. BOP merupakan belanja yang berbentuk kegiatan, tetapi tidak menambah aset. Misalnya belanja operasional penertiban Pedagang Kaki Lima;
3. Belanja Modal (BM), adalah belanja langsung dan menambah aset. Contoh BM antara lain membangun gedung, beli kendaraan bermotor, bangun jalan dan lain-lain;
4. Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan (BBH-BK) adalah belanja yang bersifat transfer langsung tanpa indikator kinerja. Belanja ini misalnya untuk Provinsi alokasi bagi hasil PKB-BBNKB ke Kebupaten-Kota, bantuan kepada organisasi sosial kemasyarakatan, olah raga, profesi dan lain-lain;
5. Belanja Tidak Tersangka, dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah yang mendesak untuk dilaksanakan, tetapi belum ada anggarannya.
Kemudian perbedaan substansial dengan struktur anggaran sebelumnya adalah adanya Pos Pembiayaan. Pos pembiayaan adalah suatu transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara pendapatan dan belanja. Jika pendapatan lebih kecil dari belanja akan terjadi defisit. Defisit tersebut kemudian ditutup oleh pembiayaan. Sedangkan jika terjadi surplus, yaitu pendapatan lebih besar dibanding belanja, maka surplus tersebut juga akan dimanfaatkan oleh pos pembiayaan.
Adanya pos pembiayaan ini diharapkan sistim anggaran kinerja dapat lebih akuntabel dan transparan. Obyek yang ada pada pembiayaan, dalam struktur anggaran sebelumnya sebenarnya telah ada, tetapi muncul di Pos Pendapatan atau di Pos Belanja. Padahal peruntukannya bukan untuk pos tersebut.
Pos pembiayaan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan pembiayaan terdiri dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun yang lalu, Transfer dari Dana Cadangan, hutang/penjualan obliigasi, dan penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sedangkan pengeluaran pembiayaan terdiri dari Transfer ke Dana Cadangan, Penyertaan Modal, Pembayaran Hutang Pokok yang Jatuh Tempo, dan Sisa Lebih Tahun Anggaran Berjalan.

E. Mengapa masyarakat berhak terhadap APBD dan apa saja hak-hak itu;

APBD berisi kebijakan yang dilaksanakan oleh suatu rezim/pemerintahan. Ujung tombak kebijakan tercermin dari sisi anggaran. Dalam sistem demokrasi, pemerintahan ada karena mendapat mandat dari rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang nyata melalui proses demokratis yaitu pemilihan umum. Karena mendapat mandat dari rakyat, maka kebijakan yang diambil sudah selayaknyalah sesuai dengan kehendak rakyat. Kehendak rakyat ini seharusnya terepresentasikan dari lembaga perwakilan rakyat. Jika ternyata ada permasalahan bahwa lembaga perwakilan rakyat ternyata tidak menyuarakan suara rakyat adalah persoalan lain.
Oleh karena itu rakyat harus mengetahui isi dari kebijakan pemerintah yang tercermin dari APBD, sampai sedeail-detailnya. Hak masyarakat atas APBD adalah bahwa APBD yang dilaksanakan seharusnya mencerminkan kepentingan rakyat banyak, artinya bahwa APBD merupakan sebagian dari solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat. Jika ternyata APBD tidak merupakan bagian dari solusi atas permasalahan masyarakat, maka APBD tersebut dapat dikatakan belum menyentuh kepentingan rakyat. Untuk itu diperlukan saluran komunikasi yang intensif antara pemerintah, DPRD, dan masyarakat

F. Fungsi dan cara kerja lembaga pengawasan

Pengawasan terhadap APBD harus dimulai sejak penyusunan APBD. Karena pada saat penyusunan ini justru akan dimengerti kemana kebijakan anggaran diarahkan. Persoalan saat ini adalah bahwa lembaga pengawasan justru terjebak dalam masalah teknis anggaran, dan tidak memasuki wilayah kebijakan anggaran. Akibatnya banyak persoalan dalam kebijakan anggaran, yaitu kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat dan secara adminstrasi hal ini tidak menjadi persoalan. Karena aparat pemeriksa tidak berorientasi kepada kebijaka tersebut, maka pembuat kebijakan juga cenderung melalaikan aspek publik dalam pengambilan kebijakan dan cenderung memperhatikan aspek teknis administrasi. Persoalan lain adalah pemeriksa melakukan pemeriksaan pada saat pasca anggaran, bukan sebelum atau saat pelaksanaan. Dengan demikian cenderung represif, bukan prefentif. Pengawasan prefentif sebetulnya telah ada , misalnya evaluasi APBD Kabupaten/Kota oleh Provinsi dan APBD Provinsi oleh Pemerintah Pusat. Namun bentuk evaluasi ternyata hanya pada tataran teknis administrasi, bukan pada tataran kebijakan.

G. Langkah praktis mengontrol APBD dan menganalisa anggaran

- Analisa kebijakan anggaran yang akan disusun. Apakah mencerminkan suatu solusi atas permasalahan masyarakat;
- Analisa kebijakan dari sisi indikator kinerja, tolok ukur kinerja, dan target kinerja;
- Analisa skala prioritas, apakah telah mencerminkan urutan kemendesakan;
- Analisa RASK sampai detail di tingkat angka-angka. Setiap angka yang diusulkan harus ada rasionalitas anggaran. Awal korupsi adalah ketidakrasionalitasan atas anggaran yang diusulkan;
- Cek pelaksanaan anggaran, apakah pelaksanaannya sesuai dengan Rencana Anggaran Belanja yang diusulkan dalam RASK.